BAB. 11 SANDIWARA
Surya, dan Salsa sudah duduk di sofa.
"Papi sama Mami Caca beneran mau nikah'kan? Mami Dewi nggak percaya, Papi!" Tari duduk di atas pangkuan Surya, yang duduk bersebelahan dengan Salsa. Sementara Dewi masih berdiri di tempatnya.
"Duduklah Dewi, kita perlu bicara untuk mengakhiri pertengkaran ini" pinta Surya.
"Aku tidak ingin duduk, aku hanya ingin Tari bersamaku!"
"Kamu tanya sendiri, apa Tari mau ikut denganmu?"
"Tari nggak mau ikut Mami Dewi, Papi!" Tari menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kenapa Tari nggak mau ikut Mami, Sayang?" Tanya Dewi, berusaha tetap lembut pada putrinya.
"Mami nggak sayang Tari!"
"Mami sayang sama Tari."
"Enggak! Mami bohong, Tari nggak mau ikut Mami Dewi, Tari mau sama Papi sama Mami Caca saja!" Tari memeluk papinya dengan erat.
"Kamu dengar sendirikan, Dewi, Tari tidak mau ikut denganmu."
"Pasti kamu sudah mencekokinya dengan kebencian padaku, Mas!"
"Untuk apa? Kamu Ibu kandungnya, Tari tetap harus menaruh hormat kepadamu, tapi dia juga sudah cukup tahu, di mana tempat ia merasa nyaman."
"Tari Sayang, Mami sangat berharap Tari mau ikut dengan Mami, kita bisa pergi jalan-jalan kemanapun Tari mau nanti," bujuk Dewi belum juga mau menyerah.
"Tari mau sekolah, nggak mau jalan-jalan, kalau nggak sekolah, nanti nggak pinter, ya kan, Papi!?" Tari menatap Surya dengan mata polosnya. Surya menganggukan kepala.
"Maksud Mami, jalan-jalannya saat libur sekolah, Sayang," bujuk Dewi lagi.
"Kalo libur, Tari bisa kok jalan-jalan sama Papi, ya kan, Pi, tapi nanti kalau Papi sudah nikah sama Mami Caca. Jalan-jalannya sama Mami Caca juga kan, Mi? Iya kan, Pi?"
Surya mengangguk, sedang Salsa seperti orang linglung, yang bingung harus bagaimana.
Salsa sebenarnya merasa tidak pantas berada di antara mereka, ia orang luar, bukan siapa-siapa mereka. Tapi masalahnya, Tari saat ini memegang erat satu tangannya, seakan meminta ia tetap bersamanya.
Dewi akhirnya duduk, dan menundukan kepala. Kemudian ia mengangkat kepala, dan berusaha membujuk Tari lagi.
"Kalau Tari ikut Mami, apapun yang Tari minta pasti Mami kasih."
"Papi juga begitu kok, iyakan, Pi?"
"Iya, Sayang"
"Tari minta di beliin apa saja, selalu dibeliin Papi, iya kan, Pi?"
"Iya, Sayang."
"Tari minta jalan-jalan kemanapun selalu diturutin Papi, iyakan, Pi?"
"Iya, Sayang."
"Tari minta Papi nikah sama Mami Caca, nanti dikabulkan, iya'kan, Pi?"
"Iya, Sayang," sahut Surya, tanpa menyadari apa yang sudah diucapkan putrinya.
Salsa hampir saja mendelikan mata pada Surya, kalau tidak ingat akan keberadaan Dewi, dan Tari di sana.
"Tuh kan, Mi, Papi bisa kok kasih apa saja yang Tari mau."
Dewi terdiam, tidak tahu lagi harus berkata apa.
Dewi merasa masih punya senjata terakhir, untuk meluluhkan hati Tari.
"Kalau Tari ikut Mami, Tari bisa main sama Dedek Vio, adik Tari."
"Enggak ah, nanti Mami Caca juga bisa kasih Tari adik kok, ya kan, Mi? ya kan, Pi?" Tari menatap bergantian Surya, dan Salsa.
Dengan ragu, Surya terpaksa menganggukan kepala, sedang Salsa tengah mengutuki dirinya sendiri, karena harus terjebak, dalam situasi yang tidak terbayangkan olehnya sebelum ini.
"Heeeh ... baiklah, Tari, Mami harus pergi sekarang, tapi Mami akan datang lagi nanti." Dewi berdiri dari duduknya, diikuti Surya, dan Salsa yang juga ikut berdiri.
Dewi pergi tanpa permisi lagi.
Setelah Dewi pergi.
Surya, Salsa, dan Tari kembali duduk.
Rasa lega terlihat dari wajah Tari, dan Surya, tapi tidak dengan wajah Salsa.
Salsa ingin sekali meninju bibir Surya, yang tadi sudah mengecup pipinya.
'Awas kamu, Om, cium pipiku tidak gratis ya, kamu harus membayarnya!' ancam Salsa di dalam hati.
"Jadi kapan Papi mau nikah sama Mami Caca?" Tanya Tari dengan gayanya yang sok dewasa.
"Sayang, Papi, dan Kak Caca baru kenal, tidak bisa langsung menikah, harus kenal lebih lama lagi."
"Begitu ya, Pi?"
"Iya, Sayang."
"Tapi nanti pasti nikah'kan?"
"Papi tidak bisa janji, bagaimana kalau orang tua Kak Caca nggak suka sama Papi?"
"Iih ... Papi, belum ketemu sama orang tua Kak Caca, kok sudah ngomongnya begitu sih!"
"Hhhh ... kita nggak usah ngomongin ini lagi ya, Papi lapar nih, putri Papi ini membawa makan siang, nggak nih?" Surya berusaha mengalihkan pembicaraan, matanya sudah tidak betah dengan wajah Salsa yang terlihat menyimpan amarah kepadamya.
"Iya dong, itu makan siangnya, itu Mami Caca yang beli."
"Ooh ..."
"Terima kasih ya, Sayang," kata Surya, tanpa sadar sudah menyebut Salsa dengan panggilan sayang lagi. Salsa yakin ucapan itu ditujukan padanya, bukan pada Tari, karena mata Surya tertuju kepadanya. Salsa mendelikan matanya gusar, membuat Surya teringat akan ucapannya, yang lebih memilih jontor bibir, dari pada harus memanggil 'si gadis sadis' dengan sebutan sayang.
Tanpa sadar Surya meraba bibirnya.
'Semoga tidak jontor beneran' batinnya.
**BERSAMBUNG**
