Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Halo Senior

Arga yang dulu vokalis band kini hanya seorang mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi negeri, ia mengambil jurusan Ilmu Hukum. Arga hanyalah anggota Equidos yang berada di Perguruan Tinggi Negeri tersebut, anggota lainnya berada di kampus lain, baik PTN ataupun PTS.

''Arga Orion Pratama,'' seru dosen menyuruh Arga maju ke depan untuk menyelesaikan soal pada mata kuliah umum Kewarganegaraan. Dengan lincah spidol yang ada di tangannya untuk menuliskan jawaban yang memakai materi filosofi ketatanegaraan berbentuk bagan.

Usai mengerjakannya Arga langsung kembali ke tempat duduknya.

''Bagus sekali, kau menyelesaikannya dengan baik,'' puji dosen pengajarnya.

''Baiklah, untuk hari ini cukup,'' tutup dosen tersebut.

Kehidupan kampus Arga lebih tenang dibanding saat masih SMA. Jika ia dulu dikejar-kejar karena status embel-embel vokalis, maka sekarang karena penampilan dan ketekunannya ikut perkuliahan. Arga sekarang lebih fokus untuk belajar demi cita-citanya untuk menjadi Jaksa, Unit Kegiatan Mahasiswa yang diikutinya pun hanya sepak bola, alasannya karena baik untuk kesehatan. Bahkan berkali-kali Oji Fahreza, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa mengajak untuk bergabung, namun ditolak.

''Arga, besok akan ada mata kuliah ilmu negara, apa tugas makalahmu sudah selesai?'' tanya Ririka Dimitri, teman sekelas Arga waktu SMA yang kebetulan satu jurusan sekaligus salah satu teman kelas mata kuliah.

''Belum, aku akhir-akhir ini latihan dengan anggota UKM Sepak Bola,'' jawab Arga terus berjalan menuju parkiran.

''Oh, tapi bahannya sudah dapat?'' tanya Riri lagi padahal Arga telah berada dalam mobilnya.

''Nanti malam akan kucari, aku harus pergi sekarang, kau bawa kendaraan bukan? Bye,'' pamit Arga menutup kaca jendela mobil dan Riri hanya mengangguk lemah.

Riri menghela napas panjang. ''Bahkan setelah waktu lama saling kenal, dia bahkan belum melihat ke arahku,'' gumam Riri pelan.

Tunggulah Arga, kau akan segera jatuh cinta padaku, batin Riri.

Alasan utama Riri masuk jurusan ilmu hukum adalah Arga, apalagi setelah mendengar Arga putus dengan pacarnya. Menjadi pengagum rahasia seorang Arga selama tiga tahun membuatnya berani mengambil langkah bergerak maju.

***

Molly duduk di pinggir lapangan basket, ia menatap puluhan murid yang sedang diospek oleh anggota OSIS, termasuk Lolita. Molly sendiri hanya ingin menghabiskan waktunya yang membosankan karena pada waktu itu memang sedang libur, tepatnya seminggu sebelum semester baru yang artinya status kelas dua yang akan disandang oleh Molly.

''Hey kau yang memakan permen karet, maju ke depan!'' seru Lolita keras yang berdiri tepat di depan Molly.

Seorang murid laki-laki maju, ia berjalan tanpa beban dan berdiri depan Lolita.

''Buang permen karet dari mulutmu itu!'' perintah Lolita galak.

Molly mengambil keripik dan memakannya lalu mendengus sejenak mendengar suara keras Lolita.

''Apa ada peraturan yang tak boleh makan permen karet?'' tanya murid laki-laki itu berani.

''Apa?''

''Aku sudah membaca buku panduan sekolah dan makan permen karet saat bukan jam pelajaran dan dalam kelas, tidak dilarang bukan?'' ucap murid laki-laki itu menjelaskan.

''Anak ini, tapi itu tidak sopan, apalagi saat seperti ini,'' geram Lolita.

''Lolita!'' seru seorang anggota OSIS lain dari kejauhan.

''Molly awasi dia, aku akan segera kembali,'' ucap Lolita menatap tajam murid laki-laki itu.

Bukan hanya Lolita, tetapi anggota OSIS lain mulai meninggalkan para murid baru dan pergi ke sebuah ruangan, mungkin briefing. Murid baru tampak lega dan mulai menegakkan kepalanya. Murid laki-laki yang dipanggil Lolita kini duduk di samping Molly.

''Apa yang kau lakukan di sini?'' protes Molly terlihat tak terima.

''Tentu saja duduk,'' balas murid laki-laki itu dan tanpa sungkan juga ikut memakan keripik Molly.

''Kau ini benar-benar,'' ucap Molly tak habis pikir, bagaimana mana bisa murid baru itu begitu berani bahkan kepada senior, walau model kayak Molly.

''Dengar yah, aku mungkin tidak terlihat galak seperti Lolita—''

''Oh jadi perempuan yang mirip Marissa Nasution itu namanya Lolita,'' potong murid laki-laki tersebut sambil menganggukan sedikit kepalanya.

''Kau bilang perempuan itu?'' kini Molly terdengar kaget dengan keberanian atau kekurangajaran murid laki-laki tersebut.

''Ah satu lagi, namaku bukan kau, tapi Alvin,'' ucap muird laki-laki bernama Alvin itu memperkenalkan namanya secara tidak langsung pada Molly. Sebelum kembali ke tempat duduknya semula, Alvin mengambil keripik terakhir milik Molly lalu tersenyum. Ternyata anggota OSIS juga telah berjalan ke area lapangan tempat murid baru berkumpul.

***

Molly harus pulang sendiri karena Lolita masih harus rapat meski hari sudah sore. Para murid baru juga telah dipulangkan.

''Senior,'' seru seseorang yang Molly yakini suara tidak asing, ternyata saat ia berbalik orang itu adalah Alvin.

''Kau?''

''Sudah kubilang namaku A-L-V-I-N,'' ucap Alvin kini sejajar dengan Molly.

''Terserah, bukankah murid baru telah pulang sejam yang lalu kenapa kau masih berkeliaran?'' tanya Molly terus berjalan.

''Apa sekarang senior khawatir padaku?'' tanya Alvin sok terharu.

''Iya sebagai senior tentu saja aku khawatir,'' jawab Molly tanpa ragu dan Alvin terdiam sejenak.

''Tapi kau tidak terlihat seperti senior yang lainnya, anak tetangga baruku yang manis lebih mirip seperti senior,'' ucap Alvin menyadari ukuran Molly yang kecil apalagi diakuinya wajah Molly memang babyface.

''Kalau begitu berhenti memanggilku senior, '' ujar Molly malas tak tertarik dengan 'anak tetangga alvin'.

''Terus siapa namamu?'' tanya Alvin berhenti berjalan sehingga Molly berada dua meter darinya.

''Molly,'' balas Molly singkat lalu berbalik.

''Mau es krim, Molly?'' tawar Alvin.

''Cih, kau ini,'' Molly berdecih merasa sudah gila terus mengorbrol dengan Alvin yang kepribadiannya agak aneh, menurutnya. Baru Molly akan berbalik dan melanjutkan jalan kakinya, tetapi terhenti saat melihat Arga yang baru keluar dari mobil, tepat di belakang Alvin.

''Arga, kurasa ini toko bukunya,'' ternyata Arga tak sendiri ia bersama Riri yang juga keluar dari mobil yang sama dengan Arga.

Molly dan Arga sejenak saling berpandangan. Entah mengapa rasanya Molly tak bisa memutuskan kontak mata dan Arga sendiri sulit melepas pandangannya. Hal itu berlangsung kurang lebih satu menit sebelum Alvin menarik Molly.

''Wah kebetulan, ada kafe es krim, ayo akan mentraktirmu senior,'' ucap Alvin menarik tangan Molly menuju kafe yang berada tepat di samping toko buku. Arga dan Riri juga pergi ke tepat tujuan mereka yaitu toko buku.

Kafe dan toko buku itu berada dalam satu bangunan, hanya dipisahkan kaca bening yang tebal. Arga bisa melihat Molly duduk berhadapan dengan seorang laki-laki yang memakai seragam yang ia kenali sebagai tanda bahwa anak itu juga murid SMA Pelita Bangsa, sedangkan Molly tak bisa melihat Arga karena memunggunginya.

Molly menyendok es krim rasa vanilla. ''Apa kau suka es krim?'' tanya Molly.

''Hm,'' gumam Alvin telah menghabiskan dua cup es krim dan kembali memesan.

''Es krim bagiku adalah obat, saat sedang marah aku langsung pergi membeli es krim dan amarahku langsung reda,'' jelas Alvin terus menyendok es krimnya.

''Lalu jika kau rindu apa yang kau lakukan?'' tanya Molly lepas begitu saja.

''Rindu? Siapa dulu, kalau aku rindu Nenekku yang ada di Jerman maka aku menelponnya, jika aku rindu Ayah maka aku duduk di ruang kerjanya,'' jawab Alvin sederhana.

''Rindu kepada seseorang yang dahulu ada dikehidupanmu lalu pergi tanpa permisi,'' ucap Molly pelan lalu tersenyum bodoh.

''Dia orang tak pantas kau rindukan, jika ia adalah orang yang menyayangimu maka ia akan pergi dengan sebuah kalimat walau menyakitkan mungkin, tunggu ... apa orang itu pacarmu?'' tanyaAlvin menebak.

''Bukan,'' sergah Molly cepat.

''Teman? Sahabat?''

''Dia hanyalah orang asing yang memiliki sedikit kenangan denganku, hari semakin gelap ayo pergi." Usai berkata begitu Molly langsung keluar dari kafe dan Alvin duduk sejenak merenungkan maksud kata-kata Molly.

Rupanya mobil Arga telah tidak ada saat Molly keluar membuatnya melanjutkan perjalanan pulangnya yang tidak jauh lagi.

''Kenapa langsung pergi? Aku sudah membelikanmu es krim juga,'' protes Alvin setelah mengejar Molly.

''Makasih, setidaknya di sini sudah lebih dingin, atau malah menjadi beku?'' ucap Molly menunjuk dadanya lalu bingung sendiri dengan maksud katanya.

Hanya suara sepatu yang bergesekan dengan trotoar yang terdengar antara Molly dan Alvin dalam perjalanan pulang mereka.

''Rumahmu di mana? Rumahku ini,'' tunjuk Molly rumah yang berada di belakangnya.

''Wah aku tak menyangka hari ini benar-benar keberuntunganku, mengenal senior.'' Alvin memutus perkataannya dan Molly menautkan ke atas sebelah alisnya.

''Sekaligus tetangga barumu,'' lanjut Alvin lalu tersenyum manis.

''Rumahku tepat di samping, senior.'' Tunjuk Alvin dengan percaya diri dengan rumah dengan persis di samping kiri rumah Molly.

Molly yang mengetahuinya membuka sedikit mulutnya tak menyangka bahwa tetangga barunya itu adalah Alvin. Setahu dirinya keluarga Mikaila memang baru pindah tiga hari lalu. Takdir macam apa ini, gumam Molly dalam hati.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel