Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. Rumah Untuk Pulang

Molly terbangun di pagi hari. Dikiranya mimpi tentang bertetangga dengan Alvin. Dan hari ini adalah hari pertama semester baru di SMA Pelita Bangsa. Terdengar siulan dari balkon dekat kamar Molly, dengan malas ia bangun melihat sumber siulan itu.

''Selamat pagi senior,'' sapa Alvin tersenyum lebar dari balkon rumahnya yang menghadap langsung ke balkon samping rumah Molly.

''Kau sudah siap ke sekolah?'' tanya Molly melihat Alvin telah memakai seragam. Lalu ia menguap tanda masih mengantuk.

''Hm, tidak boleh terlambat bukan?'' Alvin lalu berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Begitupula dengan Molly yang segera mandi dan berpakaian.

Jam dinding menunjukkan pukul 07:42, dengan langkah terburu-buru menuruni tangga Molly langsung meneguk susu yang disiapkan oleh Ibunya.

''Ma, Molly berangkat,'' teriak Molly setelah memakai sepatunya.

Molly menyadari bahwa gerbang sebentar lagi akan ditutup. Ia merasa familier dengan kondisi ini, tapi gerbang yang di depan matanya langsung mengabaikan ingatannya yang samar-samar.

''Untung lolos,'' ucap Molly lega karena berhasil masuk sebelum gerbang di tutup.

Molly berjalan santai ke lapangan dan sebuah tepukan dibahunya membuat ia menoleh. ''Wah senior benar-benar hebat berlari,'' puji Alvin dengan napas sedikit ngos-ngosan.

''Apa kau terlambat dan memanjat dinding?'' tebak Molly dan Alvin mengangguk dengan sangat jelas sambil tersenyum.

''Kau beruntung, benar-benar beruntung karena tidak ketahuan,'' ucap Molly datar melanjutkan perjalanannya.

Sama seperti semester sebelumnya. Hari senin sudah pasti harus upacara, bedanya pidato atau amanat yang disampaikan Kepala Sekolah lebih panjang dan keras, isinya juga tak jauh beda saat hari pertama di semester sebelumnya.

Setelah upacara masing-masing murid menuju ke kelas, tak terkecuali Alvin. Namun entah apa yang dipikirkannya, ia dengan santai duduk di samping Molly.

''Kau taHukan, ini bukan kelasmu?'' Molly melirik Lolita yang berdiri di belakang Alvin yang duduk di bangkunya.

''Hm, aku hanya ingin memastikan apa benar senior di kelas ini,'' elak Alvin dengan nada sok serius.

''Terus kalau sudah tahu mau apa?'' tanya Lolita nyolot.

Alvin bangkit dan mendekat ke Molly. ''Supaya gampang kalau mau pulang bareng,'' ucap Alvin mendekatkan wajahnya hanya beberapa centimeter dari wajah Molly.

Molly masih terdiam setelah Alvin meninggalkan kelasnya.

''Uh, apa-apaan murid baru itu?'' omel Lolita belum sadar keterkejutan Molly. Selama ini hanya Arga yang melakukan itu padanya.

''Apa perlu aku memberikan ospek ulang atau pelajaran sop—''

''Sudahlah, aku tak mau terjadi keributan,'' potong Molly segera. Ia merasa hanya ingin kehidupan SMA-nya kali ini lebih damai dan tak terjadi masalah lagi. Ia berpikir bahwa Alvin hanyalah adik kelas yang baru saja memasuki dunia baru yang belum merasakan bagaimana kejamnya sekolah menengah atas.

***

Bel istirahat berbunyi. Para murid yang awalnya memasang muka seperti zombie, berubah menjadi spongebob yang selalu ceria.

''Aku benar-benar benci matematika terutama aljabar,'' gerutu Lolita menaruh kepalanya di meja. Kejadian memalukan selama pelajaran matematika, karena tak bisa menjawab soal membuat Lolita semakin tak menyukai pelajaran tersebut.

''Mari kita lupakan itu. Aku lapar,'' ucap Molly optimis dan menyeret Lolita ke kantin.

Jika beberapa waktu lalu kantin cukup untuk murid kelas satu dan dua saat kelas tiga masih di asrama, tetapi beda kali ini. Meja dan kursi sudah banyak yang terisi full.

''Senior, duduk di sini!'' seru Alvin bersama tiga kursi kosong dekatnya.

Molly yang merasa dipanggil hanya menurut, perutnya jauh lebih membutuhkan suplay makanan daripada memikirkan orang yang memanggilnya.

''Mie ayam dua yah Mbak Narti,'' seru Lolita setelah membaca daftar menu.

''Berhenti memanggilku senior,'' ucap Molly tanpa menatap Alvin, sibuk menggoyang-goyangkan tempat tusuk gigi.

''Kenapa? Bukankah waktu ospek kau memintaku sopan kepada senior?'' protes Alvin.

Dengan sedikit tarikan napas Molly berkata, ''Baiklah terserah kau saja, tapi aku akan pura-pura tidak mengenalmu.''

''Hm, jadi harus kupanggil apa? Baby? Honey?'' Mendengar hal itu Molly mengambil gelas plastik di meja dan memukul kepala Alvin.

Seraya Alvin meringis, Lolita terkekeh sambil melihat muka cemberut Alvin.

''Panggil saja namaku, lagipula kita kan cuma beda setahun.'' Molly langsung meracik mie ayamnya ketika sudah di atas meja, melupakan insiden 'nama' yang memusingkan.

Sesudah makan siang Lolita memutuskan bolos untuk mengurus formulir pendaftaran eksul madingnya. Meninggalkan Molly dengan kehidupan klisenya yang datar.

''Enak jadi Lolita punya kesibukan, tapi tetap menyenangkan,'' gumam Molly pada dirinya sendiri.

Anak-anak sekelas Molly yang berada di luar berlarian masuk ke dalam membuat Molly bingung.

Pelajaran sejarah kan 20 menit lagi, pikir Molly.

Dugaan Molly benar, bukan guru, tapi segerombolan yang tak asing masuk. Dan ada Lolita diantaranya.

''Baiklah perhatian, masing-masing ekskul tengah mencari anggota baru, meskipun kalian bukan murid baru tetapi juga masih berhak ikut atau bisa menginfokan pada kenalan murid baru yang kalian kenal, sekian.'' Usai mengatakan hal itu Zaky—ketua kelas langsung duduk kembali.

''Apa aku juga perlu ikut?'' ucap Molly menatap setiap eksul yang membutuhkan anggota baru.

***

''Molly!'' seru Lolita melihat Molly di antara kerumunan pendaftar.

''Apa kau juga mau?'' tanya Lolita melihat kertas yang diyakini formulir.

Molly ragu. Apakah nanti ia bisa loyal? Apakah ia tak akan bosan?

''Kau juga baru akan masuk tahun ini?'' muncullah Alvin entah darimana dan menanyakan hal yang sama dengan Lolita.

''Iya,'' jawab singkat Molly menatap formulir yang dipegang Alvin.

''Ikut apa?'' tanya balik Molly penasaran akan apa kesukaan Alvin. Bukan apa-apa, hanya mengingat kepribadian anak itu. Terkesan ceria dan misterius?

''Seni.'' Alvin menunjukkan formulirnya pada Molly.

Molly terhenyak lalu menunjukkan formulirnya pada Lolita.

''Kau juga ikut seni?'' Lolita menatap tak percaya sahabatnya itu.

''Tapi aku lebih fokus pada seni lukis,'' sergah Molly cepat. Karena ia telah bertetangga dengan Alvin, satu sekolah dengannya, masa juga satu ekstrakulikuler? Untung tingkatannya berbeda.

''Aku juga lukis,'' balas Alvin polos.

Molly diam tak tau harus membalas apa lagi. Ia langsung pergi mengumpul formulir dan kembali ke kelas.

''Apa kau penguntitnya?'' tanya Lolita jujur kepada Alvin usai Molly telah pergi.

''Bukan, tapi mungkin ini takdir,'' jawab Alvin tersenyum jahil lalu pergi mengumpul formulirnya juga.

Tak seperti biasa berjalan kaki, Molly memilih pulang dengan taksi. Perasaannya sedang kacau karena Alvin. Hidup yang ia harapkan tenang mungkin akan terusik melihat tindakan agresif Alvin selama ini.

Baru menginjakkan kakinya di halaman rumah Molly langsung terperangah saat melihat Arga turun dari mobil. Bukan di halaman rumahnya, bukan juga halaman rumah Alvin, tetapi rumah sebelah kanannya. Dilihat Viko juga turun dari mobil yang sama, Viko memang tetangga Molly juga dua tingkat di atasnya, hanya beda sekolah.

''Hai Molly,'' sapa ramah Viko dan Molly hanya mengangguk dengan sedikit senyuman.

Arga masih diam di tempat. Dan melihat sorot mata tajam itu, buru-buru Molly lari dan masuk ke dalam rumahnya.

''Kenapa dengan anak itu? Apa kau melotot padanya?'' tanya Viko bingung pada Arga.

Molly memegang dadanya yang berdegup kencang. Setelah lama tak bertemu, ia malah harus bertemu Arga di sini. Daripada pusing dan membuatnya mengingat masa lalu, Molly naik ke kamarnya dan sekali lagi terkejut karena balkon bagian samping kanan telah ada sosok Arga berdiri.

''Tunggu,'' sergah Arga saat Molly akan lari ke kamarnya.

''Ap-a?'' gagap Molly menjawab tak menatap Arga.

''Aku mau bicara, mendekatlah,'' pintah Arga, namun terdengar seperti perintah. Molly tentu saja hanya menurut.

''Mau bicara apa?'' tanya Molly berusaha mengatur ritme jantungnya.

''Memperjelas semuanya,'' jawab Arga dari balkon rumah Viko.

Molly sedikit melirik ke arah Arga dan kakinya melangkah dua langkah.

''Aku bertemu Canon, ternyata kami satu kampus, dan kau tahu? Dia katanya dekat dengan Sasha. Tapi aku rasa itu tidak berdasar, karena kau dan dia telah bersama,'' ucap Arga seperti bergosip layaknya wanita-wanita yang bertemu dengan temannya.

Tanpa membalas Molly langsung membuka ponselnya dan tak lama kemudian terdengar panggilan masuk. Molly berjalan masuk ke dalam sambil menjawab panggilan itu. Arga hanya bisa mengepalkan tangannya.

Malam harinya Molly melihat balkon Viko, namun tak ada sosok Arga.

''Apa mungkin dia sudah pulang?'' gumam Molly kecewa. Ya, ia akui bahwa dirinya kecewa.

Molly akhirnya turun ke bawah untuk makan malam.

''Mana Kak Azka?'' tanya Molly pada Ibunya.

''Oh tadi di luar ada tamu, coba lihat dan panggil dia, siapa tahu tamunya sudah pulang.'' Molly berjalan ke ruang tamu, tetapi kosong hanya pintu yang terbuka.

''Kak Azka apa ta—AAKKH,'' pekik Molly terkejut karena tamu itu adalah Arga.

''Tahu tidak? Arga akan sering menginap di rumah Viko karena kampusnya dekat dari sini katanya ada tugas kelompok, baguslah kita bisa main playstation bareng,'' ucap Azka senang dan Molly hanya melongo.

''Apa kami boleh bicara sebentar?'' pinta Arga.

''Tentu, sebenarnya aku heran beberapa minggu terakhir kau jarang lagi main kukira kau put—''

''Mama memanggilmu,'' ucap Molly mendorong kakaknya masuk ke dalam lalu menutup pintu dan berbalik ke hadapan Arga.

''Ada apa?'' Tanya Molly sedikit tersenyum. Bahkan senyumannya cenderung aneh antara pura-pura ramah dan rindu?

''Tidak usah terbebani kalau Canon datang berkunjung ke rumahmu, maksudku seperti bersembunyi, aku ke rumah Viko demi urusan kampus,'' jelas Arga menatap dalam Molly.

''Oke, lagipula Kak Canon tak pernah ke sini sejak lulus,'' balas Molly polos.

Arga bingung. ''Apa?''

''Bukankah kalian pacaran?''

Molly melotot lalu sedikit terkekeh. ''Ti-dak,tidak kami bukan seperti itu.''

''Di hari kelulusan aku mendengar dia menyatakan perasaannya padamu,'' ucap Arga hati-hati.

Molly mengangguk. ''Benar,'' ucapnya membenarkan.

''Dan kudengar kaupun sama,'' balas Arga makin memperkecil suaranya.

''Aku memang menyukainya juga, tapi sebatas sebagai kakak dan sahabat dan bukan dalam artian khusus,'' jelas Molly masih mengingat kejadian itu.

''Tapi barusan kau menghubunginya bukan?''

''Oh aku mengirim pesan ke Kak Shasa mengenai kabar itu dan dia langsung meneleponku dan menceritakannya, kau tahukan?—tunjuk Molly kepada Arga. ''Aku yang membantu Kak Sasha.... '' Molly tak mampu menyelesaikan katanya setelah sebuah lekungan tercipta di sudut bibir Arga. Manis sekali.

Molly juga ikut tersenyum dan menatap dalam Arga, langit malam penuh bintang begitu indah apalagi ditambah rembulan, membuat keduanya seolah bersinar di bawahnya.

''Senior!'' seru seseorang membuyarkan tatapan Molly dan senyum Arga. Secara bersamaan mereka berdua menoleh ke sumber suara dan itu Alvin.

Arga perlahan memutar kepalanya menatap Molly yang terlihat kesal menatap Alvin.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel