6
Dua bulan waktu yang dilewati pasangan pengantin baru itu, membuat keduanya tampak seperti pertama mereka memulai hubungan berakad tersebut.
Tidak ada yang berbeda.
Dewa dengan sikap dinginnya, dan Marsya dengan sikap datar tak berkesan.
Meski, ada sepatah dua, perhatian yang diberikan Marsya pada suaminya, itu murni kewajiban, bukan keinginan apalagi didasari karena perasaan.
Kesibukan di kantor membuat keduanya hampir tidak punya waktu di sela jam istirahat.
Sedangkan malam, saat keduanya kembali ke apartemen, lelah tubuh akan berakhir di balik selimut.
Hanya komunikasi yang jarang terjadi, namun keduanya cukup dewasa menanggapi hubungan ranjang.
Pagi ini, ketika Dewa turun lengkap dengan pakaian kerjanya, ia mendapatkan istrinya tengah menata sarapan di atas meja.
Dua gelas susu, dua piring roti dan sepiring salad.
Seperti biasa.
Tapi, Dewa tidak bosan.
Namun, yang jadi perhatiannya sekarang kenapa ada dua gelas susu yang berbeda?
Miliknya berwarna putih seperti biasa, dan satu lagi berwarna agak pink, dan tentu saja milik wanita itu.
Apa seleranya sudah berubah?
"Kenapa tidak sarapan? Mau kubuatkan nasi goreng?"
Dewa melihat sikap tenang Marsya ketika wanita itu menawarkan makanan lainnya.
"Tidak." dan, ia mulai memasukkan makanan berkalori itu ke dalam mulutnya.
"Jam sepuluh, kita akan menghadiri yudisium Ayu."
Dewa berhenti mengunyah, dan memperhatikan istrinya yang serius memotong roti dan menambahkan selai nenas.
"Harus?"
"Kenapa? Belum bisa move on?"
"Jam sembilan ada meeting lanjutan dengan profesor Jo." Dewa memilih menjelaskan kesibukannya hari ini, ketimbang membahas tuduhan sepihak Marsya.
Marsya tampak berpikir, dengan sendok menggantung di atas roti. Meeting itu memang penting, tapi acara yudisium adiknya juga tak kalah penting.
"Kabari Susi, pertemuannya dibatalkan dulu. Tidak mungkin, kita tidak menghadiri yudisium Ayu."
Dewa menarik nafas dalam. Memang benar, apa yang dikatakan Marsya. Gallio dan Ratu pasti akan kecewa, jika mereka tidak menghadiri acara tersebut.
Ia merogoh sakunya, dan mengirim pesan pada sekretarisnya.
Yudisium Ayu Gallio Diraja dilaksanakan di sebuah gedung milik pemerintah kota. Wanita itu akhirnya bisa menyelesaikan pendidikannya.
Setelah Yudisium, ia akan wisuda dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi.
Sekitar dua ratusan mahasiswa yang yudisium dan ratusan tamu undangan memenuhi gedung tersebut.
"Selamat, semoga tambah dewasa dengan bertambah ilmu." Marsya memeluk adiknya.
Ia tahu, Ayu masih marah namun mengabaikan kekakanakan yang belum menjauh dari adiknya.
Kemudian ia melirik Dewa, yang berada tepat di sampingnya, sebelum meninggalkan mereka berdua menuju ke tempat Gallio dan Ratu berada.
"Selamat, Ayu."
Hanya itu yang diucapkan Dewa, setelah peninggalan Marsya. Namun, ketika langkah kakinya menyusul Marsya, lengannya ditahan oleh Ayu.
"Mas nggak mau foto sama Ayu?"
Dewa melihat Ayu, dalam balutan kebaya perak yang terlihat cocok di tubuhnya.
"Foto bareng sama Mama nanti," elak Dewa dengan halus. Senyumnya juga melengkung menanggapi tawaran mantan kekasihnya yang kini sudah jadi adik iparnya.
"Mas Dewa!?" pekikan seseorang menyita perhatian kedua orang itu.
Dewa meneguk ludahnya. Itu Fitri, sahabat karib Ayu, yang pernah membantu Dewa menyiapkan ulang tahun Ayu ketika mereka masih pacaran.
"Bener!! Ayu nggak bilang-bilang mas Dewa datang." Fitri mendelik kesal pada sahabatnya.
"Sama mba Marsya, juga Mas?"
Dewa mengangguk.
Tidak jadi rahasia lagi, jika Dewa menikah dengan Marsya. Sahabat dekat Ayu semua tahu.
Karena, ketika gadis itu murung dan patah hati, teman-temannya lah yang dijadikan Ayu tempat berkeluh kesah.
Karena paksaan Fitri, jadilah Dewa berdiri di tengah-tengah sahabat Ayu, sebagai objek tangkapan kamera.
"Marsya, mana Ma?"
Ratu mengernyit, melihat menantunya. "Tadi buru-buru pergi setelah menerima telepon. Dia nggak ngasih tahu kamu?"
Dewa menggeleng, kemudian ia permisi dan menyusul istrinya. Sedikit kesal, karena Marsya meninggalkannya tanpa pamit. Sepenting apakah telepon itu?
Sesampainya di kantor, ia tidak menemukan Marsya. Melinda juga mengatakan, setelah tadi pagi ia tidak melihat lagi wajah atasannya itu.
Dewa mengepalkan tangannya.
'Kenapa, belum move on?' Kalimat Marsya terus mengiang di telinganya.
Hingga sore, belum ada kabar dari Marsya. Panggilan dan pesannya tidak ada tanggapan sama sekali.
Dan, Dewa mengerang kesal dalam ruangannya.
Jam empat, laki-laki itu pulang. Pikirannya kacau karena sikap Marsya yang mengacuhkan dirinya.
"Sudah pulang?"
Dewa terkejut mendengar suara wanita yang sudah membuat emosinya labil hari ini.
"Dari mana?"
Mata Marsya menangkap aura tidak bagus dari wajah Dewa.
"Apanya yang dari mana?" Marsya balik bertanya.
"Ponselmu hilang? Atau suaramu yang tiba-tiba hilang?"
Marsya bingung, namun ia kesal mendengar nada tinggi yang digunakan Dewa.
"Apa maksudmu?" Marsya masih bisa mengontrol diri, meski emosinya juga akan meluap sama dengan Dewa.
"Aku suamimu sekarang, ke manapun kamu pergi, aku harus tahu Marsya!"
Marsya melongo. Jadi, karena itu? Tapi, ia kan sudah memberitahu Susi?
"Tadi aku mau ngajak, tapi kulihat lagi sibuk---"
"Sibuk? Kapan aku sibuk? Bukankah kamu yang ngajak aku ke yudisium adikmu?"
Marsya memijat pelipisnya. Ini hanya masalah kecil, kenapa harus diperdebatkan?
"Aku cuma ke klinik," sahutnya ingin menyelesaikan obrolan ini.
Dewa yang mendengar jawaban Marsya, tertegun.
"Untuk apa?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir pria itu.
"Hanya kontrol."
Dan, bukannya memuaskan. Jawaban Marsya terasa membingungkan bagi Dewa.
Ia mengambil majalah di tangan kiri Marsya, hingga membuat fokus wanita kembali pada Dewa.
Dewa melihat pergerakan mulut Marsya, yang seperti, mengunyah sesuatu?
Kemudian matanya teralihkan pada potongan kedondong, yang tersisa empat sisir.
"Jawab yang jelas Marsya!"
"Ada apa sih? Apa sesuatu telah terjadi? Kenapa hari ini kelihatan lain?"
Cukup membingungkan, biasanya juga Dewa nggak cerewet seperti ini. Lelaki itu terkenal dengan sikap dinginnya
"Katakan saja, kamu kontrol apa? Kamu tidak sakitkan?"
Marsya menelan habis, kunyahan kedondong dalam mulutnya.
"Biasa, kontrol ibu hamil."
Dewa ber-oh ria dalam hati. Namun, tidak lama kemudian...
"Apa!? Hamil?"
Marsya mengangguk, sama sekali tidak terganggu dengan kekagetan Dewa. Ia kembali mengambil potongan buah kedondong.
"Dan, aku nggak tahu? Sejak kapan?"
Marsya tidak suka dengan sikap Dewa yang terlalu berlebihan. Apalagi, emosi laki-laki itu sepenuhnya belum pudar.
"Tadi aku mau ngasih tahu. Tapi, belum sempat. Ngomong-ngomong fotonya bagus, lho."
"Marsya!!"
"Kenapa?" tanya Marsya, tanpa melihat suaminya.
Dewa mengusap wajahnya, berusaha mengontrol amarah.
"Seandainya aku nggak bertanya, kamu tidak mau memberitahuku, 'kan?"
Marsya bangun, tangannya memegang piring kosong bekas buah kedondong.
"Sudah aku bilang belum sempat, aku sendiri baru tahu kemarin."
Dewa terkejut, mendengar ucapan Marsya.
Ketika Marsya berbalik ke arah dapur, Dewa menahan lengan wanita itu.
"Kamu...tidak berniat menyimpannya sendiri, kan?"
Langkah Marsya terhenti, karena lengan wanita berada dalam genggaman Dewa.
"Meski esok, aku harus sendiri. Dia tetap anakmu."
Perlahan, genggaman Dewa terlepas. Hingga, punggung Marsya, menjauh darinya.
