Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

"Meeting dengan pak Robert dibatalkan."

Dewa yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Marsya yang sudah rapi, sedang memilih pakaian kerjanya.

Terhitung sejak satu minggu pernikahannya, Marsya melakukan kewajibannya sebagai istri.

Pun, malam pertama bagi keduanya, sudah mereka lewati seperti pasangan pada umumnya.

"Beliau ngabarin kamu?"

"Hm." Marsya sudah selesai menyiapkan pakaian untuk Dewa.

"Aku tunggu di bawah," kata Marsya lagi sebelum keluar dari kamar yang mengukir kenangan bahwa ia telah menyerahkan sesuatu yang tiga puluh tahun ini dijaga dengan baik.

Dewa segera mengenakan pakaian sebelum menyusul Marsya sarapan. Kebiasaan yang mereka lakukan satu minggu ini.

Sarapan yang unik, karena Marsya selalu memasukkan bahan obrolan bisnis dengan Dewa.

Sehingga, keduanya tidak merasa canggung.

"Aku bawa mobil hari ini, karena nanti aku tidak langsung pulang."

Dewa hanya berdeham, menanggapi pemberitahuan itu.

Setelah pernikahan satu minggu yang lalu, mereka hanya mengambil cuti dua hari. Dengan alasan, kerjaan yang tidak bisa ditinggal terlalu lama.

Miris memang.

Tapi, itulah kenyataannya.

Dewa berbeda dengan Marsya. Kalau Marsya itu dingin, Dewa kebalikannya.

Tapi itu di kantor.

Sedangkan di apartemen saat hanya berdua dengan Marsya. Sikap keduanya berbanding terbalik.

Marsya, yang perhatian meski dalam hal yang wajar, dan Dewa yang mengacuhkannya.

"Sendiri aja, tumben."

"Dulu, juga sendiri."

Susi tertawa, "Maksudnya, kemarin-kemarin 'kan sama bu Direktur."

Dewa tidak ingin menanggapi godaan asistennya itu.

Meski kini jabatannya seorang CEO, Dewa tetaplah Dewa. Dia akan ramah pada orang yang dikenalnya.

"Semalam dianggurin ya, Pak?"

"Hah?"

Susi Tertawa kemudian meninggalkan atasannya itu.

Dewa menggelengkan kepala tidak percaya, ketika memahami maksud ucapan Susi.

Hampir lima jam bergelut dengan dokumen yang harus didata dan ditandatanganinya, Dewa memilih berhenti sebentar.

Ia melirik jam tangannya.

12.02.

Dewa mengambil ponselnya sebelum keluar.

Jabatan yang disandangnya, tak pernah membuatnya merasa tinggi. Meski, meminta asistennya memesan makan siang untuknya merupakan hal yang wajar.

'Aku di Genirest.'

Sebuah pesan dari Marsya membuat pria itu menyusul istrinya. Tidak jauh, cukup menyebrang dan restoran yang dimaksud sudah terlihat.

Ia sedikit terkejut melihat dengan siapa Marsya sekarang.

"Pak Robert?"

Yang disapa, mengangkat kepalanya yang sedang melihat list menu makan siang mereka.

"Wah, cerah sekali wajah pengantin."

Celutukan pak Robert membuat Dewa tersenyum kikuk. Ia sempat melirik Marsya yang tersenyum santai.

Dewa, Marsya dan pak Robert terlibat pembicaraan bisnis. Cukup lama, hingga gerimis menyapa senja.

Dewa dengan kepiawaiannya dan Marsya dengan profesionalitasnya.

Mereka memang pasangan serasi.

Begitulah ucapan karyawan yang juga menikmati makan siang di restoran yang sama.

Pujian, tatapan kagum hingga iri tak ayal mengisi hati setiap mata yang memandang pasangan itu.

"Mau langsung pulang?"

"Kenapa?" Dewa balik tanya.

Marsya berdiri, ketika melihat Dewa sudah siap dan juga akan keluar dari restoran itu.

"Aku ada janji dengan designer Tin. Pulang duluan saja. Aku sudah siapkan makan malam."

Begitulah seorang Marsya, ia akan melakukan pekerjaan apapun dengan sempurna.

Ia mengatur waktu sebaik mungkin, agar hasilnya tepat sesuai perkiraannya.

Sebelum bertemu dengan pak Robert, Marsya menyempatkan pulang ke apartemen untuk menyiapkan makan malam.

Karena bertemu dengan designer Tin, yang merupakan designer yang bertanggung jawab pada model untuk iklan mobil-mobil perusahaannya, adalah janji yang sudah dilakukan satu hari sebelum pernikahan.

Bukankah seorang Marsya, begitu perfect?

Jam sepuluh malam, kaki jenjang yang terbalut rok pensil di bawah lutut memasuki apartemen.

Tubuh penatnya, ingin merasakan empuk dan hangat ranjang di kamarnya.

Marsya mendapatkan Dewa masih menggerayangi laptop dan tumpukan berkas di sofa sudut kamar.

Mereka sempat bertatapan, sebelum Marsya menghilang di pintu kamar mandi.

Tidak ada yang aneh sebenarnya. Tapi, Dewa tetap merasa tidak nyaman, setiap mendapati dirinya hanya berdua dengan wanita yang sudah menjadi istrinya.

Namun, ia tetap lelaki normal.

Ketika melihat, Marsya keluar dari kamar mandi mengenakan bathrobe yang menutupi seluruh tubuhnya.

Saking lelahnya, wanita itu tidak mengganti pakaiannya dan langsung berbaring menarik selimut tebalnya.

Hingga sesuatu yang lembut dan basah, menempel bibir wanita.

"Kamu, belum melakukan kewajibanmu."

Marsya menatap datar, wajah pria yang baru saja melepaskan pagutan bibirnya.

"Apa, aku pernah absen satu minggu ini?"

Dan, selanjutnya hanya ada suara deritan, lenguhan dan decapan dari pasangan suami istri tersebut.

Saling merengkuh, mengejar titik yang disebut nikmat. Hingga berakhir dengan deru nafas, keringat dan pejaman mata yang menandakan keduanya telah terlena dibuai mimipi.

****

"Ke rumah Mama?"

Marsya yang sedang membaca salah satu majalah fashion, mengangkat kepalanya.

"Kangen Ayu?"

Dewa berdecih dalam hati, mendengar sangkaan buruk wanita itu.

"Ponselmu mana?"

Kali ini, Marsya tidak melihat wajah Dewa. "Di kamar."

Dewa meninggalkan Marsya, namun tidak lama, ia sudah kembali dan menyodorkan ponsel istrinya.

Marsya mengernyit, melihat ponsel miliknya di tangan Dewa.

Tanpa bertanya apapun dia mengambil ponselnya dan melihat lima panggilan tak terjawab dan satu pesan dari mamanya.

Makan siang bersama?

"Aku sudah masak."

Akhir pekan pertama bagi pasangan suami istri itu, disibukkan dengan kegiatan masing-masing.

Dewa dengan berkas kerja, serta Marsya dengan majalah bisnisnya.

Tidak ada seorangpun yang tahu. Begitulah keseharian keduanya, bahkan sebelum menikah.

Paling sesekali Dewa menyamperi Ayu, ketika kesibukannya sedikit ringan, hingga memberikan waktu luang.

Dan, tadi Ratu, mama Marsya mengirimkan pesan pada keduanya untuk menghadiri makan siang.

Tapi, ia sudah mengantongi jawaban dari Marsya.

"Kalau mau pergi, aku tidak melarang."

"Aku lapar," balas Dewa sambil melangkahkan kakinya ke dapur.

Marsya menarik nafas dalam. Dewa, tidak memaksanya untuk pergi ke rumah mamanya.

Memangnya, laki-laki itu pernah memaksanya?

Dengan telaten, tangan Marsya mengisi piring Dewa dengan butiran nasi putih, ayam semur dan acar.

Sepiring pecal kesukaan Dewa, tak ketinggalan.

Marsya tahu banyak tentang Dewa dari Susi. Pria itu, sangat menyukai sayur kuah kacang tersebut. Hampir tiap hari menu makan siangnya rutin dengan lauk tersebut.

Dewa terpaku pada piring kecil, berisi sayur kesukaannya. Hampir tiap hari ia menemukan makanan itu di apartemen mereka.

Tapi, ia tidak pernah melihat Marsya membuatnya.

Mungkin beli, batin Dewa.

"Kamu nggak makan?"

Masya mengangkat piringnya, berisi salad buah.

Hanya itu?

Dan, Dewa tidak berbicara lagi.

Cukup batinnya bertanya-tanya. Hanya buah, apa bisa mengenyangkan?

"Tadi aku sudah makan jam sepuluh. Ini masih kenyang."

Dewa terpekur, tanpa menatap wajah Marsya. Dengan kata lain, Marsya menghormatiku, kan? Meski piringnya hanya terisi potongan buah, ia tetap duduk bersamaku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel