7
Dewa, ingin sekali menyuruh Marsya mengambil cuti selama kehamilan. Meski baru berusia dua bulan, anaknya tumbuh dengan baik di rahim wanita itu. Terbukti, perut Marsya sudah terlihat meski tertutu kemeja kerjanya.
Namun, karena keadaan wanita yang tengah mengandung anaknya tersebut sangat baik, untuk seorang wanita yang tengah hamil muda, Dewa tidak punya alasan atas keinginannya itu.
Tidak pernah sekalipun ia melihat istrinya muntah, atau setidaknya mual.
Agaknya, ia memang memperistrikan seorang wanita tangguh dengan segala kesempurnaannya.
"Tunggu!"
Dewa mencegat Melinda---sekretaris---istrinya. Matanya melirik kantung plastik di tangan wanita itu.
"Itu...pesanan Marsya?"
"Iya, Pak."
Dewa seperti merasa angin segar sedang melambai di jantungnya.
"Boleh berikan pada saya?"
Tentu Melinda ragu. Ini pesanan atasannya, dan sekarang suami atasannya meminta pesanan itu.
"Akan saya antarkan, kamu boleh ikut saya."
Melinda menyerahkan kantung plastik tersebut dengan wajah ragu.
Kemudian mengikuti suami atasannya masuk ke ruangan Marsya.
Dewa berdeham, begitu kepala Marsya mendongak menatapnya ketika ia masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
Tanpa basa-basi, ia meletakkan plastik tersebut di meja sofa dan duduk di sofa panjang.
"Ada perlu apa?" mata Marsya memindai laki yang baru saja masuk, dan duduk di sofa ruangannya dengan sebuah bungkusan plastik.
"Mau makan sekarang?"
Marsya menutup laptopnya, dan berjalan ke arah sofa.
Dewa membuka bungkusan plastik, dan terkejut melihat isinya.
Rujak?
Pagi-pagi begini?
"Kamu ngidam?"
Marsya menggeleng, tanpa bertanya pun, ia sudah tahu gerangan campuran buah-buahan itu.
Bukan ngidam? Jam delapan, masih pagi, kan, untuk menu sepiring rujak yang sudah di masukkan dalam mangkuk oleh si pemesan?
"Mulutku lagi nggak enak. Makanya, mau kucoba dengan makanan ini," aku Marsya, membuat Dewa mengerjap.
Anggapannya salah.
"Mau?" Marsya menyodorkan sendok tepat di bibir Dewa.
Dewa memundurkan kepalanya.
"Bentar, aku ambil sendok lain."
"Tidak usah. Kamu saja yang makan!"
Oh.
Marsya kembali duduk, dan menyuap sesendok rujak.
Tapi... Rasanya, tidak enak. Padahal, biasanya enak.
Apa, mbok Rini salah bumbu?
Melihat Marsya mengaduk rujak dalam mangkuk, Dewa merasa bingung. Namun, hanya sesaat, bingung itu berubah menjadi kekagetan.
Rujak sepuluh menit yang lalu di bawanya, berakhir dalam tong sampah belakang pintu ruangan Marsya, berikut mangkuk dan sendoknya.
"Kenapa di buang?"
"Nggak enak."
Marsya kembali ke sofa, duduk dengan tenang dan menatap wajah Dewa. "Ada perlu apa, keruanganku?"
Dewa membalas tatapan wanita di depannya, sangat tenang melebihi tenangnya air di dasar laut.
"Nanti malam, aku mau pulang."
"Lampung?"
Dewa mengangguk pelan.
"Besok, Nida operasi, kalau tidak ada halangan, besok malam langsung balik."
Marsya menimbang, kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Dewa tentang operasi pengangkatan tumor yang ada di perut adik semata wayangnya. Apakah, ia harus ikut?
Perusahaan kosong, karena CEO dan Direktur tidak berada di tempat. Meski ada tangan kanan keduanya yang handal, tapi tetap saja.
Namun, entah kenapa Marsya harus berbicara dengan Gallio, ayahnya.
"Kita berangkat jam delapan."
Dewa tertegun.
Kita?
"Oke."
Dan, Marsya menepis semua kebingungannya. Dia hanya menemani, Dewa---suaminya---yang akan menjenguk sang adik.
Ini normal.
Meski pertanyaan lain, menggantung di tangkai otaknya. Normalkah seorang Marsya meninggalkan perusahaan karena alasan pribadi?
****
Sambutan keluarga besar Dewa karena kedatangannya cukup antusias. Pengantin baru itu dikelilingi kerabat yang juga sedang berkunjung untuk melihat keadaan Nida, adik Dewa yang baru saja selesai operasi.
Rasanya baru kemarin, Dewa mengenalkan mereka pada calon istrinya yang tak lain adalah Ayu, tapi yang dibawa Dewa hari ini, wanita yang lain, yang sudah mereka ketahui bahwa Dewa menikahi kakak kekasihnya.
Tidak ada yang tahu sebabnya, mereka hanya menganggap takdir Tuhan benar-benar menakjubkan.
Tapi, tidak semua.
Ada juga kerabat Dewa yang terang-terangan memuji Ayu, di depan Marsya. Dan, Marsya tidak marah ataupun tersinggung.
"Meski, terlihat pintar. Kok aku lebih suka Ayu ya?"
"Iya, meski keduanya cantik, Ayu lebih unggul gitu."
"Ho oh. Kangen ya manjanya Ayu, pas nglutis belimbing. Aku inget itu loh!"
Celutukan setengah berbisik ditangkap dengan jelas oleh rungu Marsya yang duduk bersebelahan dengan sepupu Dewa dalam ruang rawat Nida.
Sikap Marsya sangat tenang, dan sedikitnya membuat Retno---ibu Dewan ikut tenang karena keusilan mulut keponakannya.
"Mba Marsya?"
Marsya tersenyum melihat adik iparnya, Nida, memanggil. Ia bangun, dan berdiri menghadap gadis yang sebaya dengan Ayu.
"Udah baikan?"
Nida membalas senyum Marsya, meski hanya simpulan karena menahan rasa sakit.
"Alhamdulillah, Mba."
Dewa yang berdiri di samping Marsya, membantu Nida yang ingin duduk.
"Mas!"
Dewa melihat adiknya, ketika ia memanggil.
"Cantikan Mba Marsya, ya?"
Marsya tidak merespon ucapan tiba-tiba adik iparnya.
"Kamu lapar?"
Nida menggeleng, tangannya meraih tangan Marsya. "Mba, aku butuh batuan Mba."
Marsya melirik suaminya, yang berdiri di samping kanannya.
"Mau Mba ambilkan buah?"
Nida menggeleng.
"Kamu mau minum, Nida?" tanya Dewa. Merasa ada gelagat aneh dari adiknya.
"Aku mau tahu, cara Mba meluluhkan hati mas Dewa. Sedangkan dia pernah menghabiskan waktu dengan orang terdekat Mba."
Seharusnya, Marsya speechless. Bukan tenang, seperti ini. Atau, setidaknya, dia terkejut.
"Jadi diri sendiri, itu yang Mba lakukan." sebaris kalimat Marsya membuat Dewa berpikir.
Iya.
Selama menikah, yang dilihat Dewa dari wanita yang tengah mengandung anaknya itu sama seperti Marsya yang dulu. Saat posisinya masih berstatus atasan dan kakak kekasihnya.
Hanya berbeda sedikit, ia tak lagi ketus atau memerintah. Baik di rumah atau di kantor.
Lain masih sama.
"Benar Mas? Mas Dewa ngrasain apa yang dikatakan Mba Marsya?"
Dewa terkejut, mendengar Nida menyebut namanya, dan membawanya dalam obrolan adik dan istrinya.
Untung, kerabatnya sudah pulang. Sehingga ia tidak harus memusingkan kepalanya mengurus mulut usil mereka.
Dari samping, Dewa bisa melihat leher jenjang Marsya yang setiap malam dijamahnya. Juga wajah wanita itu, yang ia nikmati setiap malam panas yang terlewat.
"Kamu sedang jatuh cinta?"
Mata Dewa, merekam gerak rahang wanita yang baru saja menanyakan hal pribadi pada adiknya.
"Mba pernah jatuh cinta?" Nida balik bertanya.
"Tidak. Dan jangan tanyakan pada Mba masalah itu." Marsya menjawab sambil terkekeh.
Ketika dihadapkan pada soalan hati, Marsya tidak bisa berkutik. Karena, jujur. Ia belum pernah merasakan 'rasa' yang membuat setengah populasi di belahan bumi hilang kesadaran.
Contohnya, Ayu. Adiknya, yang mencintai Dewa.
Mungkin, sampai saat ini.
Entahlah!
Dan Dewa kembali tertegun entah untuk yang keberapa kalinya.
Marsya tidak pernah jatuh cinta. Ia tahu dari Ayu, wanita itu tidak pernah pacaran.
Tapi...
Untuk sekarang, setelah apa yang mereka lakukan. Apa rasa itu, belum juga ada?
Pertanyaan itu terus mengulang dalam benak Dewa, hingga malam tiba, dan ia sudah kembali ke rumah ibunya untuk istirahat.
Ia sendiri di kamar, sementara Marsya belum masuk.
Karena wanita itu sedang memasak kolak jagung, yang tiba-tiba saja diinginkannya. Satu jam lebih berkutat di dapur, Marsya masuk ke kamar Dewa dengan nampan di tangannya.
"Kamu yang bikin?" Dewa melihat jam, yang sudah menunjukkan angka sepuluh malam.
"Hm, cobalah."
Dewa melihat Marsya meniupkan kolak jagung yang masih panas. Garis-garis halus bekas cakar di telapak tangan Marsya, menarik perhatiannya.
Ia menyentuh tangan Marsya, dan membaliknya.
Matanya panas, melihat tangan halus Marsya tergores banyak, hingga jari-jarinya.
"Kamu memarut kelapa?"
Marsya menarik tangganya dari genggaman Dewa. "Kenapa?" kemudian ia mulai menyuapi sesendok kolak.
Kamu bahkan tidak tahu caranya.
"Makanlah, lagi hangat begini, enak."
"Tanganmu---"
Marsya melihat ke arah Dewa yang duduk di sampingnya di sisi ranjang. Dan, bagi Dewa, tatapan Marsya terasa hangat dan lembut.
"Tangan ini pernah menyelamatkan hidup banyak orang. Kalau hanya keinginan satu janin, tidak akan jadi masalah. Apalagi, dia tinggal dan hidup dalam satu nyawa denganku."
Tatapan Marsya, kembali ke kolaknya. "Bagiku, dia segalanya. Dan, aku ingin anak-anakku, makan apapun dari tanganku sendiri. Kalaupun tangan ini harus tergores atau melepuh sekalipun, aku tidak peduli."
Dewa trenyuh, mendengar barisan kalimat panjang yang diucapkan Marsya. Cinta wanita itu untuk anaknya sangat besar.
Apa, pantas ia menuntut lebih banyak hal pada istrinya?
"Kamu mencintainya?"
"Siapa?"
"Janin ini."
Marsya menunduk, melihat telapak tangan Dewa mengusap perut yang mulai membuncit.
"Iya."
Tatapan keduanya beradu.
Dewa menyelam ke dalam dasar pandangan wanita itu.
"Ayahnya?"
Tatapan mata Marsya kembali pada kolak, dan bersiap menyendok lagi.
Tapi, dua jari Dewa mengapit dagunya, hingga ia harus melihat pria itu, lagi.
"Bagaimana?"
"Benahi dulu hatimu, jangan memaksa jika belum siap."
Rahang Dewa mengatup. Namun, tidak melepaskan dagu Marsya. Malah, ia menarik wajah wanita itu semakin dekat dengannya.
Mereka hanya, diam. Tidak melakukan apapun. Cukup saling menatap, dan membaut Dewa gila.
Karena tatapan Marsya...
...sungguh merindukan.
Dewa memejamkan matanya, ketika Marsya memagut bibirnya lembut dan dalam.
"Mau kupanaskan lagi, kolaknya?"
Dewa mengerang pelan, ketika Marsya melepaskan tautan bibir mereka dan memilih topik kolak.
Yang dibutuhkannya sekarang, memanaskan ranjang yang sudah lama tidak dipakai olehnya.
Dan, ia ingin Marsya yang ada di atas ranjangnya.
Keinginan yang sama... Sejak ia menjadi suami Marsya Gallio Diraja.
Keinginan...yang selalu diinginkan dari wanita itu selama dua bulan ini.
...yang belum membalas rasanya.
