4
Keputusan anak sulung didukung sang suami, membuat Ratu harus menyaksikan konfrontasi putri bungsunya yang diluahkan padanya.
Dari tadi pagi, setelah Gallio memberitahu kabar pertunangan Dewa dan Marsya, Ayu menangis.
"Kenapa harus mba Marsya, Ma?"
Tangisan penuh luka Ayu menyayat hatinya.
Ayu tidak setegar Marsya, tapi ia memiliki hati yang lembut. Dan, menghadapi masalah ini, kelembutan hatinya tidak bisa diandalkan sama sekali.
"Kamu percaya sayang? Setiap yang datang pasti akan pergi. Termasuk dalam pacaran."
Ayu menggeleng, "Mana bisa begitu, Ma?" tangannya mengusap air mata yang tak mau berhenti. "Mas Dewa nggak pergi, tapi direbut mba Marsya!"
Ratu membenarkan ucapan Ayu. Tapi, cuma dalam hati, tidak mungkin ia tambah memanasi putrinya itu.
Keadaan Ayu sungguh prihatin. Ini sudah sore, sesuap nasi atau roti belum terjamah mulutnya.
Ia tidak butuh apa-apa.
Ia hanya ingin Dewa.
Kekasihnya, yang sudah dua tahun bersama.
Sementara lelaki yang sedang ditungguinya, tengah berada di kantor. Tepatnya di ruangannya.
Ia kedatangan tamu, yang tak lain adalah atasannya. Mungkin sebentar lagi, akan menjadi calon istri.
"Saya hanya ingin memastikan. Calon CEO Merc Company bisa profesional."
Alis Dewa terangkat, meski tak terlalu tinggi.
Apa maksud wanita ini?
"Ini undangan yang harus kamu sebar. Tidak banyak, hanya petinggi saja."
Marsya memperhatikan sekeliling.
Lumayan.
Ruangan Dewa, tidak terlalu eksentrik meski kental dengan gaya jerman.
Walpaper dinding bercorak daun kering, dan furniture yang ada dalam ruangannya terkesan sederhana dan tenang.
Merasa keperluannya sudah selesai, Marsya keluar tanpa permisi. Namun, ia berbalik dan melihat Dewa masih berdiri dengan posisi seperti tadi.
"Selesaikan semuanya dengan Ayu. Saya tidak mau dengar gosip murahan!"
Pintu tertutup, menandakan wanita itu sudah pergi. Dan, meninggalkan Dewa dengan kepalan tangannya.
Selesaikan semuanya?
Apa kabar Ayu?
Tanpa sadar, ponsel dalam genggamannya sudah terhubung dengan pemilik hatinya.
"Mas Dewa!"
Dewa memejamkan matanya, ketika mendengar suara tangis Ayu, meneriakkan namanya.
Kabar pertunangan yang akan dilaksanakan minggu depan, pasti sudah diketahui gadis itu.
"Mas mau ketemu, bisa?"
Setelah mendengar jawaban Ayu, Dewa mematikan ponselnya. Ia melihat arlojinya yang sudah menunjukkan angka empat sore.
Ia bergegas menuju caffe tempat mereka bertemu.
Dan, satu hal yang tidak ingin Dewa lihat sekarang adalah Marsya. Tapi, takdir seperti mulai bermain.
Dia terpaksa satu lift dengan wanita itu. Bisa saja, ia pilih lift lain seandainya hari masih siang, tapi ini sudah sore, dan dia sedang buru-buru.
Tidak ada yang bersuara, meski hanya elaan nafas. Marsya sibuk dengan ponselnya dan terlihat serius. Sedangkan, Dewa dengan pikirannya yang tengah mempersiapkan hatinya menanti dugaan lara.
"Cukup selesaikan. Jangan menambah bumbu manis!"
Ucapan Marsya, bersamaan pintu lift terbuka menghentikan Dewa yang sudah melangkahkan kakinya.
Dan, ia harus melihat wanita itu berjalan melewatinya.
Dia tahu?
Dari siapa?
Dewa mengerang. Pasti, Susi asistennya.
Karena hanya wanita itu yang tahu jadwal dan kesibukannya. Tadi, ia juga sempat memberitahu wanita itu untuk bertemu seseorang.
Walaupun tak menyebutkan siapa yang akan ditemuinya, Marsya pasti sudah bisa menyimpulkan.
Dewa memilih caffe yang tidak begitu jauh dari kediaman Gallio. Karena ia tidak mau, Ayu harus menyetir jauh.
"Sudah lama?"
Dewa tidak bisa mengabaikan wajah masam dan mata bengkak Ayu yang disembunyikan dalam kaca mata hitamnya.
"Nggak juga," sahut Ayu.
Lagi, suara parau Ayu.
Dewa merasa tak berguna.
"Mas ngajak aku ke sini, buat minta izin? Jangan harap aku mau!"
Meski bernada ketus, Dewa masih menangkap kelembutan dalam kalimat ayu.
"Mas Dewa yang kukenal tidak gila jabatan!"
Dewa meneguk ludahnya.
"Dia juga bukan laki-laki pengkhianat!"
Dewa meraih tangan Ayu dan menciumnya.
"Ini bukan masalah jabatan atau mengkhianatimu," kata Dewa masih menangkup tangan halus Ayu.
"Ini tentang budi dan juga baktiku pada Gallio Diraja----"
"Mas bisa menikahiku, tidak harus mba Marsya!!"
Dewa menahan tangan wanita itu, yang berusaha ditarik pemiliknya.
"Seandainya kamu wanita biasa, bisa saja. Tapi kami keturunan Diraja. Kamu mengerti itu, kan?"
Dewa bukan menyudutkan Ayu. Ia sendiri frustasi dengan keputusan yang telah dibuatnya.
Seorang keturunan Diraja, akan mewarisi seluruh harta kekayaan tujuh turunan itu. Meskipun tidak mempunyai anak laki-laki, anak sulung yang akan mewarisi seluruh warisan itu dengan syarat harus menikah.
"Kamu tahu, bagaimana papamu menjadikanku seorang yang sukses saat ini. Kamu juga tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."
Ayu membuka kacamatanya. Dan, Dewa cukup terkejut melihat mata merah, bengkak dan berair.
Jejaknya, sangat kental.
Ayu menangis untuknya.
"Mas harus melihat jasadku terbujur kaku. Jika Mas tetap nglakuin itu!"
Mata keduanya beradu.
"Ayu!"
Dewa tidak suka Ayu berbicara seperti itu.
"Maka dari itu, jangan lakukan. Mas tahu kan, bagaimana sayangnya aku sama Mas?" isakan demi isakan membuai perasaan Dewa.
"Kita berjuang bersama. Kalau perlu kabur..." lirih ucapan Ayu, membuat goresan di dada Dewa.
"Ayu dengarkan Mas---"
"Aku nggak setuju, dan aku nggak mau dengar apa-apa lagi!"
Ayu berlari, meninggalkan Dewa dengan kekecewaan yang terlalu dalam. Dia tidak mau mengakhiri hubunganya dengan pria itu. Apapun alasannya.
Dewa yang ditinggalkan seperti itu, mengejar langkah Ayu yang sudah masuk ke mobilnya dan bersiap pergi.
Dewa mengetuk kaca mobil Ayu, namun tak dihiraukan gadis itu, hingga mobil yang dikendarai Ayu melesat dari jangkauan Dewa.
Tidak tinggal diam, Dewa mengikuti mobil Ayu hingga membawanya ke rumah Gallio.
Ya, dia hanya mengikuti.
Karena ia ingin memastikan gadis pujaan yang telah dilepaskannya, selamat. Meski, hatinya tengah meremat bara luka.
Begit masuk, Ayu mendapatkan kakaknya di ruang tamu bersama Gallio.
Mereka dikagetkan dengan pergerakan tiba-tiba gadis itu.
"Mbak, tolong hentikan! Aku nggak sanggup berpisah dengan mas Dewa. Aku nggak sanggup!"
Marsya menatap datar kepala Ayu, yang berlutut di kakinya.
"Bangun Ayu! Apa yang kamu lakukan?!"
Gallio berusaha menahan amarahnya. Melihat tingkah Ayu yang sudah tidak sewajarnya.
Ia mengerti perasaan Ayu. Namun, tidak mau anaknya menjadi budak cinta karena seorang pria.
Masa depannya masih panjang. Dan, yang dilakukan putrinya itu merupakan tindakan bodoh.
Ayu menggeleng, ia masih memeluk kaki Marsya yang duduk berhadapan dengan Gallio.
"Atas dasar apa Mbak harus mengabulkan permintaanmu? Sedangkan karyawan sedang berataruh nyawa demi perusahaan. Kamu waras, Ayu?"
Setelah mengatakan hal tersebut, Marsya berdiri. Melangkah naik ke kamarnya.
Sedih?
Tidak!
Marsya tidak sedih melihat keadaan Ayu, yang mirip dengan wanita tolol menangisi suami yang berselingkuh.
Dunia ini terlalu biasa, kalau hanya mengisi hal tidak berguna seperti itu.
****
"Selamat Bu Marsya!"
"Semoga lancar sampai hari-H."
"Salut sama kalian, diam-diam bae!"
Itulah suara bernada formal hingga celutukan para petinggi yang cukup dekat dengan Dewa.
Suasana pesta pertunangan Dewa dan Marsya yang dihelat cukup mewah dan elegan di sebuah hotel berbintang Jakarta.
Kehadiran petinggi dan pejabat memenuhi ruang yang sudah dirias dengan nuansa taburan bunga putih.
Dewa dan Marsya, tersenyum di sepanjang acara. Menyambut ucapan selamat dari ratusan tamu undangan.
Semua berbahagia, melihat pasangan yang baru saja bertukar cincin, terlihat serasi bagai raja dan permaisurinya.
Kecuali Ayu.
Gadis itu tidak menampakkan batang hidungnya.
Dan, Marsya tidak ambil pusing.
"Ini kunci apartemen kita, Ibu bisa tinggal di sana."
Dewa menggulung lengan kemejanya, merasa gerah dengan keramaian yang mulai berburai.
"Ibu bisa tinggal denganku," kata Dewa menolak dengan jelas usul wanita yang sudah resmi ditunangnya.
Dan, Marsya tidak ambil pusing dengan penolakan itu.
"Aku pulang dulu," kata Marsya tanpa menunggu tanggapan Dewa, karena kakinya sudah melangkah meninggalkan lelaki itu.
Dewa menatap datar punggung Marsya yang sudah berbalik. Tanpa mengatakan apapun, ia membiarkan wanita itu pergi.
Dan, hatinya remuk kala membaca pesan dari Ayu.
'Aku tidak ingin mengucapkan selamat. Karena, aku masih menunggu Mas.'
