Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Permainan yang Nyata

Tengah Malam Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya. Lampu hanya satu yang menyala—redup, remang. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan wajah Aluna dan Reyhan. Beberapa file video lain sudah terbuka. Semua terekam jelas. Begitu nyata. Begitu menghantam hatinya.

Bayangan dari masa lalu kembali muncul, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai ancaman nyata.

Aluna tak hanya harus mempertahankan rahasia cintanya... kini ia harus berjuang menyelamatkan pria yang ia cintai, dari tangan wanita yang Adrian tinggalkan dulu—Amiyah.

Dan di balik semua ini, ada pertanyaan yang mulai muncul di benak Aluna:

"Apa aku sebenarnya memang hanya bidak dalam balas dendamnya?"

Tangannya mengepal. Namun bukan hanya karena amarah.

Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan.

> “Siapa yang merekam ini?” gumamnya, dalam nada datar.

Ia membuka file metadata rekaman. Dan di situlah ia menemukan satu nama dalam kode perangkat yang digunakan untuk merekam:

“DEV_AMIYAH”

Nama yang sudah bertahun-tahun tak ia dengar lagi.

---

Kenangan Tersembunyi

Adrian berdiri, melangkah ke rak buku tua. Ia menarik salah satu album foto lama—hal yang tak pernah ia sentuh sejak menikah dengan Aluna.

Di halaman ketiga: sebuah foto berdebu. Di sana ada dia... dan seorang wanita muda, Amiyah.

Mantan kekasihnya. Wanita yang dulu mencintainya dengan obsesi.

Wanita yang ia tinggalkan—karena terlalu posesif, terlalu ekstrem, terlalu manipulatif.

> “Kau pikir bisa lari dari aku, Adrian?”

Suara Amiyah kembali menggema dalam kepalanya, seperti hantu dari masa lalu.

---

Sementara Itu – Aluna Menerima Telepon

Ponsel Aluna berdering. Nomor tak dikenal.

“Kalau kau tutup telepon ini, Reyhan akan hilang.”

Aluna membeku. “Siapa kamu?”

“Aku... perempuan yang kau rebut hidupnya. Sekarang giliranmu kehilangan segalanya.”

Telepon mati.

Dan di layar ponsel—tiba-tiba muncul pesan singkat, dengan satu foto:

Reyhan terikat di kursi, mata ditutup, mulut dilakban.

Suara Langkah dan Desah Nafas

Aluna berlari menuruni tangga darurat gedung apartemen Reyhan. Tidak berani menunggu lift. Tangan gemetar, napas berat, tapi ia tahu: setiap detik bisa berarti nyawa.

Pesan terakhir dari nomor misterius itu membuat jantungnya membeku—bukan hanya karena Reyhan dalam bahaya, tapi karena wajah Amiyah mulai terasa familiar di pikirannya.

Dulu pernah ketemu... Tapi di mana?

Pikirannya berlarian secepat langkahnya. Bayangan demi bayangan masa lalu mulai menyeruak. Seseorang yang pernah hadir sekilas dalam kehidupan Adrian, yang selalu dihindari pembicaraannya. Seseorang yang tatapannya seperti menusuk dari balik punggung.

---

Di Tempat Tertutup

Sementara itu, Reyhan duduk di kursi besi tua. Tangannya terikat kuat, mata ditutup, dan mulut dilakban. Namun telinganya masih awas.

Langkah kaki.

Bau parfum... lembut, namun mengandung aroma pahit bunga kenanga.

Suara sepatu hak tinggi menyentuh lantai beton. Kemudian suara perempuan... sangat tenang, terlalu tenang.

“Kau tahu, Reyhan... kau itu terlalu mudah ditebak. Terlalu cepat jatuh cinta. Terlalu gampang menganggap dirimu pahlawan.”

Dia mendekat, membuka penutup mata Reyhan pelan.

Cahaya redup menyilaukan.

Saat matanya mulai menyesuaikan, Reyhan melihat sosok wanita itu.

Cantik. Wajah oriental. Rambut sebahu dengan potongan simetris. Lipstik merah darah.

Amiyah tersenyum—samar, seperti tak benar-benar ada emosi di baliknya.

“Aku tidak akan menyakitimu… belum. Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa setiap langkah kalian sudah kulacak sejak lama. Sejak sebelum kau menyentuh kulit Aluna.”

---

Sementara itu, Adrian Mengikuti Jejak Digital

Adrian duduk di ruang kerja gelapnya, dikelilingi layar-layar monitor. Ia telah membobol alamat IP sumber kiriman video ke Aluna. Jejak digital itu mengarah ke satu lokasi tak terduga—sebuah rumah kosong di pinggiran kota, bekas rumah orangtuanya yang dulu sempat dijual diam-diam oleh Amiyah sebelum menghilang.

Tangannya mengepal, napasnya berat.

“Aku akan ke sana sendiri.”

Dia tahu, ini bisa jadi jebakan. Tapi jika itu satu-satunya cara menyelamatkan Reyhan... dan mengakhiri semua ini, ia rela menghadapi iblis dari masa lalunya.

---

Aluna Tiba di Sebuah Gudang Tua

GPS terakhir yang dikirim melalui pesan mengarahkan Aluna ke sebuah gudang tua di daerah industri terlantar. Jantungnya berdegup kencang.

Ia menyusup masuk melalui celah pintu karatan, menahan napas. Bau besi tua dan debu menyesakkan dada.

Langkahnya pelan, tapi pasti.

Di balik dinding kayu yang hampir rubuh, ia mendengar suara... bukan rintihan... tapi tawa perempuan.

Tawa itu dingin, seperti merayakan kemenangan sebelum perang benar-benar dimulai.

Aluna mendekat... dan detik itu juga, dia melihatnya.

Sosok wanita berpakaian hitam elegan, duduk di atas peti tua... dengan Reyhan terikat di depannya, dan pisau kecil di tangannya—diputar-putar di jari, seperti sedang memainkan boneka.

“Kau pikir dia milikmu?”

Amiyah mengangkat wajahnya ketika mendengar langkah cepat Aluna masuk ke dalam gudang. Matanya bersinar tajam, penuh ironi, seolah sedang menikmati kehadiran sang rival dalam permainan yang telah ia mulai sendiri.

Aluna berdiri dengan tubuh bergetar, tapi matanya tak lagi menyimpan rasa takut. Hanya kemarahan… dan tekad.

"Dia bukan milik siapa-siapa, Ami. Dan bukan kau yang bisa menentukan siapa yang pantas dia cintai."

Amiyah berdiri perlahan. Gaun hitamnya berkibar lembut ketika ia melangkah pelan ke arah Aluna, wajahnya tetap tenang, tapi suaranya menggigit seperti pisau.

“Ah… jadi kamu pun mencintainya, ya? Sama seperti aku dulu mencintai seseorang… yang akhirnya menikahi wanita yang dia tak pernah benar-benar pilih…”

Aluna terdiam. Kata-kata itu terdengar seperti potongan masa lalu yang membingungkan.

---

Rahasia Terbongkar

Amiyah menghela napas panjang, lalu duduk di atas peti tua kembali. Ia memandang Reyhan yang masih terikat, lalu beralih pada Aluna.

“Kau tahu, Luna? Ibuku... adalah istri simpanan ayah Adrian.”

Aluna tersentak. Suasana tiba-tiba menjadi sangat sunyi.

“Adrian mungkin tak tahu… atau mungkin pura-pura tidak tahu. Tapi aku dibesarkan dengan kebencian. Karena ayah kandungku hidup nyaman… sedangkan ibuku dibuang seperti sampah. Aku dibesarkan oleh kebencian, dan dendam.”

Mata Amiyah mulai berair, tapi tidak menangis. Hanya mengeras.

“Aku masuk ke hidup Adrian, mendekatinya… mencintainya… berharap dia menebus dosa ayahnya. Tapi yang kudapat? Aku dibuang. Seperti ibuku dulu.”

---

Aluna Mendekat

Aluna perlahan melangkah maju. Kali ini tanpa rasa takut. Tatapannya melembut, bukan karena iba, tapi karena ia tahu... hanya rasa sakit yang bisa membuat seseorang setega ini.

“Ami, membalas dendam gak akan sembuhkan luka itu. Gak akan menghidupkan masa lalu. Tapi Reyhan gak salah. Aku pun enggak.”

Amiyah menoleh cepat. “Kalian menikmati malam bersama, kan? Di sofa itu. Tanpa rasa bersalah. Kalian semua sama—mengambil apa yang bukan milik kalian.”

Pisau kecil di tangannya bergetar.

---

Mata Reyhan Bicara

Reyhan hanya bisa menatap Aluna, matanya penuh kekhawatiran. Tapi saat Aluna bertemu tatapan itu, ia tahu Reyhan ingin dia tetap tenang. Jangan terpancing.

Lalu Reyhan mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba menjatuhkan kursi tempat ia terikat. Dentuman keras membuat Amiyah menoleh cepat—dan Aluna memanfaatkan momen itu.

---

Aluna Melompat

Dengan gerakan cepat, Aluna merebut pisau dari tangan Amiyah. Mereka bergumul, tubuh mereka saling dorong dan tarik di lantai berdebu. Nafas berat, desahan tertahan, luka kecil di lengan Aluna akibat tergores pisau.

Amiyah berteriak. “Kau pikir ini selesai? Aku masih punya semuanya. Video! File! Bukti!”

Aluna menundukkan wajahnya, penuh keringat dan darah tipis di pelipis.

“Aku gak peduli kalau seluruh dunia tahu. Tapi aku gak akan biarkan kau hancurkan Reyhan lagi.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel