Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Meledaknya Bom hati

"Dari mana aja kamu, Zalia? Kenapa jam segini, belum masak?" bentak Mas Yudha. Aku yang letih baru pulang ke rumah, sehabis mengantarkan pakaian, sudah mendapatkan sambutan bentakan.

Keringat di tubuhku belum kering, kaki yang letih berjalan belum sempat selonjor. Tapi, aku sudah dapat bentakan seolah aku hanya pergi bermain saja seharian ini.

Kata orang pernikahan itu ladang pahala, tapi tidak untukku. Pernikahanku ini sudah seperti neraka bagiku.

"Aku baru pulang, Mas. Aku capek! Bisa gak ngomel-ngomel" jawabku. Kuletakkan Alia yang sedang tidur di gendonganku keatas tikar yang ada di depan tv. Jika kuletakkan di kamar takutnya ia terbangun dengan cuaca yang panas begini.

"Makanya kalau gak mau suami ngomel. Sebelum pergi itu masak dulu. Atau setidaknya kamu pulang bawa makanan. Ini disuruh beli lontong, malah gak pakai telor! Gak becus banget kamu jadi istri!" lagi-lagi aku, aku lagi ... yang di salahin. Semuanya salah aku. Gak ada makanan salahku! Gak ada uang salahku, semua salahku. Sebenarnya yang kepala rumah tangga ini aku atau dia, sih?

"Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja, Mas?" jawabku santai. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Aku minum air itu hingga tandas. Tenggorokanku rasanya begitu kering.

Aku dan Alia tadi sudah makan sate di pinggir jalan, dekat simpang tadi, sepulang dari mengantar pakaian. Perutku yang melilit karena belum menyentuh nasi sejak pagi, rasanya sudah tak kuat lagi jika harus menunggu sampai rumah.

Lima ribu seporsi, adalah porsi yang jauh dari kata kenyang. Tapi cukup untuk mengganjal perut sementara. Bukannya tak mau membeli seperti orang banyak, tapi uang yang kudapat ini hanya cukup untuk membayar kontrakan yang sudah jatuh tempo.

"Kamu ini kalau di bilang suami malah jawab! Kamu kan, baru dapat upah. Apa salahnya sih, sisihkan sedikit untuk membelikanku makanan. Belikan ayam bakar sepotong, paling cuma sepuluh ribu!" ujar Mas Yudha enteng.

Ya Allah beri kesabaran hamba untuk menghadapi suami model Mas Yudha. Andai bercerai tidak di benci oleh agama, mungkin sejak dulu aku bercerai dengannya. Karena mengharapkan Mas Yudha berubah, sepertinya mengharapkan ayam bertelur emas. Tak akan jadi kenyataan.

"Kamu dengar gak yang aku omongin, Zalia?" bentak Mas Yudha lagi. Aku menutup mata sejenak dan menghembusnya secara perlahan. Mengatur deru hati yang mulai terbakar emosi.

"Aku dengar, Mas. Gak usah teriak-teriak! Aku bukan babumu! Sebelum kamu memarahiku seharusnya kamu introspeksi diri dulu, Mas! Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja? Memangnya kamu ada ngasih nafkah untukku?" sungutku. Emosiku lepas juga akhirnya. Semakin disabar-sabarin, semakin menjadi.

"Lancang sekali kamu, Zalia!" sungut Mas Yudha.

Plakk ...

Mata ini terbelalak merasakan tangannya melayang ke pipi ini. Kuraba pipi yang terasa perih karena sudut bibirku yang pecah. Namun sakitnya menjalar hingga ke hati. Bahkan lebih sakit lagi di sana.

"Kamu memukulku, Mas?" tanyaku seakan tak percaya.

Aku menatap mas Yudha dengan nyalang, mataku berkaca-kaca. Selama menikah ini lah pertama kali ia melayangkan tangannya ketubuhku.

"Istri yang tak berbakti sepertimu, memang pantas di pukul!" ujarnya.

"Istri tidak berbakti? Kurang berbakti apa lagi aku padamu, Mas! Aku yang banting tulang menafkahi keluarga ini, sedangkan kamu ..." Kutunjuk wajah lelaki yang menjadi imamku itu dengan geram. "Kamu hanya makan tidur! Saat kamu lapar kamu hanya bisa menjerit dan memerintah! Apa fungsimu sebagai suami, Mas? Tak ada! Aku perempuan bersuami, tapi hidup layaknya seorang janda!" sungutku lantang. Meledak sudah bom di hati ini.

Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan semua sikap dan perilakunya. Tapi tidak kali ini. Habis sudah batas kesabaranku.

"Jadi sekarang kamu sudah berani melawanku, Zalia! Aku marah karena kamu tak tahu tugasmu sebagai seorang istri. Seharusnya kamu itu masak dulu sebelum berangkat. Ini suami pulang tak ada makanan di rumah!" balas Mas Yudha tak kalah menyungut. Nada suaranya masih meninggi. Membuat hati ini semakin berdenyut nyeri.

Ingin rasanya kuhantam kepalanya itu Kedinding, agar dapat kulihat apa saja ini yang ada di dalamnya.

"Bagaimana aku bisa becus menjalankan tugasku sebagai seorang istri, jika aku terlalu sibuk mengambil alih tugas suamiku yang pemalas untuk mencari nafkah! Kamu bilang, seharusnya aku memasak dulu sebelum pergi, Mas? Apa yang mau aku masak jika tak ada uang di tangan. Apa kamu memberikanku uang untuk memasak. Ya Allah ... ya Robbi! Jodoh apa yang kau kirimkan untukku ini!" jeritku layaknya orang gila.

Hingga putri kecilku yang sedang tidur menjadi terbangun dan menangis. Aku datang menghampiri Alia. Menggendongnya dengan air mata yang telah jatuh berderai. Membujuk putriku agar berhenti menangis.

Aku sudah tak kuat lagi. Aku tak sanggup!

Kubawa Alia masuk kedalam kamar. Kuletakkan Alia di atas ranjang, lalu berjalan menuju lemari menurunkan koper yang sudah tampak usang.

Mas Yudha menghampiriku yang sedang sibuk memasukkan baju-bajuku dan baju Alia. Aku bawa baju-baju jelekku yang cuma beberapa lembar, itu pun baju yang kubawa semasa aku belum menikah dengannya. Selama menikah dengan Mas Yudha, jangankan membelikan aku baju. Memberikanku nafkah bisa di hitung pakai jari. Itupun tak cukup untuk biaya hidup kami selama seminggu.

"Apa-apaan ini, Zalia? Kamu mau kemana?" tanya Mas Yudha. Sorot matanya mendelik tak suka dengan apa yang aku lakukan.

Biar saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk pergi. Aku sudah tak sanggup lagi menjalani rumah tangga yang tak sehat ini. Bukan hanya fisikku yang lelah, tapi batinku juga menderita.

"Ingat Zalia! Satu langkah saja kakimu keluar dari rumah ini, maka kamu bukan istriku lagi!" ancam Mas Yudha. Aku tersenyum kecut. Menutup koper dan meletakkannya ke bawah. Kugendong Alia dan mengambil koper itu myeretnya hingga keluar kamar.

Mas Yudha masih membututiku dari belakang. Hingga aku hampir sampai di pintu depan, barulah ia menahan tanganku. Membuatku urung membuka pintu itu. Aku berbalik, kuhempas dengan cepat cekalan tangannya.

Mata Mas Yudha mendelik. "Kamu berani sekarang, Zalia. Kamu berubah!"

"Karena aku sadar selama ini aku bodoh. Bodoh karena telah percaya ucapan manismu! Yang nyatanya, jangan kan kebahagian. Rasa aman pun tak mampu kamu berikan!"

"Tidak, kamu tidak boleh pergi dari rumah ini! Kamu masih istriku. Jika kamu mau pergi, maka kamu tak boleh membawa Alia pergi." Mas Yudha merampas Alia yang ada di gendonganku dengan kasar. Membuat gadis kecil itu menangis kembali.

"Berikan Alia padaku, Mas. Lihat! Kamu membuat ia menangis!" Aku berusaha merebut Alia kembali, tapi dengan cepat ia menghalanginya.

"Tidak, jika kamu mau pergi dari rumah ini silahkan, tapi jangan bawa anakku!" ancamnya lagi.

"Tidak! Alia harus ikut denganku. Jika ia bersamamu, akan kamu kasih makan apa anakku? Sedangkan mencari makan dirimu sendiri saja, kamu tak sanggup!" sindirku.

Mata Mas Yudha melotot memandangku penuh amarah. "Lancar sekali mulutmu menghinaku, Zalia! Aku dulu bukan pengangguran. Aku dulu bekerja di pabrik apa kau ingat? Karena menikah denganmu, makanya aku di pecat. Itu karena kamu tidak membawa rezeki untuk suami!"

Deghh.

Serasa tertusuk belati hatiku ini. Secara tidak langsung Mas Yudha mengatakan jika diriku ini istri pembawa sial untuknya. Padahal dia di pecat karena kesalahannya sendiri.

"Kenapa menyalahkan aku, Mas! Kamu di pecat karena kamu PEMALAS! Siapa yang mau menggaji orang yang kerjaannya cuma tidur-tiduran saja!" makiku. Kutekan Kata demi kata yang keluar dari mulutku, agar otaknya yang konslet itu bisa normal dan menjadi lelaki yang waras.

"Kau ..."

"Apa Mas? Kamu mau memukulku lagi?" ujarku menantang saat melihat tangannya yang mulai melayang ke udara. Mas Yudha menarik tangannya kembali. Alia masih menangis dan menggapai tangannya padaku minta di gendong.

Aku sedih melihat putriku itu. Tapi jika terus begini, maka pertengkaran ini tak akan ada habisnya. Aku tahu Mas Yudha sedang menggertak aku. Ia menahan Alia agar aku tak jadi pergi dari rumah ini.

"Dasar istri kurang ajar! Jika kamu mau pergi, pergilah! tapi jangan bawa Alia. Ia akan tetap bersamaku. Karena aku tak mau Alia besarnya nanti, tumbuh menjadi istri durhaka seperti kamu!" sungutnya yang tak kalah lantang.

"Jika aku istri durhaka, terus kamu apa, Mas?" balasku sambil menyeringai. "Baik jika itu mau, kamu. Aku akan pergi dari sini tanpa Alia. Semoga kamu bisa mengurusnya dengan baik. Tapi ingat, Mas! Jika ada apa-apa dengan putriku maka, dengan tanganku sendiri akan menghabisimu!" ujarku begitu yakin dengan penuh ketegasan. Sambil mengacungkan jari telunjukku padanya.

Mata Mas Yudha mendelik kaget. Mungkin dia tak menyangka aku akan berkata seperti ini. Aku kenal Mas Yudha, dia tidak akan memperbolehkan aku untuk keluar dari rumah ini. Maka ia akan menahan aku dengan titik kelemahanku. Agar aku tak jadi pergi dari rumah ini.

Namun tidak lagi, sudah terlalu sakit hati ini menghadapi dirinya. Sifat dan wataknya telah membabat habis kesabaran yang kumiliki. Hingga tak bersisa.

Biarlah sementara Alia bersamanya, karena aku tahu. Sejahat-jahatnya Mas Yudha, dia tidak akan menyakiti darah dagingnya sendiri.

Sambil itu aku akan mencari cara untuk merebut hak asuh Alia agar jatuh ke tanganku. Aku yakin Ibuku pasti akan membantuku.

Walau aku harus menahan malu pulang kerumah, tapi tak apa. Aku pasrah, bukankah orang tua adalah sebaik-baiknya rumah tempat berlindung anaknya. Bahu tempat anaknya bersandar.

Alia sayang, maafkan Bunda, nak. Bunda janji tak akan lama, bunda akan jemput Alia lagi. Kita akan bersama, sayang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel