Bab 7. Pohon rindang tempatku bertedu, ibu.
Dengan langkah pasti aku menarik kembali koperku, membuka pintu rumah dan berjalan keluar. Alia semakin menangis menjerit memanggil namaku.
"Zalia apa kamu tidak kasihan melihat anakmu ini? Ibu macam apa kamu ini, hanya memikirkan egoismu sendiri!" makinya membuat langkah kakiku terhenti.
Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya hati ini tak tega melihat putriku yang menjerit sedih begitu. Aku berjalan mendekati Mas Yudha, merampas Alia dari gendongannya saat ia lengah. Lalu bergerak mundur menjauhi dirinya.
"Aku berubah pikiran, Mas. Aku pergi membawa Alia,"
Mas Yudha mengerang kesal dengan tindakanku. "Jika kamu berani mendekat. Jangan salahkan aku untuk teriak. Biar semua orang di komplek ini tahu siapa kamu!" ancamku. Posisi kami yang kini berada di teras rumah memudahkanku untuk menekannya.
Jika ia macam-macam, maka aku akan berteriak dan membuat suasana semakin ramai. Apa lagi luka yang ada di sudut bibirku bekas tamparannya tadi, bisa kujadikan bukti tindakan KDRT.
Mas Yudha tampak gelisah. Ia gelisah karena tak dapat lagi menekanku untuk tidak pergi dari rumah ini. Tentu saja ia mati-matian menghalangiku. Jika aku pergi maka siapa yang akan ia jadikan sapi perah untuk mengisi lambungnya.
Siapa yang akan membayar kontrakan ini?
"Ingat, Zalia! Jika kamu pergi dari rumah ini maka kamu tak akan bisa kembali! Aku akan menceraikanmu!" ancamnya lagi yang membuatku muak. Aku menatap wajah suamiku yang tampak murka, tapi kemudian berganti dengan gurat kebingungan.
Kupasang senyum termanis yang kumiliki. "Dengan senang hati aku menerima, Mas. Aku tunggu surat ceraimu dengan tangan terbuka," jawabku setenang mungkin.
Dulu aku pikir akan menikah sekali seumur hidup. Membangun keluarga kecil yang bahagia walau hidup sederhana. Namun nyatanya, itu hanya mimpi. Hanya aku yang berjuang sendiri dalam rumah tangga ini.
Dengan menggendong Alia yang sudah berhenti menangis, aku menyeret koperku, pergi! Tak kupedulikan tatapan tak suka Mas Yudha. Baru sampai gerbang aku melihat beberapa pasang mata yang mengintip pertengkaran kami dari balik jendela.
Begitu lah hidup di komplek. Jika ada tetangga yang terkena masalah, tetangga yang lain justru berbondong-bondong mengintip untuk di jadikan bahan ghibah.
???
Rintik hujan mewakili rasa sedih hatiku. Suasana halte yang sunyi membuat rasa hidup ini terasa miris. Ingin menangis tapi air mata ini seakan sudah kering tak bersisa.
Sudah hampir setengah jam aku duduk sambil menunggu angkutan umum yang akan mengantarku ke terminal.
Kupandangi wajah Alia yang sedang tidur di dalam gendongan kain jarik yang melingkar di punggungku. Wajah cantik putriku ini sangat mirip dengan Mas Yudha. Hanya bibir dan senyumnya saja yang kebagian milikku. Mungkin karena dulu aku begitu mencintai Mas Yudha, sehingga wajah anakku seperti foto copyannya dalam versi wanita.
Tin! Tin! Tin!
Bunyi klakson mobil mengejutkanku. Aku mengalihkan pandanganku dari Alia ke arah orang yang membunyikan klakson itu. Aku melihat Mbak Intan yang berada di dalam mobil berwarna merah.
Sepertinya itu mobil baru, sebuah mobil T*yota Ag*a yang masih bersarung plastik pada jok penumpang.
"Mau kemana kamu, Zalia?" tanya Mbak Intan dari dalam mobilnya. Mbak Intan memang bisa menyetir. Karena sering berteman dengan anak-anak orang kaya semasa lajangnya, membuat gaya hidup dan stylenya tinggi. Itu sebabnya dari zaman kuliah ia bisa menyetir mobil, walaupun orang tuanya tak memiliki mobil.
"Mbak Intan mau ke mana, Mbak?" tanyaku balik, mengalihkan pertanyaannya. Bisa dibilang sekedar basa-basi. Aku bingung harus mengatakan apa. Gak mungkinkan jika aku bilang mau pulang ke rumah orang tuaku. Secara Mbak Intan adalah kakaknya Mas Yudha beda ibu.
Ibunya Mbak Intan meninggal saat ia berumur empat tahun. Lalu bapaknya menikah lagi dengan Ibunya Mas Yudha. Hingga hadirlah Mas Yudha dan Rika.
"Jalan-jalan lah, memangnya kamu. Untuk makan aja susah! ha ... ha ... ha," gelak tawa Mbak Intan pecah, menghinaku.
"Astagfirullah al'azim," gumamku sambil mengelus dada. Punya kakak ipar, kok, gini-gini amad, ya, nasibku.
"Ah ... udah dulu lah, Zal. Aku mau nyobain mobil baru, hadiah Mas Norman. Emangnya kamu, punya suami pemalas!" Lagi-lagi Mbak Intan mengejekku. Aku memilih diam malas menanggapi, karena kenyataannya memang begitu adanya.
Mas Yudha pemalas, tidak seperti Mas Norman yang gesit cari uang. Tapi yang aku tidak habis pikir adalah, Mas Yudha itukan adiknya. Walau adik beda ibu, tapi Mbak Intan suka sekali menghina dan mengolok-olok adiknya sendiri.
Masih dengan senyum kesombongannya, Mbak Intan mengemudikan mobilnya pergi. Mungkin ke mall atau ke pusat kuliner. Tak lupa anak semata wayangnya ia bawa.
Jika sudah seperti ini, aku jadi teringat Ibu dan almarhum bapakku. Sejak kecil hingga dewasa aku tak pernah kekurangan. Bahkan aku bisa di katakan anak orang berada dan terpandang. Walaupun kedua orang tuaku tidak memanjakan anak mereka dengan gelimang harta.
Namun kebutuhan kami terpenuhi, bahkan lebih dari cukup. Bahkan bisa di bilang lebih, untuk standar anak yang biasa-biasa saja.
Pulang pergi sekolah aku diantar jemput oleh mobil. Jangankan kelaparan, bahkan terik matahari jarang menyentuh kulitku. Itu sebabnya dulu, kulitku putih bersih. Tidak seperti sekarang yang kuning kusam.
Saat gadis dulu, tanganku begitu mulus bak sutra. Saking tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah walau sekedar mencuci piring bekas makanku saja. Tapi kini, tanganku begitu kasar dengan kapal di mana-mana.
Jika dulu aku memakai baju setiap hari berganti, dan berwarna-warni dengan berbagai motif dan model. Berbeda jauh dengan sekarang, yang setahun sekali saja belum tentu membeli pakaian baru.
???
Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya aku sampai di rumah ibu. Hanya buah jeruk satu kilo yang kubeli di halte bis tadi, kubawa sebagai buah tangan. Agar jangan kosong-kosong sekali, saat aku pulang.
Ibu terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba.
"Loh ... kok pulang gak ngabar-ngarin, Zal. Yudha mana? Kalian pulang cuma berdua?" tanya Ibu. Matanya awas meneliti keberadaan Mas Yudha di belakangku. Dahi keriputnya semakin berkerut, saat mendapati yang di cari tak ada.
"Masuk, Nduk! Kalian pasti lapar. Ibu tadi masak semur jengkol sama goreng ikan asin, pasti kamu suka," ajak Ibuku. Baru mendengarnya namanya saja, cacing di perutku langsung bergoyang. Semur jengkol buatan ibu begitu nikmat. Kuah yang kental perpaduan antara rasa pedas dan manis membuat air liurku terasa ingin keluar.
Aku masuk kerumah dan langsung menuju meja makan, Alia di sambut ibu dan duduk di pangkuannya.
Aku mengambil nasi dan membuka tudung saji. Tempe goreng, ikan asin goreng, lalap timun dan pucuk ubi, serta semur jengkol yang menjadi maskot utama tersusun rapi di meja. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan aneka menu lengkap seperti ini. Biasanya, ah ... sudahlah. Nyesek jika di ingat!
Aku makan dengan lahapnya, perut yang lapar menjadi pemicu utama aku makan selahap ini.
"Pelan-pelan, Zal. Tidak ada yang akan merebutnya darimu," ujar Ibu. Aku terkekeh malu.
Ibu yang sedang menyuapi Alia menatapku dengan heran. Mungkin ia heran melihat anaknya seperti orang satu minggu tidak makan. Bahkan karena saking nikmatnya aku sampai nambah nasi lagi.
Ntah karena lapar atau kerasukan setan. Entahlah!
???
Setelah makan, kami berbincang santai di ruang keluarga. Ibu bermain dengan Alia. Gurat kebahagian tergambar jelas di wajahnya. Wajar saja, sepeninggal Bapak, Ibu tinggal sendiri di rumah sebesar ini. Mbak Zahra telah berkeluarga, ia tinggal dengan anak dan suaminya. Mereka membeli rumah tidak jauh dari toko Ibu. Suami Mbak Zahra, tidak bekerja karena Mbak Zahra yang tidak mengizinkan. Tetapi suaminya giat dan rajin membantu Mbak Zahra mengelola toko itu.
"Sebenarnya ada apa, Zalia? Ibu perhatikan kamu dari tadi hanya melamun, Nduk. Apa hidupmu tak bahagia di sana? Tubuhmu tampak semakin kurus," tanya Ibu. Rupanya sejak tadi Ibu memperhatikan diriku. Ia memperhatikan aku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Aku menggigit bibir bawahku, lidahku terasa kelu, ingin kuutarakan isi hati ini tapi aku takut menjadi beban untuk wanita yang telah melahirkan ku ini.
"Katakan lah, Nduk. Jika itu sudah terasa berat untukmu. Ibu siap mendengarkan keluh-kesahku. Itu lah gunanya kenapa Tuhan masih mengizinkan Ibu hidup sampai kini. Jangan khawatir, Nak. Bahu ini masih kuat untuk tempat bersandar kamu dan Zahra!" Kata-kata Ibu sukses membuat air mataku yang menggenang menjadi jatuh berderai.
Tiada cinta yang lebih sempurna selain cinta seorang Ibu untuk anaknya. Aku menangis sesenggukan di hadapan Ibu. Aku ceritakan semuanya tanpa ada satupun yang terlewatkan.
Mata Ibu terbelalak, gurat amarah tampak jelas di wajahnya.
"Ya Allah ... Zalia. Kenapa kamu tidak pernah cerita pada Ibu, Nduk. Lihat dirimu sekarang, tampak begitu kurus dan tak terawat. Ternyata kamu menderita batin di sana," ujar Ibu. Mata keriput itu ikut menggenang air mata. Hati Ibu yang mana yang tak ikut sakit mendengar penderitaan anaknya. Anak yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang.
Ia besarkan dengan penuh pengorbanan, tak ia biarkan sedikitpun anaknya merasakan lapar dan dahaga ataupun kekurangan saat bersamanya. Namun saat menikah, putrinya justru di sia-siakan oleh orang lain.
"Maafkan Zalia, Bu. Maaf karena selama ini, Zalia tidak mendengarkan nasehat Ibu dan Bapak. Kalian benar, menikah muda itu belum tentu membawa kebahagian. Kalian benar ... Maafkan Zalia!" Aku kembali menangis dan bersujud dia atas pangkuan ibu. Menangisi segala kesalahanku pada orang tuaku ini.
"Sudah lah, Nak. Semua sudah terjadi, sekarang kamu harus kuat. Pandang masa depan, masih ada Alia bersamamu. Sekarang kamu tinggal bersama Ibu saja, ruang ini selalu terbuka lebar untuk anak-anak Ibu," ujar Ibu lembut. Ibu mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
"Sekarang apa keputusanmu terhadap Yudha?" tanya Ibu padaku.
"Sudah ... kamu pisah saja darinya! Ibu tak terima putri Ibu dibuat seperti ini! Ibu akan pinta pamanmu untuk membuat perhitungan pada keluarga Yudha. Biar mereka merasakan apa yang putriku rasakan!" ujar Ibu lagi dengan penuh emosi.
Aku menelan ludah mendengar ucapannya. Paman yang Ibu Maksud adalah paman Ja'far adik kandung Ibu paling bungsu. Jika Paman Ja'far sudah ikut campur. Aku takut ... aku takut. Apakah besok Mas Yudha masih bisa berdiri tegap atau tidak?
