Bab 5. Mas Norma.
Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi.
"Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku.
"Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air.
"Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.
Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung.
"Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku.
"Duduk dulu, Buk! Nanti asam urat ngomel sambil berdiri," ujarku santai. Aku kembali menyuapi Alia, dua potong lontong terakhir dan setengah potong telor.
Ibu duduk di samping Alia sambil cemberut. "Mana lontongnya lagi, ibu minta! Perut ibu lapar, dari tadi ngurusin suami kamu yang mabuk, mana dari tadi ... eh!" ucapan ibu terjeda dengan expresi jijik. Tanpa ia jelaskan pun aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku hanya bisa tertawa jahat di dalam hati. Kalau tertawa terang-terangan aku mana berani.
"Gak ada lagi, Buk. Aku cuma beli satu bungkus, itu pun sudah di habiskan Alia," jawabku. Memang itu keadaanya.
Ibu mencebikkan bibirnya sambil menatapku tak suka. "Ya kamu beli lagi lah! Warung Bik Siti kan masih buka, orang ini masih pagi. Sekalian kamu belikan untuk Yudha juga, dia pasti lapar! Ibu gak masak, capek!" perintahnya serasa seperti nyonya besar.
Aku mengadakan tanganku pada ibu. Mata ibu mendelik menatapku. "Apa maksudnya ini, Zalia!" Bukannya memberi apa yang aku minta, ibu justru menepis tanganku kasar. Pedih sekali rasanya, dasar mertua sedekut. Selain mulutnya yang pedih, ternyata pukulan tangannya tak jauh lebih pedih.
"Uang lah, Buk. Memangnya beli sarapan tempat Bu Siti gak pakai uang apa?" jawabku.
"Pakai uang kamu lah, gitu aja pakai nanya. Jadi menantu jangan pelit sama mertua dan suami, nanti kualat kamu!" ujarnya tak tahu malu. Emosiku mulai terpancing. Ingin rasanya kumutilasi tubuh mertuaku ini. Anak dan Ibu sama saja. Sama-sama nyusahin.
Aku menghela napas lelah, lelah beradu argumen dengannya di pagi hari ini. Kedatangan Ibu pagi ini membuat udara pagi yang segar terasa tercemar polusi yang membuat dada sesak.
"Zalia gak ada uang, Buk,"
"Jangan bohong kamu, jangan pelit-pelit itu tak bagus!"
"Memang Zalia gak ada duit, kok. Lihat tu, pakaian laundry belum aku antar. Itu artinya aku belum dapat duit!" Aku menunjuk tumpukan plastik yang berisi pakaian bersih yang sudah di setrika, pada ibu dengan daguku.
"Uang transferan ibumu kan udah masuk, ya kamu beli lah pakai uang itu, dulu! Dasar menantu pelit, apa sih yang sudah kamu berikan pada keluarga ini. Cuma minta di belikan lontong saja gak dikasih, dasar!" sungut Ibu. Hatiku kembali terasa perih, apa ia tak punya mata untuk melihat apa yang telah aku lakukan untuk keluarga ini.
Siang malam aku membanting tulang mencari nafkah yang seharusnya menjadi tugas putranya itu. Kutekan dada ini yang terasa semakin sesak. Air mata tak dapat lagi kutahan.
"Di suruh beli lontong malah, mewek! Cepat beli Zalia! Ibu sudah lapar ini, suamimu pun juga sudah lapar!"
Aku menghapus air mataku yang telah jatuh dengan telapak tanganku. Kutarik napas ini dan aku keluarkan dengan perlahan. Ingin sekali aku berteriak dan memberontak. Tapi kuurungkan semua itu.
Kugendong Alia dan kuajak ia ke warung Bu Siti, membelikan apa yang Ibu pinta. Biarlah kali ini aku mengalah, tak enak rasanya di dengar tetangga. Pagi-pagi sudah ribut masalah makanan.
"Eh ... Neng Zalia, kembali lagi. Ada yang ketinggalan Neng?" tanya Bu Siti. Tak biasanya aku datang ke warungnya hingga dua kali dalam hari yang sama.
"Iya, Bu Siti. Lontongnya masih ada? Kalau masih tolong bungkuskan dua, ya! Tak usah pakai telor, ya!" pintaku. Bu Siti mengangguk.
"Tunggu ya, Neng!" ujarnya.
Aku memilih duduk di bangku panjang dan meletakkan Alia di sebelahku. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Itu sebabnya warung Bu Siti sudah tampak sepi. Hanya ada aku dan Alia yang sedang duduk menanti pesanan kami.
Aku mengambil plastik berisi lontong dari tangan Bu Siti. Kuulur uang sebesar sepuluh ribu padanya. Sebungkus lontong tanpa telor seharga lima ribu sebanyak dua bungkus, aku bawa pulang dan kuserahkan pada ibu mertuaku yang sudah menunggu di depan pintu. Sudah seperti penagih hutang saja gayanya.
"Gorengannya mana, Zalia? Kok gak beli sekalian?" Protesnya melihat plastik yang kubawa. Kalau gak mikir mertua sudah kulempar tubuh gempalnya ke jalanan. Di kasih hati minta ginjal ini namanya! Huh!
"Gorengannya habis, Bu," jawabku bohong.
"Alasan kamu!" ujarnya. matanya mendelik tak percaya.
"Kalau Ibu tak percaya, tinggal lihat sendiri saja di tempat Bu Siti. Masih ada atau tidak?" tandasku. Ibu mendengus, ia merampas bungkusan di tanganku sambil berlalu pergi. Tanpa pamit apalagi terima kasih.
Ya Tuhan ... gini amad nasibku punya mertua!
???
"Zalia, ini upah cucian kamu, ya, dan ini untuk jajan Alia," Bu Endang menyerahkan dua lembar uang berwarna merah padaku dan selembar warna biru untuk Alia. Saat aku mengantarkan pakaiannya yang sudah di cuci bersih.
"Alhamdulillah ... terima kasih banyak Bu Endang, semoga rezekinya makin lancar ya, Bu," ujarku dengan senyum merekah. Bu Endang merupakan toke ayam potong di kampung ini. Selain baik orangnya juga gak pelit. Ia memberiku upah setiap dua Minggu sekali, tak jarang ia memberikanku bonus berupa ayam potong atau uang jajan untuk Alia.
"Amin ... Ibu juga terima kasih, sudah di ringankan kerjaan oleh kamu. Cucian kamu bersih, wangi dan rapi. Ibu suka," jelasnya.
Aku lagi-lagi mengucapkan terima kasih. Tidak semua pelangganku sebaik Bu Endang. Aku pamit pergi pada Bu Endang. Masih ada satu orang lagi yang cuciannya harus aku antarkan.
Aku dan Alia berjalan hingga komplek sebelah untuk mengantarkan pakaian pada pelanggan terakhir. Cuaca yang terik membuatku dan Alia kehausan. Kami membeli sebotol air dingin pada sebuah warung dan duduk di terasnya untuk minum dan melepas lelah.
Aku menyipitkan mata, menajamkan penglihatanku. Bangku panjang di depan warung yang aku duduki ini, menghadap langsung ke arah sebuah rumah berdesain minimalis. Rumah seorang janda yang Mbak Ika sebut tempo hari.
Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas.
Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.
Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk.
"Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.
Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?
Kok aku seraya tak percaya, ya.
Mas Norman yang terkenal bucin pada istrinya, justru main janda?
Mas Norman tinggal di rumah Ibu mertuaku bersama istrinya. Letak rumah ibu mertua sekitar lima menit dari rumahku yang masih berada dalam satu komplek 'komplek perumahan lama' namanya.
Sedangkan rumah janda ini jaraknya lima menit dari rumahku yang sudah beda komplek dan beda RT. Secara garis besar, rumahku berada di tengah-tengah antara rumah ibu dan rumah janda ini.
Aku berdecak kagum, rumah janda ini sudah termasuk komplek perumahan elit. Dengan uang muka dan angsuran cukup tinggi. 'Perum Asri' namanya, tapi warga komplek kami bilang perumah orang kaya. Selain ukuran tanahnya yang cukup luas untuk setiap kapling dan tipe rumah juga cukup besar dari perumahan yang lain, yaitu tipe 84
Sedangkan aku, ah ... boro-boro mau ngambil ansuran perumahan, bayar kontrakan 300ribu sebulan aja rasa megap-megap.
Rumah yang aku kontrak memang merupakan perumahan yang tidak di huni oleh pemiliknya. Katanya sih untuk anaknya yang sudah menikah, karena anaknya pindah keluar kota, sehingga rumah itu tidak jadi di tempati. Makanya kami dapat mengontrak rumah beserta isinya itu.
Aku jadi penasaran bagaimana jika Mbak Intan tahu, kalau suaminya main serong dengan janda? Ah ... biarlah, bukan urusanku ini. Lagi pula Mbak Intan juga selalu ketus padaku. Sesama perempuan bukannya saling dukung, eh dia justru selalu menjatuhkanku.
Namun, bagaimana dengan Mas Yudha?
Apa dia juga main serong dengan janda itu juga?
Jika ia, berarti Mas Yudha dan Mas Norman?
Ya Allah ... kepalaku rasanya mau pecah di buatnya. Napasku terasa sesak, Astagfirullah al'azim, semoga saja itu tidak benar ya Allah.
