Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Adam

Bab 9 Adam

“Kebetulan, saya ini seorang terapis kesehatan,” jelas Adam untuk menjawab rasa penasaran Geraldine. Kini keduanya sedang berjalan beriringan menuju jalan besar. Rencananya Geraldine akan ke rumah Tatiana untuk mengambil barang-barangnya. Mungkin dia bisa mencari penginapan atau entahlah, ia akan pikirkan nanti. Karena menginap di rumah Tatiana lagi rasanya tidak mungkin, karena sahabatnya itu pasti sedang sangat repot. Bahkan mungkin Tatiana tidak akan tidur di rumah malam ini. Jadi, kali ini dia harus memikirkan masalah hidupnya seorang diri dulu. Tanpa merepotkan orang lain.

“Oh, pantas tadi seperti mengerti tentang kaki yang terkilir,” ujar gadis itu sembari menoleh, di mana Adam juga tengah menoleh ke arahnya dengan lesung pipi yang tercetak jelas. Geraldine yang kembali salah tingkah, berpura-pura melempar pandang ke arah lain sembari menyelipkan rambut sebahunya ke belakang telinga.

“Omong-omong, saya sering memerhatikan kamu dan teman kamu itu.” Tapi kalimat yang Adam luncurkan mau tidak mau membuat kepala gadis itu kembali bergerak ke arah samping dengan alis terangkat.

“Saya sering lewat daerah sini. Kebetulan, saya buka kedai es krim tidak jauh dari toko bunga kamu.” Adam kembali menunjukkan senyumnya. Sepertinya kadar senyum yang dimiliki laki-laki ini tidak pernah habis. Dan anehnya, senyum itu tidak terlihat membosankan. Malah seperti candu yang membuat Geraldine mati-matian menahan diri agar tidak terlihat konyol dengan memperhatikan wajah Adam terlalu lama.

“Wah, kebetulan saya penikmat es krim,” ujar Geraldine dengan senyuman tipis.

“Kalau begitu kapan-kapan kamu harus mampir ke kedai es krim saya.”

Geraldine terkekeh kecil, “Pasti. Tapi, kalau memang lokasinya di dekat sini, bisa jadi tempat itu sudah pernah saya kunjungi.”

Adam tampak mengangguk setuju, “tempatnya yang di ujung jalan itu, dekat dengan latte coffe.”

“Ah iya! Saya sering ke sana!” kekeh Geraldine, ada rasa nyaman yang mulai menyusup dan mengurangi kegugupan yang sejak tadi menguasainya.

“Oh ya?”

Geraldine mengangguk, “tapi, tidak pernah melihat kamu.”

“Saya memang jarang di tempat, tapi saya sering melihat kamu.”

Geraldine mengangkat alis sebagai isyarat tanya. Tidak mengerti dengan maksud dari kalimat yang Adam ucapkan.

“Saya tadi bilang kan, kalau saya sering memerhatikan kamu dengan teman kamu kalau saya melintas di depan toko bunga?”

Geraldine mengangguk, namun jawaban Adam masih terasa samar dan belum Geraldine mengerti apa maksudnya.

“Kalian kelihatan ulet,” lanjut Adam, dan respon Geraldine hanya diam karena merasa Adam belum selesai berbicara.

“Saya senang setiap kali melihat kalian mengobrol santai dan tertawa bersama. Seperti ada aura bahagia yang kalian tebar ke sekitar. Saya yakin bukan hanya saya yang merasakan energi positif yang kalian bawa di toko Bunga itu.”

Geraldine hanya memberikan senyuman tipis. Karena jujur ia belum mengerti apa tujuan Adam dengan mengatakan semua itu. Ada sedikit rasa tersanjung, tapi ada juga rasa waswas saat merasa kalimat Adam ini semacam rayuan. Tapi, Geraldine segera menggeleng. Semenarik apa dirinya sampai harus ada laki-laki yang tertarik untuk merayunya?

“Maaf Andin, saya hanya bisa antar kamu sampai sini.”

Geraldine ikut berhenti, “Oh tidak masalah. Saya yang terima kasih karena sudah ditolong tadi.”

Adam berdecak, namun ada tawa lirih yang keluar dari bibir laki-laki itu. “Saya tinggal di situ!”

Geraldine menoleh ke arah sebuah ruko yang ada di seberang jalan, lalu menoleh ke arah Adam dengan alis terangkat. Bukan bermaksud apa, tapi, ini Adam tinggal di ruko?

“Saya beli beberapa bulan yang lalu. Lantai atas saya pakai untuk tempat tinggal, dan yang bawah, rencananya ingin saya pakai untuk usaha,’ jelas Adam yang hanya ditanggapi anggukan oleh Geraldine. Ternyata Adam laki-laki yang ulet. Tidak cepat merasa puas dengan satu pekerjaan. Laki-laki idaman, bisik Geraldine tanpa benar-benar ia sadari.

“Oke, Andin, kamu ….” Kalimat Adam tidak pernah selesai karena sebuah mobil tiba-tiba saja berhenti di depan mereka.

Geraldine yang sempat mengerutkan kening bingung langsung berdecak malas saat sadar siapa orang yang kini berada di balik kemudi.

“Andin! Masuk!” ujar Amran penuh dengan peringatan.

Rasanya percuma saja Geraldine berusaha kabur hingga kakinya terkilir. Jika pada akhirnya Amran tetap saja berhasil menemukannya. Kalau saja kondisinya tidak sedang ada Adam di sini, tentu saja gadis itu akan memilih kabur.

“Adam, saya duluan,” kata Gadis itu dengan senyum tipis, lalu dengan perasaan kesal ia memilih masuk ke dalam mobil setelah Adam menganggukkan kepalanya. Geraldine tidak akan mungkin menunjukkan ketidakharmonisan dalam keluarganya pada orang yang baru saja ia kenal.

Sial! Hari ini benar-benar hari penuh kesialan untuknya. Penyebabnya hanya satu. Orang yang bahkan kini enggan Geraldine lihat meski mereka duduk di mobil yang sama.

Dan tanpa Geraldine sadari, dari balik kemudi, ada seringai penuh ancaman yang Amran lesatkan pada sosok Adam. Seolah sedang memberi ultimatum pada laki-laki itu, agar tidak lagi berusaha mendekati putrinya.

*

Sepanjang perjalanan Geraldine memilih diam. Rasanya lelah untuk sekedar mendebat keberadaan Amran di sekitarnya. Ia memilih melempar pandang ke luar jendela mobil. Melihat jajaran penjual dan juga kendaraan yang seperti saling berlarian, rasanya lebih menarik daripada memperhatikan wajah Amran.

“Ayah khawatir sama kamu, Andin,” ujar Amran mencoba memecah keheningan. Ia tahu, Geraldine sedang dalam kondisi kesal saat ini. Dan tugasnya adalah membuat gadis itu luluh. Walaupun ada rasa kesal mengingat gadis ini sudah mempermaikannya tadi.

Amran merasa konyol karena kembali kecolongan. Saat ia selesai menelpon Nikita, istri sekaligus ibu Geraldine, Amran baru menyadari jika papan open di pintu sudah dibalik tmenjadi close tanpa sepengetahuannya. Dan saat laki-laki itu melongok ke dalam toko, gadis itu sudah pergi entah sejak berapa lama.

Dengan pikiran kesal Amran langsung mengambil mobil dan mencari keberadaan gadis itu. Kekesalannya semakin memuncak saat melihat Geraldine tengah mengobrol santai dengan laki-laki di pinggir jalan. Walaupun belum mengenal laki-laki itu, entah mengapa Amran kurang menyukai cara laki-laki itu melempar senyum ke arah Geraldine. Namun untuk saat ini, ia harus mengesampingkan semua rasa kesal. Ia butuh untuk meluluhkan hati gadis yang kini masih setia menatap keluar jendela mobil itu.

Geraldine sendiri sengaja memilih bungkam, karena pernyataan itu memang sama sekali tidak menyentuh hatinya.

“Dunia luar itu kejam, Andin. Kamu harus berhati-hati dengan orang asing.” Gadis itu masih memilih diam, membiarkan Amran berbicara sendiri semaunya. Dia tahu laki-laki ini hanya sedang berbasa-basi, sok peduli. Geraldine yakin, Amran melakukan semua ini hanya demi mamanya.

“Laki-laki tadi. Kamu baru mengenalnya, kan?” Amran bisa menebak itu dari gesture yang keduanya tadi tunjukkan. Masih terlihat kaku untuk ukuran orang yang sudah lama kenal. Diamnya Geraldine Amran artikan iya.

“Jangan mudah percaya dengan orang baru. Apalagi laki-laki.”

Geraldine berdecak, mulai jengah dengan segala ocehan yang menurutnya tidak bermanfaat itu. Kalau tidak takut mati, Geraldine sudah berniat melompat dari mobil. Untung saja ia masih memiliki kewarasan pada titik aman.

“Bagaimanapun, kamu itu anak Ayah. Suka tidak suka, Ayah akan tetap berusaha menjaga kamu.”

Kali ini Geraldine melirik Amran melalui ekor matanya, namun kembali melempar pandang saat laki-laki itu juga tengah melirik ke arahnya. Kenapa perjalanan ke rumahnya terasa sangat jauh? Telinga Geraldine benar-benar mulai panas.

“Jangan kabur lagi, ya?” Masih tidak ada jawaban, dan kali ini Geraldine memilih untuk memejamkan mata. Satu pertanda jika dia tidak mau mendengar apapun lagi. Amran yang melihat itu hanya bisa menghela napas dengan senyum samar. Setidaknya, dia sudah berhasil menemukan Geraldine dalam kondisi baik.

Geraldine mengembus napas lega saat akhirnya mobil yang ia tumpangi berbelok ke dalam halaman rumah eyang. Tanpa mengatakan apa pun, gadis itu bergegas turun. Namun ia sempat menghentikan langkah, lalu menoleh saat terdengar seruan seorang laki-laki di belakangnya. Bukan memanggil namanya, tapi Amranlah yang orang itu panggil.

Geraldine mengerjab, lalu memilih melanjutkan langkah tanpa membalas anggukan sopan laki-laki berkaca mata yang kini tengah mengobrol bersama Amran. Tetangga sebelah yang akhirnya ia lihat wujud aslinya.

Omong-omong, ini kedua kalinya ia bersikap tidak sopan pada laki-laki itu. Tapi, ya sudahlah, salahkan Amran yang selalu berhasil merusak moodnya. Hidupnya benar-benar kacau karena laki-laki itu!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel