Bab 10 Geraldine Sakit
Bab 10 Geraldine Sakit
Geraldine langsung memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, sebelum Amran selesai dengan obrolannya dengan tetangganya itu. Ia takut Amran akan memperpanjang obrolan mereka di mobil tadi. Geraldine sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak luluh pada suami mamanya itu. Dia tidak mau memberi kesempatan laki-laki itu untuk masuk ke dalam hatinya, dan pada akhirnya Geraldine yakin, hal itu akan melukai perasaan ayahnya. Geraldine tidak siap dihantui oleh rasa bersalah.
Dengan segala kepenatan yang ada, gadis itu memutuskan untuk mandi dan sepertinya ia harus segera merebahkan diri di kasur. Entah mengapa rasanya hari ini sangat melelahkan, dan juga menjengkelkan. Semuanya sungguh terasa menguras seluruh energi yang ia punya.
“Andin.” Geraldine merasa baru saja memejamkan mata saat suara itu terdengar begitu jelas di telinganya. Sebuah suara yang sangat ia rindukan untuk hadir menemani hari-harinya. Sebuah suara yang tidak pernah lagi ia dengar setelah sosoknya menghilang tanpa kejelasan beberapa tahun yang lalu.
“Sayang.” Gadis itu mencoba membuka mata, lalu mengerjab perlahan. Dengan degup jantung yang tidak menentu, ia menoleh ke arah samping. Mata itu kembali mengerjab saat sosok itu berada di sana. Duduk dengan senyum hangat seperti dulu, dan merentangkan kedua tangan, memberinya isyarat untuk mendekat. Sekali lagi mata lentik itu mengerjab, seolah ingin memastikan jika yang berada di depannya itu adalah benar ayahnya.
“Ayah,” bisik Geraldine untuk memastikan jika semua ini adalah kenyataan. Namun saat anggukan itu terlihat, gadis itu segera bangun dan menghambur ke pelukan ayahnya. Ia tidak lagi peduli apakah ini hanya mimpi atau memang kenyataan. Dan jika memang ini adalah sebuah mimpi, ia malah berharap tidak akan pernah bangun.
“Ayah,” bisik gadis itu sembari mempererat pelukan, seolah takut sosok ayahnya akan menghilang. Rindu yang selama ini merongrong di dalam hatinya seolah terlepas begitu saja. “Aku kangen,” bisiknya lagi dengan air mata yang mulai berjatuhan.
“Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Yah.” Isakan itu makin terdengar jelas. Meski tidak ada jawaban, namun Geraldine merasakan tangan ayahnya yang terus mengusap lembut punggungnya.
“Andin sayang Ayah,” rancau gadis itu terus menerus, bersamaan air matanya yang seperti enggan berhenti mengalir. Hingga waktu seolah berlalu begitu saja, dan memunculkan fakta, jika semua yang terjadi memanglah bukanlah kenyataan.
Geraldine yang akhirnya membuka mata, kembali menangis saat sadar jika kehadiran ayahnya hanyalah sebuah mimpi. Kenapa ia harus bangun? Kenapa ia tidak terus tertidur, agar bayangan ayah yang sedang memeluknya tidak memudar, dan pada akhirnya menghilang. Menyisakan kerinduan yang makin menyesakkan dadanya.
*
Amran baru saja keluar dari kamar saat isakan itu terdengar. Ia mencoba menajamkan pendengarannya, dan ternyata suara itu berasal dari kamar Geraldine.
“Andin!” Ia mencoba mengetuk dan membuka pintu, tapi tidak berhasil.
“Andin, kamu kenapa, Sayang?” Ada rasa cemas yang menggelayuti karena tangisan Geraldine semakin terdengar. Amran segera mencari keberadaan Mbok Yem yang sedang berada di belakang rumah.
“Mbok! Punya kunci cadangan kamar Andin?” Amran merasa lega saat wanita itu membalas dengan anggukan, karena kalau tidak ada, Amran terpaksa akan mendobrak kamar Geraldine.
“Ini, Pak! Kenapa tho?” Amran tidak menjawab pertanyaan Mbok Yem karena beribu kecemasan kini hinggap di kepalanya.
Geraldine terlihat sedang meringkuk di tempat tidur saat Amran masuk. Suara isak tangis itu makin terdengar jelas, membuat kaki Amran terus melangkah untuk mendekat.
“Andin,” ujar laki-laki itu penuh kelembutan. Masih tidak ada jawaban, sepertinya gadis itu pun tidak menyadari kehadirannya. Amran memutuskan untuk duduk di tepi ranjang, mencoba mengusap kepala Geraldine. Awalnya hanya ingin menenangkan Geraldine yang masih saja menangis entah karena apa. Namun ternyata ia menemukan badan Geraldine yang terasa panas.
“Mbok punya obat panas?”
Mbok Yem yang kebetulan masih berdiri di pintu pun langsung mengangguk dan bergegas mengambil obat penurun panas, saat mengerti apa yang sedang terjadi pada Geraldine.
“Ini, Pak!” ujar wanita itu sembari memberikan parasetamol yang baru saja ia ambil dari kotak obat kepada Amran.
“Andin, minum ini dulu. Badan kamu panas sekali,” ujar Amran setelah mengambil alih obat di tangan Mbok Yem dan tidak lupa mengucapkan terima kasih
Gadis itu bangun dan tidak menolak bantuan Amran. Bahkan saat ayah sambungnya itu menyuruhnya meminum obat, menyorongkan segelas air bening, Geraldine seperti robot yang terus mengikuti interuksi laki-laki itu. Tidak ada keinginan untuk mendebat, karena kondisi badannya memang sedang tidak mendukung.
“Sekarang lebih baik kamu tidur,” kata Amran lagi. Meski tidak mendapat jawaban apapun, laki-laki itu senang karena Geraldine menjadi anak manis untuk sesaat.
Geraldine kembali merebahkan tubuhnya. Membiarkan Amran yang tetap duduk di tepi ranjang sembari mengelus kepalanya. Ada perasaan hangat yang Geraldine rasakan. Untuk sejenak saja, ia tidak ingin memikirkan apapun dan menerima perlakuan hangat ini. Hingga akhirnya ia benar-benar kembali tidur. Entah karena efek obat, atau karena perlakuan hangat yang Amran berikan membuat Geraldine merasa nyaman.
Amran kembali tersenyum saat mendapati Geraldine sudah masuk ke alam mimpi. Fokusnya sempat terpecah saat ponsel gadis itu berbunyi, menunjukkan nama Tatiana di sana. Laki-laki itu menoleh ke arah Geraldine yang sudah sepernuhnya terlelap sebelum memutuskan untuk mematikan ponsel milik gadis itu. Dia tidak ingin ada yang menganggu ketenangan Geraldine, karena gadis itu memang sedang membutuhkan istirahat.
Setelah meletakkan kembali benda pipih itu di atas nakas, Amran melangkah keluar dan menuju dapur. Dia ingin membuatkan sup hangat untuk Geraldine. Anak gadis itu pasti lapar saat bangun nanti. Dan sepertinya, dia akan membatalkan semua rencananya untuk hari ini, karena tidak mungkin meninggalkan Geraldine dalam kondisi seperti ini sendirian.
*
Matahari sudah membumbung tinggi saat Geraldine bangun. Direnggangkannya tubuh yang terasa pegal di semua bagian. Mungkin ini efek dari jatuhnya kemarin, atau karena kelelahan menangis saat bermimpi bertemu ayah tadi, hingga membuat kondisi badannya drop. Entahlah, tapi mimpi tadi memang masih menyisakan sesak. Rasanya tadi itu seperti sebuah kenyataan. Bahkan ia masih bisa merasakan pelukan ayahnya. Dan dadanya kembali sesak saat menyadari jika yang terjadi bukanlah kenyataan. Rasa rindu yang sempat tertimbun seolah muncul lagi ke permukaan. Banyak kata andai yang tiba-tiba saja melintas. Geraldine nyaris kembali menangis namun urung. Ia menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan memunculkan sosok Amran dengan nampan di tangannya.
“Kamu sudah bangun?” tanya laki-laki itu dengan senyum mengembang. Namun Geraldine memilih tidak menjawab, dan hanya memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. Amran meletakkan nampan tadi ke atas nakas. Ada semangkuk sup yang masih mengepulkan asap dan segelas air bening di sana. Aroma sup yang terhidu oleh penciuman Geraldine, langsung membuat perutnya terasa keroncongan. Namun tentu saja Geraldine tidak menunjukkan reaksi yang berarti. Ia masih memasang wajah dingin seperti biasa.
“Ayah buatkan kamu sup hangat. Kamu makan, ya?”
Bukannya menjawab, Geraldine malah menatap Amran dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebenarnya ia sedang teringat perlakuan Amran tadi, saat mengetahui dirinya sakit. Laki-laki itu terlihat begitu telaten dan sigap menolongnya. Geraldine tidak mau Amran salah paham, sehingga menganggapnya sudah membuka hati. Tadi itu dia hanya merasa tidak berdaya untuk mendebat. Tapi kali ini ….
“Aku bisa makan sendiri,” ujarnya kembali menjadi Geraldine yang dingin saat Amran sudah duduk di tepi ranjang dan seperti ingin menyuapinya. Ada gurat kecewa yang sempat tertangkap matanya muncul di wajah laki-laki itu. Namun tidak lama, karena selanjutnya Amran menunjukkan senyuman lembut.
Laki-laki itu pun segera berdiri dan meletakkan sup tadi kembali ke atas nampan. “Ayah taruh di sini,” katanya seraya mengusap puncak kepala Geraldine, namun segera ditepis oleh gadis itu. Padahal niatnya hanya ingin mengecek kondisi gadis itu. Tapi sepertinya dia sudah baik-baik saja.
“Ayah tinggal dulu, jangan lupa makan supnya selagi masih hangat.” Geraldine tidak berniat menjawab, dan membiarkan Amran keluar dari kamarnya.
Ada rasa enggan untuk memakan makanan buatan Amran. Namun perut Geraldine tidak bisa diajak kompromi. Belum lagi aroma sup itu terasa menggelitik perutnya. Seolah memanggil-manggil untuk segera disantap. Geraldine pun mengesampingkan gengsinya, dan mulai melahap sup yang ternyata memang terasa lezat itu. Ia tidak menyangka ternyata suami mamanya itu bisa memasak, dan rasanya sangat cocok di lidahnya.
Entah karena lapar, atau memang karena sup itu rasanya enak, Geraldine menghabiskan semangkuk sup tanpa tersisa. Ia tidak peduli jika nantinya Amran akan merasa bangga karena telah berhasil menurunkan gengsi Geraldine hingga ketingkat ini. Yang terpenting perutnya sudah mendapat asupan gizi.
