Bab 8 Kesialan
Bab 8 Kesialan
Amran masuk dengan gesture santai seolah kehadirannya bukanlah masalah besar bagi gadis yang kini berdiri di depannya dengan tatapan kesal. Malah, laki-laki itu kini tengah mengedar pandang untuk menilai setiap desain interior yang tersaji di toko bunga ini. Profesinya yang seorang arsitek membuat Amran memang selalu secara spontan menilai desain tempat di sekelilingnya. Dan ia akui, toko bunga milik eyang Geraldine ini cukup unik karena berbeda dengan toko bunga lain. Ada desain kuno yang terukir di setiap sudutnya. Membuat setiap pengunjung langsung mendapat kesan berada di Jogja hanya dengan melihat interior ruangan yang didesain dengan cantik dan terampil ini.
Dehaman keras memaksa laki-laki itu untuk menyudahi kegiatannya. Dengan senyum tipis yang masih saja disalah artikan oleh Geraldine, laki-laki itu menggerakkan netra hitamnya ke depan.
“Ada apa, Om ke sini?”
Ada derai tawa geli yang yang Amran tunjukkan, membuat kekesalan Geraldine semakin menjadi. Meski tujuannya bukan mengejek, tapi di mata Geraldine citra dirinya ini sudah terlnjur jelek. Jadi apapun yang ia lakukan akan selau terlihat salah.
“Supaya kamu tidak kabur lagi,” jawabnya enteng dengan senyuman tulus.
Ada decakan lirih yang keluar dari bibir Geraldine. Untung saja pengunjung toko sedang tidak ada, jadi dia tidak perlu memasang senyuman di saat wajahnya masih sangat ingin ditekuk seperti sekarang. “Siapa yang kabur?”
Amran kembali tertawa kecil, kali ini dengan gelengan kepala. “Pulang, Ayah khawatir sama kamu.”
Geraldine hanya mendengus, tidak menjawab.
“Kita bisa bicarakan apa pun itu dengan baik-baik.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Mau aku hanya satu.”
Amran terlihat menarik napas, lalu tersenyum lembut. “Beri Ayah kesempatan.”
Geraldine menggeleng, merasa percuma dengan obrolan ini. “Lebih baik Om pergi. Seperti yang aku bilang tadi, tidak ada yang perlu kita bicarakan.”
“Ayah harap kamu mau pulang.”
Geraldine diam, enggan menjawab.
“Kamu tutup jam berapa?” Lagi, tidak ada jawaban.
“Oke! Ayah tunggu sampai kamu selesai.”
Geraldine sudah siap untuk melayangkan protes, tapi urung saat Amran sudah berjalan keluar sembari menempelkan ponsel ke telinga. Entah benar-benar sedang menerima telepon, atau hanya alasan agar tidak mendengar bantahan dari Geraldine.
Gadis itu hanya bisa menghentakkan kakinya kesal, karena semua yang sudah ia rencanakan selalu saja berjalan berantakan.
*
Geraldine sangat kesal karena Amran benar-benar menunggunya di depan toko bunga. Laki-laki itu duduk di kursi, yang memang Geraldine sediakan untuk para pelanggannya. Amran terlihat duduk santai dengan satu cup kopi dan juga tab di tangannya. Geraldine sangsi jika kedatangan Amran ke kota ini benar-benar untuk bekerja. Yah, walaupun pekerjaan sebagai arsitek mampu membawa laki-laki itu ke kota manapun sesuai proyek yang sedang dikerjakan, tapi tetap saja Amran terlihat terlalu santai saat ini.
Gadis itu terus memutar otak untuk bisa kabur dari tempat ini. Bagaimanapun caranya, ia tidak akan pulang dan membiarkan Amran membuat hari-harinya menjadi tidak nyaman.
Geraldine terus menggigiti jarinya untuk berpikir. Dan lampu di atas kepalanya seolah menyala, saat pintu belakang toko terlihat dari arah pandangnya. Seringai tipis muncul saat ide untuk melewati pintu yang memang jarang sekali dibuka itu terlintas. Yah, walaupun jalanan yang akan ia lalui sangat sempit karena jalan belakang toko hanya menyisakan satu gang sempit, itu tidak akan menjadi masalah. Yang terpenting saat ini adalah, ia berhasil kabur.
Tepat saat Amran menerima telepon, dan mengubah posisi duduknya menjadi ke arah jalan. Yang itu artinya laki-laki itu kini duduk membelakanginya, Geraldine langsung bergerak cepat. Mengunci pintu kaca dengan sangat perlahan, memutar papan open menjadi close, dan dengan gerak cepat yang ia bisa, gadis itu segera meraih tas dan berlari ke pintu belakang.
Bau saluran air yang tentu saja tidak ramah menyapa hidungnya. Namun gadis itu tetap nekad meneruskan langkah. Dalam hati terus mengumpat kesal karena Amran memang selalu sukses membuat hidupnya tidak baik-baik saja seperti saat ini. Perhitungan apa yang harus ia buat agar laki-laki itu kapok untuk mendekatinya. Andai saja dia anak kecil, mungkin banyak hal konyol yang bisa ia lakukan agar Amran tidak betah berada di sekelilingnya. Tapi sayang, usianya yang sudah menginjak seperempat abad, memintanya untuk bertindak lebih dewasa.
Sepertinya kesialan belum bosan untuk menerpa hidupnya. Tepat setelah ia berhasil melewati gang sempit dengan aroma selokan, kaki Geraldine tersandung batu dan salah satu kakinya menginjak lubang yang sedikit dalam. Apakah ini karma atau apa!
Geraldine nyaris menangis, apalagi saat berusaha bangun namun tidak berhasil. Kaki kanannya terasa sakit hanya untuk digerakkan. Dan saat air mata nyaris merebak dari kedua kelopak matanya, suara seseorang membuatnya menoleh.
“Hei! Are you okey?”
Geraldine nyaris mengumpat kasar jika saja tidak melihat siapa laki-laki yang kini sudah berlutut di depannya.
“Mari saya bantu!”
Geraldine menggeleng, “Kaki saya sakit,” ujarnya cepat untuk menjelaskan arti gelengan kepalanya.
“Boleh saya lihat?”
Geraldine mengangguk sembari memperhatikan wajah di depannya. Perlahan tapi pasti, ada gemuruh yang menguasai perasaannya. Entah karena kakinya yang sakit kini tengah dipegang Adam, entah untuk diapakan. Atau karena keberadaan laki-laki itu yang kini begitu dekat dengannya. Tapi opsi awal rasanya lebih masuk akal. Apalagi saat Adam .… Ck! Sudahlah, anggap saja nama laki-laki ini memang Adam.
“Tahan, ini akan sedikit sakit.” Geraldine belum sempat memproses dengan penuh, arti dari kalimat peringatan itu saat pekikannya keluar. Entah apa yang dilakukan Adam pada kakinya karena semua rasa sakit seolah bertumpu pada titik itu. Geraldine bahkan menahan napas saat tulang kakinya terasa diputar dan menyisakan ngilu untuk sesaat.
“Kaki kamu terkilir,” jelas Adam sebelum mendongak untuk melihat ekspresi gadis di depannya. “Coba sekarang gerakkan,” katanya lagi.
Geraldine yang masih terengah dengan keringat bercucuran karena menahan sakit mencoba berdiri. Tentu saja dengan bantuan Adam yang memegangi lengannya. Ada rasa asing yang menyergap perasaan Geraldine, namun coba gadis itu tepis. Kakinya sedang memerlukan fokus lebih dari pada hatinya yang kini menunjukkan rasa mengembang dan … entahlah.
“Feel better?” tanya Adam saat akhirnya Geraldine sudah berhasil berdiri sendiri dan mulai menggerakkan kakinya.
Meski tentu saja rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, karena memang ini bukanlah adegan film. Di mana kaki terkilir akan langsung sembuh hanya dengan sekali urut, tapi setidaknya rasa sakit itu tidak parah seperti tadi.
Geraldine mengangguk dengan senyuman tipis. “Lumayan, udah nggak sesakit tadi.”
Ada senyuman lega yang Adam tunjukkan dan detik itu jantung Geraldine mulai berulah. Namun masih bisa gadis itu redam dengan cara menundukkan kepala. Berpura-pura melihat kakinya yang kini masih menyisakan sedikit nyeri.
“By the way, terima kasih sudah menolong saya.”
Adam terkekeh kecil, “Sama-sama, lain kali mungkin bisa lebih hati-hati.”
Geraldine yang mendengar itu langsung memberikan ringisan malu. Apa ini karna? Rasanya akan terdengar konyol jika sampai laki-laki ini tahu apa alasannya bisa terjatuh tadi. Hanya untuk menghindari seseorang yang kembali menjungkir balikkan dunianya dalam waktu sekejap. Ah tidak! Tentu saja ini bukan karma, tapi kesialan yang terjadi karena kehadiran Amran.
“Oh ya, nama saya Adam.” Kalimat itu menghentikan gerutuan yang sedang Geraldine lakukan dalam hatinya. Gadis itu mendongak untuk menatap wajah Adam yang kini menampakkan senyuman manis. Lalu netra hitam itu beralih ke arah jemari Adam yang terulur menunggu untuk disambut. Dengan sedikit susah payah Geraldine menelan salivanya, berdeham sejenak, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menyambut uluran tangan itu.
“Geraldine. Tapi, panggil saja Andin,” ujar gadis itu seraya menunjukkan senyuman tipis. Dan saat jantungnya kembali berulah secara tidak tahu malu, ia segera melepas tautan tangan mereka. Takut jika Adam menyadari betapa gugupnya ia saat ini. Jangan sampai ia mempermalukan diri di hadapan Adam.
Ah iya! Jadi namanya benar-benar Adam?
