Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Kabar Buruk

Bab 7 Kabar Buruk

Siang harinya kabar buruk datang, saat ponsel Tatiana berdering dan nama sang ibu muncul di layar. Mengabarkan jika adiknya, Tamrin, kecelakaan dan sekarang sudah berada di rumah sakit.

“Ndin!”

Geraldine yang sudah tahu duduk perkaranya segera mengangguk sebelum Tatiana mengucapkan apa pun. “Kamu pergi saja, tidak apa-apa.”

“Thanks ya, Ndin.”

“Kabari aku kalau ada apa-apa.” Tatiana mengangguk, dan bergegas menuju rumah sakit.

Geraldine hanya bisa memperhatikan tubuh Tatiana yang bergerak keluar toko bunga dengan gesture cemas, dan dalam hati mendoakan semoga Tamrin baik-baik saja. Keluarga Tatiana adalah orang-orang baik, Tuhan pasti akan memberikan kemudahan untuk mereka.

*

Sementara Tatiana segera menuju rumah sakit yang tadi ibunya sebutkan. Mungkin karena terlalu khawatir, gadis itu nyaris melompat saat driver ojek online berhenti di pelataran rumah sakit tempat adiknya dirawat. Tatiana segera menanyakan keberadaan IGD pada perawat yang ia temui di lobby, lalu kaki gadis itu pun segera beranjak ke arah yang ditunjukkan perawat tadi.

Geraknya sempat terhenti sejenak, saat tanpa sengaja melihat sosok yang ia yakini bernama Adam, terlihat baru saja keluar dari salah satu lift rumah sakit. Tentu saja hal itu membuat Tatiana terkejut, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun selain mengabaikan keberadaan laki-laki itu.

Jika saja keadaannya tidak sedang genting seperti ini, mungkin Tatiana akan menyimpulkan banyak hal untuk pertemuan tidak sengaja ini. Mungkin saja gadis itu akan berpikir jika mereka berjodoh, karena dipertemukan pada tempat yang tidak terduga. Namun, jangankan untuk berpikir sejauh itu, sekadar membalas senyuman yang Adam berikan saja tidak sempat Tatiana lakukan. Ternyata Adam menyadari keberadaannya, dan mungkin laki-laki itu mengenalinya sebagai penjual bunga di La belle.

Tatiana segera melanjutkan langkah, mempercepat geraknya saat sosok sang ibu terlihat sedang duduk sembari menangis di depan pintu IGD.

“Bu!” Tatiana segera menghambur ke pelukan sang ibu untuk membagi beban satu sama lain.

“Bagaimana ceritanya, Bu?”

Ibunya semakin terisak saat mendengar pertanyaan itu, namun pada akhirnya menjawab walaupun dengan sedikit tersendat. “Tadi Ibu lagi mau anter dia sekolah, Mbak.”

Tatiana mengelus punggung ibunya untuk menenangkan.

“Kejadiannya cepat sekali.” Wanita itu menyorotkan rasa penyesalan yang begitu dalam. “Thamrin lari, mengejar temannya. Ibu sudah teriak melarang dia, tapi ….” Ibu Tatiana kembali tergugu, dan Tatiana pun segera memeluk ibunya dari samping. “Tahu-tahu ada motor yang nabrak dia dari tikungan.”

Tatiana mengangguk meski penjelasan itu nyaris tidak terdengar, karena ibunya kembali meraung.

“Sudah, Bu. Ibu tidak salah, lebih baik kita berdoa semoga Tamrin baik-baik saja.”

Wanita itu mengangguk, meski air matanya terus bercucuran.

Tatiana menghela napas panjang. Tanpa melepas pelukannya pada sang ibu, gadis itu menggerakkan kepalanya ke arah pintu IGD yang masih tertutup. Bahkan lampu di atas IGD pun masih menyala, pertanda jika tindakan di dalam sana belum juga selesai. Tatiana sungguh berdoa agar Tuhan mau memberi adiknya kekuatan dan bisa melewati masa sulit ini dengan mudah. Apalagi jika mengingat adiknya yang memiliki riwayat jantung lemah sejak kecil, kecemasan Tatiana rasanya semakin menjadi.

Tidak lama ayah Tatiana datang bersama Harlan yang masih mengenakan seragam sekolah. Tatiana membiarkan ibunya beranjak ke arah ayahnya duduk. Gadis dengan rambut sepunggung itu memilih bangkit dari duduknya, mengamati pintu IGD dengan tatapan cemas. Berharapa pintu itu akan segera terbuka dan membawa kabar baik.

Namun saat pada akhirnya pintu itu benar-benar terbuka dengan satu orang dokter yang keluar, Tatiana rasanya enggan mendengar penjelasan dokter yang sepertinya membawa kabar tidak bagus.

“Pasien masih dalam kondisi kritis, kami masih akan terus berusaha. Ibu dan Bapak berdoa saja agar semuanya bisa berjalan seperti apa yang kita inginkan.”

Tatiana tidak lagi mendengarkan penjelasan dokter muda itu yang tengah berbicara pada ayahnya. Ia memilih memapah tubuh ibunya yang lunglai seolah tak bertulang saat mendengar kabar kurang baik itu. Namun ia sempat menangkap perkataan dokter yang mengatakan jika kondisi lemah jantung yang Tamrin derita memang memperburuk kondisi adiknya itu. Sekali lagi, Tatiana hanya bisa berdoa semoga adiknya diberi kekuatan untuk bisa melewati semua ini.

*

Menjelang akhir pekan seperti ini, toko bunga memang seringnya ramai oleh muda mudi yang biasanya memesan buket bunga untuk acara spesial. Ada juga para pasangan yang ingin memberikan surprise pada suami ataupun istrinya. Tidak jarang mereka meminta pendapat Geraldine mengenai bunga apa yang sebaiknya mereka pilih.

Tentu saja Geraldine tidak boleh asal-asalan memberi rekomendasi, karena memang setiap bunga dan warnanya memiliki filosofi yang berbeda. Contohnya saja bunga mawar. Bunga yang sering dijadikan perlambang cinta itu ternyata memiliki arti berbeda untuk setiap warnanya. Jika bunga mawar merah melambangkan sebuah cinta, dan sangat cocok diberikan untuk pasangan, maka lain hal dengan mawar kuning. Mawar kuning ternyata memiliki arti yang kurang baik. Ada artikel yang menjelaskan jika mawar kuning adalah simbol ketidaksetiaan.

“Semoga sukses, Mas!” ujar Geraldine yang dibalas embusan napas gugup oleh seorang laki-laki yang baru saja memesan buket romantis. Laki-laki bernama Edo itu bercerita jika ia akan melamar kekasih yang sudah dipacarinya selama hampir lima tahun.

“Doanya, ya, Mbak!”

Geraldine tertawa geli, namun tetap mengangguk dan hanya bisa memperhatikan punggung laki-laki itu yang berjalan menjauh. Permintaan doa seperti tadi sudah sering ia dapatkan, tapi rasanya masih saja terdengar aneh. Dirinya yang sudah menginjak usia dua puluh empat tahun ini bahkan tidak pernah memikirkan soal pasangan hidup. Ditambah berteman dengan seseorang seperti Tatiana, yang juga sama sepertinya.

Bukan berarti Geraldine tidak pernah ditaksir atau didekati oleh lawan jenis. Tapi, selama ini ia selalu bersikap cuek. Dan merasa hidup sendiri seperti ini adalah yang terbaik. Malas berurusan dengan persoalan cinta seperti teman-temannya yang lain. Banyak kisah patah hati yang ia lihat, dan sepertinya, hidupnya sudah penuh dengan drama tanpa harus dibumbui dengan kisah patah hati.

Tapi entah mengapa kali ini hatinya seperti terketuk untuk memikirkan hal itu. Dan saat bayangan laki-laki berlesung pipi dengan inisial nama Adam tiba-tiba melintas di kepalanya, Geraldine hanya bisa mengerjab bingung. Sejak kapan ia memikirkan laki-laki dalam kehidupannya? Gadis itu menggeleng cepat saat pikirannya tiba-tiba penuh dengan senyuman menawan itu. Rasa-rasanya, efek lelah telah membuat otaknya berjalan secara tidak wajar.

Ah, Tatiana, dia merindukan kehadiran sahabatnya itu. Melayani pelanggan yang sedari tadi ramai seorang diri sepertinya berpengaruh kurang baik pada kewarasannya. Geraldine mencoba untuk mengenyahkan segala hal aneh di dalam pikirannya saat denting lonceng berbunyi. Ia tersenyum dan kembali pada sikap professional saat seorang pelanggan masuk.

Sikap ramah memang sangat diperlukan agar pelanggan merasa nyaman, dan pada akhirnya memutuskan untuk membeli bunga.

Tidak lama pelanggan lain datang. Meski sedikit dibuat sibuk tapi Geraldine rasa itu lebih baik. Setidaknya bayangan senyum berlesung pipi itu perlahan memudar walaupun tidak hilang sepenuhnya. Geraldine benar-benar bingung dengan apa yang ia rasakan kini. Tentu saja ini perasaan asing yang sangat menganggu.

Dan saat akhirnya toko bunga itu kembali sepi. Menyisakan hening yang bergulir agak aneh, Geraldine nyaris membenturkan kepalanya karena senyum Adam kembali menari di otaknya. Dan lihat! Dia bahkan menyakini jika nama laki-laki itu benarlah Adam.

Geraldine berdecak, dan memilih untuk membuat cokelat panas. Mungkin dia butuh minuman kesukaannya itu untuk tetap menjaga kewarasan.

“Fokus Andin!” gumannya pada diri sendiri. Sesekali melirik ponsel dan tersenyum saat mendapati pesan yang masuk dan itu dari Tatiana. Tapi ternyata bukan kabar baik yang ia dapat. Tatiana mengabarkan jika kondisi adiknya masih dalam masa kritis. Geraldine hanya bisa memberi semangat pada sahabatnya itu. Dan dalam hati ikut mendoakan kesembuhan Tamrin.

Lalu saat denting lonceng di atas pintu kembali menimbulkan bunyi, Geraldine meletakkan ponselnya. Gadis itu mendongak dan mempersiapkan senyuman professional yang langsung luntur saat mendapati laki-laki itu berdiri di sana. Bukan seseorang yang ia harapkan kehadirannya, detik ini atau sampai kapan pun itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel