Bab 6 Laki-laki yang Sama
Bab 6 Laki-laki yang Sama
“Hari ini kamu pulang, kan?” Geraldine hanya mendesis kesal saat mendengar pertanyaan itu. Mamanya ini apa tidak bisa memberinya waktu tenang barang sejenak saja?
Semalam akhirnya gadis itu menuruti saran dari Tatiana untuk berbicara pada mamanya.
“Aku tidak pulang ke rumah eyang malam ini. Aku menginap di rumah teman,” ujarnya saat mamanya menanyakan keberadaan dirinya. Mungkin Amran yang melapor jika dirinya tidak berada di rumah. Padahal biasanya, sebelum jam enam sore Geraldine memang sudah berada di rumah. Kecuali kalau akhir pekan, toko bunga baru akan tutup pukul delapan atau sembilan malam.
“Kamu sedang menghindar lagi?”
Geraldine menghela napas lembut, berusaha menetralkan pikiran kacaunya. “Ma, Andin butuh waktu untuk menenangkan diri. Mungkin untuk beberapa hari Andin tidak akan pulang.”
“Tapi ….”
“Please, Ma,” potong gadis itu cepat. “Jangan ganggu Andin untuk sementara waktu,” lanjutnya sembari memutus sambungan. Tidak mau dibuat pusing dengan terror telepon dari mamanya. Namun nyatanya, pagi ini mamanya segera menghubunginya, dan setelah mengabaikan lima panggilan sebelumnya, kali ini Geraldine memilih mengangkat sambungan yang terasa memekakkan telinga itu.
“Sampai kapan kamu mau lari, Andin?” Ulang Nikita saat Geraldine tidak juga menjawab.
“Aku tidak tahu. Mungkin, selamanya.”
“Andin ….” Terdengar helaan napas berat dari seberang. Ada nada lelah yang terpancar dari kalimat yang mamanya ucapkan. Namun Geraldine mencoba untuk tidak peduli.
“Mama tidak ada kerjaan apa?” Itu bukan benar-benar pertanyaan, tapi sebuah sindiran kesal yang Geraldine lesatkan karena mamanya terus saja mengatur kehidupannya.
“Kamu lebih penting dari pekerjaan. Bagaimana Mama bisa tenang kalau semalaman kamu tidak pulang? Mama itu khawatir.”
“Kan aku usdah bilang menginap di rumah teman.”
“Kalau tidak ada masalah yang kamu tinggal, Mama tidak masalah dengan kamu mau menginap di teman mana pun.”
“Masalah apa, sih, Ma!”
“Ayah Amran. Kamu ini sedang kabur, kan, karena ada dia di rumah eyang?”
Geraldine tertawa miris, namun memilih untuk tidak menjawab, karena tebakan mamanya sangat tepat.
“Andin, Sayang. Sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini?”
Lagi-lagi Geraldine hanya bungkam. Karena dia pun tidak tahu sampai kapan harus menjalani hidup seperti ini. Tapi yang jelas, hatinya tidak akan pernah menerima keberadaan Amran sebagai ayahnya.
“Mau bagaimanapun kondisinya, Ayah Amran itu sekarang adalah ayah kamu.”
Belum ada jawaban, dan sebenarnya gadis itu sudah mulai jengah dengan obrolan ini.
“Kamu harus bisa belajar untuk menerima itu semua, Nak.”
Geraldine menghembus napas pendek, sebelum akhirnya berujar, “Mama tahu, kan, kalau sampai kapan pun aku tidak rela posisi Ayah digeser oleh siapa pun?” Kali ini mamanya memilih diam, sepertinya memberi waktu untuk Geraldin mengeluarkan keluh kesahnya.
“Waktu Mama nikah lagi, dan tidak menunggu persetujuanku, aku diam saja, Ma,” lanjut gadis itu sembari menggigit bibir, mencoba untuk menahan tangisan kesal bercampur sedih yang menyergap bersamaan.
“Aku menyingkir dari kehidupan baru Mama, karena aku sedang menyelamatkan Mama dari ketidaknyamanan, dan juga untuk menyelamatkan kondisi hati aku.” Hening untuk beberapa waktu.
“Dan selama ini, semuanya baik-baik saja, kan? Lalu, kenapa sekarang Mama malah mengusik kehidupan yang sudah baik-baik saja ini menjadi kembali berantakan!” Ingin berteriak, tapi Geraldine masih mengingat dosa. Jadi dia hanya memberi penekanan dalam setiap kata yang meluncur dari bibirnya.
“Mama hanya mau yang terbaik, Nak.”
Geraldine menggeleng, meski tahu mamanya tidak akan melihat dari seberang sana. “Untuk Mama mungkin iya, tapi untuk aku tidak.”
“Ndin ….”
“Cukup, Ma,” potong gadis itu saat hatinya sudah tidak sanggup lagi mendengar apa pun. “Lebih baik Mama urus urusan Mama sendiri. Aku sudah besar, Ma. Aku sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Jadi, please, jangan usik kehidupan aku. Apalagi mengirim suami Mama untuk meluluhkan hati aku. Semua tidak akan berhasil.”
Lagi-lagi gadis itu memutus sambungan secara sepihak, tidak mau lagi mendengar kalimat yang pasti masih akan sangat panjang jika diteruskan.
Sentuhan di bahu membuat Geraldine menoleh, dan menemukan Tatiana sedang tersenyum lembut ke arahnya.
“Aku tidak salah, kan, Na, bersikap seperti itu?” Yang ditanya tidak langsung menjawab. Karena Tatiana pun bingung dengan kondisi hidup Geraldine yang sebenarnya simple, tapi terkesan rumit karena kekeras kepalaan sahabatnya ini. Tapi, dia belum pernah berada di posisi Geraldine, jadi tidak mungkin juga langsung menghujat dan menghakimi Geraldine dengan segala yang ada di pikiran gadis itu.
Andai saja Geraldine mau sedikir saja membuka hati, dan belajar menerima kehadiran ayah sambungnya, semuanya mungkin akan berjalan lebih mudah. Namun sekali lagi, Tatiana belum pernah berada di posisi Geraldine, jadi tidak begitu paham bagaimana saat berada di posisi gadis itu.
“Memangnya, sulit ya, menerima kehadiran suami Mama kamu sebagai Ayah?” tanya Tatiana hati-hati.
Geraldine mengangguk lesu. “Setiap kali aku berusaha, bayangan Ayah dengan wajah terlukanya selalu hadir. Aku tidak mungkin menggantikan posisinya dengan siapa pun.”
Tatiana mengangguk, berusaha memahami. “Memang tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi kedua orang tua kita sampai kapan pun,” katanya, lalu memberikan senyum tipis saat Geraldine menoleh ke arahnya.
“Tapi, mungkin kamu bisa menerimanya sebagai sosok lain.”
Geraldine yang tidak mengerti dari makna kata yang Tatiana ucapkan menautkan kedua alis. “Maksudnya?”
“Dia kan, suami mama kamu.” Geraldine mengangguk.
“Itu artinya, sampai kapan pun kamu menghindar, akan percuma, Ndin.” Geraldine mengembus napas kasar saat mendapati ada kebenaran dari kalimat yang Tatiana ucapkan.
“Pelan-pelan, mungkin kamu memang harus membuka hati kamu untuk menerima kehadiran Ayah sambung kamu. Bukan sebagai pengganti Ayah kamu. Ubah cara pikir kamu tentang dia yang merebut posisi Ayah kandung kamu. Karena faktanya dia menikah dengan mama kamu, bertahun-tahun setelah Ayah kamu tidak ada. Jadi, dia tidak sepenuhnya salah, kan?”
Geraldine mengerjab, membenarkan kalimat panjang yang Tatiana ucapkan namun hanya dalam hati. Entahlah, ia belum tahu bagaimana caranya berdamai dengan situasi rumit seperti ini.
Pembahasan terhenti saat lonceng di atas pintu berdenting menandakan satu pelanggan masuk. Sosok laki-laki yang kemarin, dan juga hari ini mampu membekukan Tatiana. Gadis itu langsung mematung saat melihat siapa sosok laki-laki yang kini tengah mengedar pandang ke sekitar. Penampilan rapi laki-laki itu masih sama seperti kemarin. Jika kemarin kemeja yang dikenakan berwarna cokelat tua, maka kali ini laki-laki dengan lesung pipi itu mengenakan kemeja pendek berwarna biru. Sangat cocok dengan kulit putihnya. Celana bahan yang dikenakan pun tidak memberi kesan kuno. Sepertinya laki-laki ini akan selalu terlihat menawan dengan gaya busana apa pun.
“Tidak apa-apa, biar aku saja!” ujar Tatiana setelah berhasil menguasai diri. Geraldine yang sempat beranjak pun memilih untuk kembali duduk. Sesekali memperhatikan interaksi Tatiana dengan laki-laki berlesung pipi itu. Ada seuntai senyum yang menguar dari bibir Gealdine saat melihat betapa Tatiana yang terlihat berusaha untuk tidak gugup.
Geraldine akui laki-laki yang tampaknya kembali membeli lily putih itu memang tampan. Tipe wajah yang akan memikat siapa pun untuk menoleh saat ia berjalan. Wajah ramah yang dibalut dengan senyum khas itu akan menaklukan hati wanita mana pun. Apalagi lesung pipi yang tercetak jelas saat bibir itu menarik sebuah senyuman, tidak heran jika Tatiana dibuat salah tingkah seperti itu.
Geraldine berdeham dan mencoba melempar pandang ke arah lain, saat laki-laki itu menoleh ke arahnya dan melempar sebuah senyuman. Gadis itu pura-pura sibuk dengan bunga di hadapannya, hingga laki-laki itu sudah selesai dengan transaksinya. Namun, saat satu kali lagi Geraldine mengangkat kepalanya yang tertunduk, laki-laki itu kembali melempar senyuman, yang sepertinya juga akan membuat seorang Geraldine jatuh pada pesonanya.
“Namanya Adam!” seru Tatiana dengan pekikan tertahan, saat laki-laki tadi sudah sepenuhnya menghilang. Geraldine yang sempat ikut terhanyut dalam pesona laki-laki itu berusaha untuk bersikap normal.
“Kok bisa tahu, kalian kenalan tadi?” Geraldine memang tidak terlalu memperhatikan obrolan antara Tatiana dengan laki-laki tadi.
Bukannya mengangguk, Tatiana malah menggeleng dengan sebuah cengiran yang membuat Geraldine bingung. “Aku lihat gantungan tasnya, ada inisial nama Adam di sana.”
Geraldine tertawa kecil saat mendengar itu. “Terus, kamu yakin kalau namanya Adam?”
Tatiana kembali mengangguk dengan semangat. “Mudah-mudahan ada kesempatan dia kembali lagi ke sini nanti!”
Geraldine tidak menanggapi, hanya menggelengkan kepalanya. Namun, saat ada satu rasa yang juga menelusup aneh ke dalam hatinya, Geraldine berusaha untuk tidak memperpanjang pikirannya itu.
