Bab 5 Kabur
Bab 5 Kabur
Seperti biasa, Tatiana sudah lebih dulu sampai di toko bunga karena rumah gadis itu memang letaknya lebih dekat. Hanya cukup berjalan kaki selama lima menit. Letak perumahan yang Tatiana tinggali memang berada di belakang Mallioboro.
“Mau pindahan, Mbak?” tanya Tatiana saat melihat Geraldine membawa ransel besar yang terlihat berat. “Atau, mau kabur?” Sebenarnya itu tebakan asal-asalan, tapi saat tidak juga mendapat respon dari Geraldine, Tatiana hanya bisa meringis.
“Benar kamu mau kabur?” tanya Tatiana untuk memastikan. Dan wajah syoknya lah yang muncul saat kepala Geraldine mengangguk mantap.
“Bisa gila aku, Na, kalau terus-terusan tinggal dengan dia.” Geraldine meletakkan tasnya di sudut ruangan sebelum duduk.
“Tadinya aku sudah berpikiran akan membiarkan saja dia tinggal di rumah eyang. Asalkan antara kami tidak saling mengusik. Aku bisa pulang dan pergi di saat dia tidak ada. Jadi, aku tidak perlu ketemu dia.” Geraldine menarik napas kasar untuk melonggarkan dadanya yang terasa sesak karena menahan kesal. “Tapi dia malah bertingkah seperti orang tua yang sok mengatur untuk aku melakukan ini itu.”
“Contohnya?” Geraldine pun menceritakan apa saja yang Amran lakukan. Hal-hal mengesalkan yang tidak bisa ia terima hingga detik ini. Tatiana yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis. Sebenarnya, menurut pendapatnya tidak ada yang salah dari sikap ayah sambung Geraldine itu. Malah, laki-laki itu seperti sedang mendidik Geraldine ke arah yang lebih baik. Tanpa Geraldine sadari, laki-laki itu terlihat menganggapnya sebagai anak sendiri. Mungkin karena dari awal memang gadis itu sudah tidak menyukai ayah sambungnya, jadi apa pun yang dilakukan akan terasa salah.
“Sekarang aku bingung, Na.”
Tatiana pun mengangkat alis sebagai isyarat tanya.
“Di sekitar sini ada tempat kos tidak, ya?”
“Kamu benar akan kabur?”
Geraldine berdecak gemas, “Ya benarlah, Na! Daripada aku makan hati terus di rumah eyang.”
Tatiana terlihat berpikir sebelum akhirnya menjetikkan jari. “Yang kontrak depan rumah aku mau pindah, Ndin!” Mata Geraldine langsung berbinar. “Tapi dua hari lagi baru pindah.” Tatiana meringis, dan Geraldine yang mendengar itu hanya bisa memanyunkan bibirnya.
“Emm, begini saja, Ndin. Sementara waktu kamu tinggal di rumah aku, bagaimana?”
Geraldine mengerucutkan bibirnya ke samping, sebelum bertanya dengan tatapan ragu. “Emangnya tidak merepotkan?”
Ada senyum tulus yang menguar dari bibir Tatiana. “Tidak, nanti aku bicara dengan ibu. Pasti boleh.”
“Serius?” Tatiana mengangguk mantap.
“Thanks ya, Na. Ya ampuuuuun, kamu memang yang terbaik!” Tatiana hanya tertawa mendengar ucapan Geraldine.
*
Hari itu Geraldine benar-benar pulang ke rumah Tatiana. Ada perasaan tidak enak, ia takut merepotkan. Dan rasanya, takut jika kehadirannya nanti tidak diterima dengan baik. Banyak pikiran buruk yang melintas di kepalanya, seperti Geraldine yang biasanya. Namun, karena tidak memiliki alternatif lain, gadis itu mencoba menepis segala pemikiran itu. Dia juga hanya akan sementara tinggal di rumah Tatiana, bukan untuk merepotkan selamanya. Namun, perasaan takut tidak disambut baik itu langsung sirna, saat ibu Tatiana yang kebetulan sedang berada di depan rumah menunjukkan senyum lembut untuk menyambut kedatangan mereka. Sepertinya kini Geraldine tahu dari mana Tatiana bisa memiliki senyum yang meneduhkan itu. Tentu saja dari sang ibu.
“Ibu, ini Andin,” ujar Tatiana setelah memberi salam.
“Tante ….”
“Panggil Ibu saja,” potong wanita itu cepat dengan nada ramah yang tidak dibuat-buat.
“Ah iya, Bu. Saya Andin,” ujar Geraldine sembari mencium punggung tangan wanita itu. Meskipun sudah bersahabat lama, nyatanya ini memang baru pertama kalinya Geraldine datang ke rumah Tatiana.
“Tumben ini masih sore sudah pulang? Sudah makan belum?” tanya ibu Tatiana. Lalu mempersilahkan Geraldine untuk masuk. Meski pertanyaan itu Geraldine yakini serupa basa-basi, namun entah mengapa rasanya terdengar sangat menyenangkan.
“Kami udah makan kok, Bu.” Tatiana yang menjawab. “Oh ya, Andin rencananya mau menginap di sini. Soalnya orang tuanya sedang ke luar kota, tidak berani di rumah sendiri. Boleh?”
Geraldine yang semakin merasa tidak enak karena Tatiana harus berbohong, hanya meringis malu.
“Oh ya boleh, to. Tapi kondisi rumahnya seperti ini, Nak Andin.”
Geraldine yang sudah mengedar pandang ke segala arah, mengucapkan tidak apa-apa dengan jujur. Meskipun memang kodisi rumah Tatiana bisa dibilang sangat sederhana. Tentu saja jauh jika dibandingkan dengan rumahnya yang berada di Jakarta, ataupun rumah eyang. Rumah eyang, walaupun masih bangunan kuno, tapi setiap detailnya terlihat unik dan juga tidak meninggalkan kesan elegan.
Tapi entah mengapa, semenjak menginjak rumah ini. Geraldine merasa betah. Ada kesan hangat yang selama ini Geraldine inginkan. Rumahnya juga pernah memiliki aura seperti ini. Dulu, jauh sebelum ayahnya pergi dan tidak lagi kembali hingga sekarang.
Tatiana segera mengajak Geraldine untuk masuk ke dalam kamarnya. Kondisinya sangat sederhana, juga tidak terlalu lebar. Tapi karena setiap perabotan yang tidak seberapa itu ditata dengan begitu apik, kamar ini terasa nyaman. Kamar Tatiana juga sangat bersih, berlawanan jauh dengan kamarnya yang sering terlihat seperti kapal pecah. Rasanya gadis itu malu sendiri dibuatnya.
“Sorry ya, Ndin. Tidak luas tempatnya.”
Geraldine yang sudah duduk di kasur busa dengan ukuran satu orang itu pun menoleh. “Tidak apa-apa, Na. Aku justru berterima kasih padamu sudah diizinkan menumpang untuk sementara waktu. Ibu kamu baik juga orangnya. Aku pasti betah di sini.”
Tatiana tertawa kecil mendengar hal itu. “Syukurlah kalau begitu. Lebih baik kamu mandi dulu. Sebelum Bapak dan adik-adikku mandi. Kamar mandinya hanya satu soalnya.” Geraldine hanya mengangguk, lalu segera menyiapkan peralatan manidnya.
*
Sepanjang waktu ini bibir Geraldine rasanya tidak berhenti mengulum senyum. Suasana rumah ini kian terasa hangat saat semua anggota keluarga berkumpul. Ada ayah dan ibu Tatiana yang kini tengah bercengkerama di depan TV. Mengobrol hangat, terlihat saling mencintai satu sama lain. Ia baru sadar, sepertinya dulu mama dan ayahnya tidak pernah terlihat semesra itu. Kemesraan itu baru terlihat saat mamanya menikah lagi. Satu hal yang sering membuat Geraldine diam-diam menangisi ayahnya, jika tanpa sengaja melihat keromantisan tercipta antara mama dan juga Amran.
Geraldine mencoba mengenyahkan bayangan menyebalkan itu. Dan netra hitam itu beralih ke arah Tatiana yang sedang mengajari adik keduanya belajar. Tatiana memiliki dua adik, yang pertama bernama Harlan, usianya kira-kira 12 tahunan. Sementara yang paling kecil namanya Tamrin, mungkin baru tujuh tahunan.
Senyum kecil itu kembali terukir saat Tatiana bercanda tawa dengan adiknya. Mungkin, kalau ayahnya masih ada hingga sekarang, kebahagiaan semacam ini juga akan tercipta. Dan mungkin juga Geraldine sudah memiliki adik untuk diajak bercanda seperti Tatiana.
“Kamu beruntung ya, Na,” ujar Geraldine saat mereka sudah tertidur di kamar Tatiana.
Karena tidak memungkinkan tidur berdua di kasur Tatiana yang hanya cukup untuk satu orang, maka salah satu dari mereka menggelar kasur lantai di bawah. Awalnya Geraldine yang ngotot ingin tidur di sana, tapi Tatiana malah menyerobot tempat itu sebelum Geraldine sempat membaringkan tubuh. Dan karena malas berdebat, akhirnya Geraldine tidur di atas kasur.
“Beruntung bagaimana?” Tatiana sudah memejamkan mata, belum sepenuhnya tidur.
“Keluarga kamu terlihat bahagia.”
Ada senyum yang kembali terlihat di bibir Tatiana, namun kali ini gadis itu membuka mata lalu menoleh ke arah Geraldine. “Kamu juga sebenarnya beruntung, Ndin.”
Geraldine mengubah posisinya menjadi menyamping, ada tatapan bingung yang ia tunjukkan.
“Kamu punya mama yang sangat menyayangi kamu.”
“Tapi Tuhan mengambil ayah disaat aku belum siap.”
“Tapi, Dia menggantikan dengan yang baik bukan?” Hal yang sebenarnya ingin Tatiana ucapkan sejak lama. Tapi selalu tertahan karena Geraldine yang akan selalu menyangkal.
“Dari mana kamu tahu kalau dia baik? Kamu saja belum pernah ketemu.”
“Dari cerita-cerita kamu. Aku kok merasa, dia itu sudah menganggap kamu seperti anaknya sendiri.”
Geraldine mendengkus, “tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Ayah. Selamanya, dia hanya akan menjadi seseorang yang tidak akan pernah aku sukai, karena sudah menggeser posisi Ayah dari hati Mama.”
Terkadang Tatiana seperti ingin menjenggut kepala Geraldine jika sedang keras kepala dan berpikir semaunya sendiri seperti saat ini.
“Coba aku punya keluarga seperti punyamu, Na.”
“Setiap yang hidup pasti akan diberi ujian, Ndin. Keluargaku, keliatannya memang baik-baik saja. Tapi, ada kalanya ujian itu datang. Entah dari segi ekonomi, atau apa pun itu.”
“Tapi, kalian memilki satu sama lain, jadi bisa saling menguatkan.”
“Kamu pun bisa seperti itu, kalau kamu mau memberikan kesempatan ayah sambung kamu untuk lebih dekat dengan kamu.”
Geraldine langsung terdiam mendengar penuturan itu. Tentu saja membuka hati untuk Amran tidak menjadi rencananya dalam waktu dekat ini. Dan entah sampai kapan juga Geraldine tidak tahu. Mungkin kodisinya akan terus seperti ini.
“Setiap orang itu pasti memiliki masalah, Ndin. Hanya saja, yang membedakan adalah cara menyikapinya. Mau menjadi dewasa, atau ….” Tatiana memilih menggedikkan bahu, takut Geraldine tersinggung jika dia melanjutkan kalimatnya.
Keduanya tersentak saat ponsel Geraldine berbunyi. Dan tanpa melihat pun, mereka tahu siapa orang yang seharian ini terus meneror Geraldine.
“Angkat, Ndin! Mama kamu pasti khawatir.”
“Malas, Na.”
Tatiana berdecak kecil, kali ini tidak akan membiarkan sikap Geraldine yang pasti akan membuat mamanya cemas. “Bilang saja kalau kamu lagi butuh waktu. Setidaknya, Mama kamu tahu kalau anak semata wayangnya dalam kondisi baik.”
Meski dengan wajah kesal, Geraldine meraih ponselnya dan menerima panggilan dari mamanya.
