Bab 4 Laki-Laki Berlesung Pipi
Bab 4 Laki-Laki Berlesung Pipi
“Cari bunga apa, Mas?” Geraldine mengambil alih saat merasa aneh dengan tingkah Tatiana yang malah diam saja seperti patung.
“Bunga untuk orang sakit cocoknya apa, ya?”
Geraldine terlihat mengedar, lalu mata gadis itu jatuh pada buket lily di sampingnya. “Rekomendasi dari saya, lily. Bunga ini cantik. Bagus untuk mood boster.”
Laki-laki berlesung pipi itu tampak tersenyum, lalu menerima buket yang Geraldine sorongkan. “Oke, saya ambil ini.”
“Tunggu sebentar, ya!”
Laki-laki itu mengangguk, kemudian melirik ke arah Tatiana yang sudah berpindah posisi, duduk di antara bunga-bunga yang baru saja datang. Bertingkah seolah sedang mengerjakan sesuatu. Padahal sebenarnya ia hanya sedang berusaha mengalihkan kegugupannya. Bingung harus bertingkah seperti apa sehingga tidak terlihat memalukan di mata laki-laki itu.
Geraldine pun segera mengucapkan terima kasih saat transaksi itu berjalan mulus seperti biasa. Lalu ditatapnya Tatiana yang masih bersikap aneh. Bahkan pipi tembam Tatiana terlihat memerah dengan sempurna. Geraldine tergelak saat menyadari sesuatu.
“Kamu kesengsem sama mas-mas, tadi, kan?” godanya sambil menyeka air mata di ujung matanya.
“Ih ... tidak ... tidak ....”
Geraldine kembali terkikik melihat Tatiana yang malu-malu seperti itu. “Ya ampun, Na! Kamu mestinya berkaca seperti apa mukamu tadi!”
Tatiana hanya bisa melempar Geraldine dengan tangkai bunga yang sudah kering, untuk menyudahi tawa gadis itu.
“Ya Tuhan! Seorang Tatiana jatuh cinta pada pandangan pertama!” Geraldine kembali tergelak, dan Tatiana hanya bisa mengerucutkan bibir malu. Tidak hanya Geraldine yang belum mau berurusan dengan masalah cinta, karena Tatiana pun nyatanya sama. Baginya saat ini, mencari uang adalah hal yang lebih penting. Apalagi gadis itu memiliki dua adik yang masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Ayahnya yang hanya seorang pegawai biasa, dengan gaji UMR, dirasa cukup keberatan untuk menanggung semua beban hidup jika Tatiana tidak membantu. Apalagi ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memilkik keahlian apa pun.
“Tadi harusnya kenalan, Na.” Geraldine menyenggol lengan Tatiana saat keduanya berdiri berdampingan, untuk memindahkan beberapa bunga ke tempat yang cocok agar terlihat cantik.
“Sudah ah, Ndin. Aku malu.”
Geraldine kembali terkikik. Tapi konsentrasinya pecah saat satu panggilan masuk. Tidak perlu melihat karena ia tahu jika itu pasti telepon dari mamanya.
“Kok tidak diangkat?”
“Malas.”
Tatiana memilih diam sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Geraldine itu tidak akan mampu dibujuk jika sedang dalam mode keras kepala seperti itu.
*
Geraldine sudah menduga, jika kehidupannya tidak akan baik-baik saja, setelah mengetahui jika Amran akan tinggal di rumah eyang. Namun, ia tidak menyangka jika yang ia duga tidak semenyenangkan itu, ternyata lebih dari sekedar yang terbayang di kepalanya.
Ini sudah hari ketiga Amran tinggal bersamanya di rumah eyang. Dan sejak kemarin, gadis itu memutuskan untuk tidak mempedulikan keberadaan laki-laki itu. Ia sengaja makan di kamar, dan melakukan semua hal di tempat pribadinya tersebut. Toh, kamar yang ia tempati juga bisa dikatakan luas, dan Geraldine tidak akan bosan dengan mengunci diri setiap harinya. Yang terpenting adalah, ia tidak perlu berinteraksi langsung dengan laki-laki itu. Hanya tiga bulan, kan? Yap, Geraldine akan berusaha untuk bertahan.
Pagi ini seperti biasa, Geraldine menyiram bunga setelah bangun tidur. Hal itu ia lakukan sebelum Amran keluar kamarnya. Ini masih pukul enam, dan Geraldine yakin jika suami mamanya itu sedang mandi, atau ia harap malah belum bangun.
“Coba pakaian kamu yang benar, Ndin!” Geraldine nyaris melompat saat mendapat teguran itu dan hanya bisa mendesis kesal.
“Ganti baju yang benar dulu!” perintah Amran lagi saat gadis itu tidak juga mengindahkan perkataannya yang tadi.
Geraldine menoleh dengan tatapan sebal, lalu mencoba menilik apa yang salah dari caranya berpakaian. Tidak ada yang salah ia rasa. Karena yang ia kenakan saat ini adalah celana sebatas paha dengan kaos putih tanpa lengan. Bukan bikini ataupun hot pants dengan tanktop. Masih bisa dikatakan sopan, kan? Kecuali ….
“Andin, pakaian kamu itu terlalu minim.”
“Minim apanya, sih! Lagi pula ini juga masih di dalem rumah!” sentak Geraldine kesal dengan ucapan Amran yang sok mengatur itu.
Laki-laki itu malah tersenyum tipis, “Coba kamu lihat pagar itu!”
Geraldine merasa bodoh karena mengikuti arah Amran mengedik, ke arah pagar rumah yang menjulang tinggi.
“Dari tadi banyak yang lewat dan memerhatikan kamu. Terutama laki-laki, apa kamu tidak risi?”
Geraldine mengerutkan kening. Memang iya? Geraldine tidak merasa diperhatikan sejak tadi. Ini pasti akal-akalannya Amran saja. Namun setelahnya, sepasang mata pemuda yang melintas memang dengan terang-terangan melirik ke arahnya dari celah lubang pagar tinggi rumahnya. Namun, untung ada sosok Amran yang mampu membuat para pemuda itu langsung melangkah lebar.
“Ganti sekarang!” Geraldine menatap kesal ke arah Amran, lalu dengan berat hati ia pun masuk ke dalam rumah. Yah, walaupun perkataan laki-laki itu benar dan bermaksud baik, tapi Geraldine tidak suka dengan cara laki-laki itu memerintahnya. Apa dia pikir Geraldine ini anak kecil. Dan sepertinya ada satu hal yang harus gadis itu terangkan sekali lagi. Dia ini bukan anaknya!
Tapi nyatanya sikap menyebalkan Amran tidak hanya sampai di situ. Dia bersikap seolah-olah seperti tuan rumah yang bebas memberi aturan pada Geraldine.
“Kenapa tidak kamu cuci piringnya sendiri? Kamu lihat, kan, kalau di wastafel sudah tidak ada piring kotor?”
Geraldine yang berniat masuk ke dalam kamar setelah selesai menyantap makan malamnya pun urung. Baru ia akan menjawab, Mbok Yem sudah lebih dulu menyela.
“Tidak apa-apa, Pak. Biar Mbok aja. Sana Mbak Andin ….”
“Tidak bisa egitu, Mbok. Dia itu anak gadis, harus diajarkan hal-hal yang dianggap sepele seperti ini dari sekarang.” Amran menggeleng miris, lalu menyuruh Mbok Yem untuk masuk ke dalam kamar.
Sebenarnya Geraldine tidak masalah mencuci piring sendiri. Tapi cara Amran berbicara seperti sok memiliki andil apa saja yang harus ia lakukan. Dan jelas Geraldine tidak menyukai itu. Ia sudah lama tinggal dengan eyang dan juga Mbok Yem, tapi selama itu juga tidak pernah ada yang mengaturnya untuk melakukan ini dan itu. Sementara laki-laki ini, yang baru saja datang ke kehidupannya, bertingkah sok seperti sekarang.
Dengan sengaja gadis itu mencuci piring kotornya dengan suara berisik. Nyaris memecahkannya bahkan. Geraldine sedang memendam kekesalan, dan dia butuh pelampiasan. Sepertinya dia tidak akan tahan berada dalam rumah yang sama dengan laki-laki ini. Baru tiga hari saja hari-harinya sudah semenyusahkan ini, dan apa yang akan terjadi selama tiga bulan ke depan?
Tidak-tidak, dia harus memikirkan cara untuk kembali menjauh. Selesai mencuci piring yang hanya satu biji itu Geraldine langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Takut sosok Amran yang kini sedang duduk di ruang tamu, akan kembali mengusiknya dengan urusan sepele lainnya, namun mampu membuat darah gadis itu mendidih. Rasanya Geraldine akan cepat tua jika terus berada satu atap dengan suami mamanya itu.
Satu hal terpikir begitu saja saat matanya tidak sengaja menangkap bayangan ransel besar, yang kini menggantung di samping lemari. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan memang hanya menghindar. Atau lebih tepatnya, kabur.
*
Keesokan paginya Geraldine sudah mengemas beberapa bajunya. Sengaja ia siapkan setelah Mbok Yem pergi ke pasar, karena pagi hari biasanya wanita paruh baya itu akan membersihkan kamarnya. Satu hal yang kembali mendapat komentar dari Amran, tapi kali ini tidak Geraldine pedulikan. Ia menganggap ocehan suami mamanya itu hanya angin lalu. Toh sebentar lagi mereka tidak akan bertemu. Dan Geraldine tidak sabar menantikan waktu untuk kabur. Entah akan ke mana, gadis itu sebenarnya juga belum punya rencana. Mungkin dia bisa mencari tempat kos untuk sementara waktu. Apa pun akan dia lakukan, yang terpenting tidak bertemu dengan laki-laki itu.
Setelah memastikan kondisi aman, gadis itu segera melangkah keluar. Kondisi sudah sepi seperti yang ia perkirakan.
Segera diletakkannya ransel besar yang sudah ia isi dengan perlengkapan sehari-harinya. Geraldine siap menyalakan motornya, dan seperti biasa, ada seseorang yang mengamatinya dari atas sana. Tapi kali ini tidak lagi seperti biasa, karena tirai jendela kamar itu terbuka lebar, dan menunjukkan sang pemilik. Seorang pemuda dengan kaca mata yang menggantung di pangkal hidungnya, kini tengah berdiri menghadap ke arah Geraldine. Entah hanya perasaan gadis itu saja, atau memang pemuda itu seperti tengah mengangguk sopan dan memberikan satu senyuman ramah.
Mungkin karena mood Geraldine yang sedang berantakan, dan juga takut Mbok Yem segera pulang, tanpa membalas senyum dan anggukan itu Geraldine memilih pergi. Tidak peduli jika dianggap sombong atau bagaimana. Satu yang ada di pikirannya saat ini hanyalah untuk kabur.
