Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Amran

Bab 3 Amran

Geraldine tidak lagi memikirkan kesopanan. Yang terpenting baginya saat ini adalah, mencari penjelasan tentang kenapa orang itu bisa berada di rumah eyang. Dengan bersungut-sungut, dan tanpa mengindahkan keberadaan suami mamanya yang kini tengah duduk di ruang tamu, Geraldine menuju dapur. Meski firasatnya mengatakan lain, tapi Geraldine berusaha meyakini mamanya sedang berada di dapur bersama Mbok Yem. Mungkin jika itu yang terjadi, Geraldine masih bisa membuat satu kesepakatan, dan tidak akan terlalu marah. Tapi jawaban yang ia terima dari Mbok Yem, rasanya membuat Geraldine ingin meledak saat itu juga.

“Mama Mbak Andin tidak jadi ikut katanya. Tadi Bapak datang sendiri.” Itu jawaban yang Mbok Yem berikan, dan membuat gadis itu segera merogoh ponselnya untuk menghubungi sang mama.

“Maksud Mama apa, sih?” Jerit Geraldine tertahan saat sambungan telepon itu akhirnya mendapat jawaban di dering ketiga.

“Heh, kok begitu bicara dengan Mama? Ayah Amran sudah sampai kan, Sayang?”

Geraldine hanya bisa menghentakkan kakinya untuk menahan kesal. Gaya bicara yang mamanya katakan sungguh jauh dari kesan ‘merasa bersalah’.

“Ma!” Terdengar helaan dari seberang.

“Iya, iya, Mama minta maaf.” Geraldine yakin masih belum ada nada bersalah dari kalimat yang baru saja mamanya katakan.

“Mama tidak jadi ikut karena besok Senin ada acara di sekolah, Sayang. Takut tidak bisa tepat waktu saat kembali ke sini lagi.” Mamanya memang seorang kepala sekolah, dan ia tahu banyak kegiatan yang sering wanita itu jalani setiap harinya. Tapi alasan itu terlalu konyol, dan tidak bisa Geraldine terima. Geraldine yakin mamanya sedang memiliki satu rencana. Yang pasti, ia yakin jika rencana itu bukanlah satu hal baik, terutama untuknya.

“Kalau begitu kenapa dia ada di sini?” tuntut Geraldine tidak sabar.

“Jadi begini....” Gadis itu memasang telinganya baik-baik. Berusaha menepis pemikiran buruk yang sejak tadi melintas.

“Ayah Amran ada pekerjaan di Jogja selama tiga bulan, dan dia akan tinggal bersama kamu selama di sana.” Geraldine tidak pernah suka jika mamanya menyebut Amran dengan sebutan Ayah Amran saat sedang berbicara dengannya. Tapi kali ini bukan itu yang membuatnya mual dan pusing dalam waktu bersamaan. ‘Dan dia akan tinggal dengan kamu selama di sana’, adalah satu kalimat yang terdengar nyaris seperti dengungan lebah di kepalanya.

Apa? Mamanya sedang tidak bercanda, kan?

“Mama serius?” Geraldine tertawa miris. Ia yakin jika sampai sekarang pun mamanya pasti tahu jika dirinya ini belum bisa menerima keberadaan Amran. Dan apa? Mamanya menyuruhnya tinggal dengan laki-laki itu? Lalu, apa gunanya ia lari selama ini?

“Kenapa tidak? Di rumah eyang kan, ada banyak kamar, Sayang.” Geraldine yakin mamanya tahu bukan itu jawaban yang ia inginkan.

“Kenapa Mama tidak minta persetujuan Andin dulu?”

“Kalau Mama mengatakan itu padamu, yakin kamu akan setuju?” Geraldine bungkam, karena jawabannya jelas saja tidak.

“Sudahlah Sayang, hanya tiga bulan.”

Geraldine kembali tertawa miris, hanya tiga bulan katanya.

“Kamu baik-baik ya dengan Ayah Amran, ja ….”

“Mama egois,” gumam Geraldine putus asa. Mamanya memang selalu bertindak semaunya. Tidak pernah mau mendengarkan apa yang ia mau.

“Sayang ….”

“Sudahlah, Ma. Geraldine capek,” ujar gadis itu sembari memutus sambungan secara sepihak.

Setelah mengembus napas panjang, ia pun memutuskan untuk menemui suami mamanya itu. Berharap laki-laki itu bisa mengerti posisinya yang tidak akan nyaman jika tinggal hanya berdua di rumah ini. Yah, walaupun ada Mbok Yem, tapi tetap saja Geraldine tidak suka. Titik.

Amran sedang sibuk dengan tab-nya saat Geraldine melangkah ke arah ruang tamu dan duduk di depan laki-laki itu. Satu senyuman terukir di bibir dengan kumis tipis, yang Geraldine lihat seperti sebuah seringaian kemenangan.

“Kenapa Om tidak tinggal di tempat lain saja?” tanya gadis itu tanpa basa-basi sebelum Amran berhasil membuka mulut untuk bersuara. “Bukankah itu akan lebih baik?” lanjutnya, Geraldine tidak tahu makna kata lebih baik yang ia maksud, namun hanya itu yang terlintas di pikirannya kini.

Amran tersenyum lembut, namun lagi-lagi senyuman itu seperti sedang menertawakan keadaannya di mata Geraldine. “Kamu sudah bicara sama mama kamu, kan?”

Geraldine diam karena pertanyaan itu memang tidak perlu ia jawab.

“Tidak ada yang lebih baik dari tinggal di sini. Lagi pula ….” Amran mengedar pandang pada pintu kamar yang terlihat ada di beberapa sudut ruangan. Rumah ini memang memiliki empat kamar. Dua sudah dipakai Geraldine dengan Mbok Yem. Dan masih ada dua kamar tersisa. “Masih ada dua kamar kosong, kan? Jadi Ayah akan tetap tinggal di sini sesuai permintaan Mama kamu.”

Geraldine hanya bisa menggerutukkan giginya saat emosi mulai merambat, membuat wajahnya memerah. Bukan hanya karena keputusan Amran yang tidak lagi bisa diganggu gugat, tapi juga Geraldine tidak pernah menyukai saat Amran menyebut dirinya ayah. Padahal gadis itu sudah sering berkata jika ia tidak suka Amran menyebut dirinya ayah. Rasanya seperti, dia sedang berkhianat pada mendiang ayahnya yang bahkan sampai saat ini, masih ia harapkan kedatangannya.

“Jadi, mana kamar untuk Ayah?” Amran berdiri, menyeret koper, lalu mengedar pandang. Mengabaikan wajah Geraldine yang nyaris menangis karena putus asa. Gadis itu memutuskan untuk bangkit, menghentakkan kakinya kesal, lalu melangkah lebar menuju kamarnya.

Amran hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu, lalu mencari keberadaan Mbok Yem untuk menanyakan di mana kamar yang bisa ia tempati.

*

Geraldine tidak keluar kamar sejak kejadian sore itu. Ia masih kesal, dan bahkan mengabaikan bujukan Mbok Yem untuk mengajaknya makan. Ia abaikan juga telepon dari mamanya yang terus menghubunginya hingga ponselnya mati kehabisan daya.

Pagi ini pun Geraldine masih enggan keluar, jika laki-laki itu masih berada di sekitaran rumah. Jangan anggap diamnya diartikan lain oleh laki-laki itu.

“Mbak Andin, ayo makan dulu! Nanti sakit,” bujuk Mbok Yem untuk ketiga kalinya pagi ini.

“Tidak Mbok, aku tidak laper.”

“Memangnya toko bunga tidak buka?”

Tentu saja buka, tapi ... Geraldine hanya berdecak kesal saat merasa tidak mungkin mengunci diri terus di dalam kamar seperti ini.

“Bapak sudah pergi kok, Mbak.”

Geraldine yang mendengar itu pun segera beranjak dari kasur, lalu membuka pintu sedikit. Takut Mbok Yem sedang bekerja sama dengan Amran untuk mengerjainya.

“Benar?”

Mbok Yem mengangguk sembari menahan tawa. “Iya, benar.”

Gadis itu tampak berpikir, “Ya sudah, aku mandi dulu Mbok,” ujarnya sembari merapatkan kembali pintu kamar untuk pergi mandi. Beruntung setiap kamar utama di rumah ini memiliki kamar mandi, jadi aksi jengkelnya sejak kemarin bisa terealisasi dengan sangat mudah.

*

“Wajahmu kenapa?” Tatiana terkekeh saat melihat wajah Geraldine yang tampak tidak keruan pagi ini.

Geraldine segera menghempaskan bokongnya di kursi sembari mengembus napas kesal. “Kamu tahu siapa yang sekarang ada di rumah eyang?”

Tatiana tampak mengerutkan kening. “Bukannya Mama kamu?”

Geraldine menggeleng kuat, “Suaminya.”

Mata Tatiana melebar untuk sesaat, lalu tersenyum maklum. Mulai mengerti kenapa sahabatnya itu terlihat uring-uringan. Karena sedikit banyak, ia tahu cerita Geraldine yang tidak menyukai ayah sambungnya. “Kok bisa?”

“Itulah! Mamaku tidak jadi datang, dan malah dia yang muncul. Dan kamu tahu apa yang lebih menyebalkan dari itu?”

Tatiana menggeleng, tetap memperhatikan wajah Geraldine yang nampak kesal. Tapi justru terlihat lucu, karena entah mengapa dalam ekspresi apa pun gadis ini terlihat begitu manis. Setidaknya, begitulah yang orang-orang sering katakan. Geraldine ini memiliki wajah imut dan juga terlihat awet muda. Berbeda dengan dirinya yang selalu bersikap sedikit dewasa. Jika saja postur tubuh mereka ditukar, Geraldine pasti akan dianggap anak SMA, atau SMP mungkin juga masih pantas.

“Dia tinggal di rumah eyang, Na! Menyebalkan bukan?”

Tatiana mengangkat alis, “Sungguh?”

“Iya, Na. Aku tidak suka itu.”

“Alasannya dia tinggal di sini?”

“Kata Mama dia ada kerjaan di sini, selama tiga bulan. Dan karena itu ….” Geraldine mengembus napasnya kesal, memilih untuk tidak melanjutkan kalimat yang terasa menyebalkan, karena wajah Amran dengan senyuman miring selalu saja muncul di depan matanya.

“Sabar, nanti cepat tua kamu, marah-marah terus!”

“Kamu tidak mengerti possisi aku sih, Na!”

“Iya,” ujar Tatiana sabar untuk menyudahi kejengkelan Geraldine. Mereka bersahabat semenjak masuk ke perguruan tinggi yang sama. Dan masih bertahan sampai saat ini mungkin karena satu sama lain saling mengerti. Tatiana memang selalu bisa mengimbangi Geraldine, yang seringnya keras kepala dan mau menang sendiri. Sering memandang kehidupan dengan cara yang buruk. Sementara Geraldine yang juga bisa mengimbangi Tatiana, tidak mengatainya sok bijak dan juga kata menyakitkan lainnya, saat gadis itu sedang berbicara dengan gayanya yang dewasa.

Berasamaan dengan hening yang cukup lama, lonceng di atas pintu masuk berdenting. Memberi isyarat jika ada seorang pelanggan yang masuk.

Geraldine siap berdiri untuk menyambut pelanggan, namun Tatiana melarangnya karena mood gadis itu sedang tidak baik. Jangan sampai pelanggan kabur karena nada ketus yang bisa saja tanpa sengaja terlontar dari bibir tipis itu.

Namun saat sudah berjalan mendekat pada sosok laki-laki yang kini mengedar pandang untuk mencari bunga. Sosok Tatiana malah seperti terpaku di tempatnya. Apalagi saat sosok dengan lesung pipi itu menoleh, memberikan senyuman paling menawan yang pernah Tatiana temukan. Gadis itu sepertinya nyaris meleleh saat itu juga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel