Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

HAPPY READING

_________________

Tiga bulan berlalu sejak hari pertama Reinara mengetuk pintu rumah Sofia dengan keputusasaan ingin berubah. Sejak saat itu hidupnya mengalami perubahan dari hari ke hari, lalu membentuk Reinara yang baru.

Setiap hari, sepulang kerja dari rumah sakit, ia menyempatkan diri ke salon langganan. Creambath, hair mask, blow styling, dan trimming setiap dua minggu. Rambutnya kini tak lagi digelung sembarangan, tapi selalu tampak sehat dan mengilap, jatuh dengan rapi di bahu. Lembut saat disentuh, wangi samar saat ditiup angin.

Kulit wajah juga ikut berubah—tidak lagi kusam, tidak lagi penuh flek akibat stres dan kurang tidur. Serangkaian treatment dari klinik kecantikan, perawatan mingguan dan skincare rutin dari brand high-end, semuanya mulai menampakkan hasil. Sekarang, ia tak butuh foundation tebal untuk terlihat segar. Cukup sentuhan tipis blush, alis terbingkai rapi, dan lipstik nude yang elegan.

Pakaian pun bukan lagi asal comot. Tidak ada lagi cardigan lusuh atau celana kerja kebesaran. Kini ia tahu mana warna yang membuat kulitnya tampak cerah, mana potongan yang mempertegas postur tubuhnya. Gaya old money yang diajarkan Sofia: netral, klasik, timeless. Dress A-line, blouse satin, wide-leg pants yang membuatnya terlihat effortless namun tetap profesional.

Bahkan parfumnya kini tak lagi aroma seadanya. Ia memilih aroma musk dan floral high-end, yang tahan lama, meninggalkan jejak samar setiap kali ia berjalan melewati lorong rumah sakit.

Pagi itu, Reinara berdiri di depan cermin panjang kamarnya. Ia mengenakan blouse putih bersih yang dimasukkan ke rok pensil nude, sepatu kitten heels warna senada, dan tas berstruktur kecil yang menggantung di tangan. Rambutnya di-blow ringan, bergelombang alami. Wajahnya hanya dipoles ringan, tapi cukup untuk membuatnya terlihat hidup.

Ia menatap pantulan dirinya perlahan. Bukan lagi Reinara yang dulu. Bukan wanita yang dilihat Jordan dengan tatapan acuh. Bukan wanita yang dianggap “terlalu biasa”.

Kini, ada ketenangan dalam hidupnya. Dan dia penuh percaya diri setiap langkahnya. Dan ia tidak tergesa-gesa lagi. Ia menikmati setiap proses—setiap gerakan, setiap langkah, setiap detik saat ia memperlakukan dirinya dengan penghargaan.

Di rumah sakit, beberapa rekan kerja mulai memperhatikannya. Suster-suster muda bertanya jenis lipstik yang dia gunakan. Dokter jaga lain menyadari perubahan aura yang dia bawa.

Bahkan kepala bagian yang selama ini hanya menyapa formal, kini terlihat lebih ramah.

“Dr. Reinara, kamu makin glowing akhir-akhir ini,” ucapnya pagi itu.

“Terima kasih, Dok,” jawab Reinara dengan senyum kecil. Bukan malu, tapi sadar. Ia memang sedang bersinar.

Ini bukan tentang balas dendam lagi. Ini tentang mengenal dirinya sendiri. Dan siapa tahu, saat ia berani menerima dirinya, dunia mulai melihatnya dengan cara yang berbeda pula.

___________

Hari ini Reinara ada kegiatan acara amal untuk anak-anak penderita kanker yang diadakan di sebuah ballroom hotel bintang lima di Jakarta. Karpet merah terbentang, para tamu berdatangan dengan busana formal, para awak media sudah menyiapkan kamera dan mikrofon.

Reinara menatap bayangan dirinya di kaca rias backstage ballroom, satu menit sebelum naik ke panggung.

Rambutnya ditata elegan, gaun satin olive membalut tubuh rampingnya dengan potongan yang anggun. Riasan wajahnya sempurna, tapi tetap alami. Kalem. Rapi. Penuh kendali. Tapi di balik ketenangan itu, jantungnya berdegup cepat.

Dia tahu Jordan Striker adalah pemilik yayasan ini. Dia tahu, pria itu akan hadir malam ini.

Dan dia tahu, inilah panggungnya untuk mencuri perhatian Jordan.

“Dokter Rei,” suara staff membuyarkan lamunannya. “Kamu siap?”

Reinara tersenyum kecil. “Iya siap.”

Langkah kakinya mantap. Saat nama Reinara dipanggil oleh pembawa acara, dia naik ke atas panggung dengan tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Dan di tengah-tengah sorotan lampu dia melihatnya. Jordan. Berdiri di barisan kursi VIP, mengenakan jas abu gelap, dasi hitam, dan wajah penuh perhatian.

Tatapan mereka bertemu. Reinara menahan napas sejenak, tapi tidak goyah.

“Selamat malam, Bapak, Ibu sekalian,” ucapnya dengan suara bulat dan jernih. “Izinkan saya memperkenalkan diri, saya dr. Reinara Iskandar, spesialis anak dari Rumah Sakit Siloam, dan malam ini saya berdiri di sini sebagai salah satu pendukung dan pelaksana program pendampingan psikologis untuk anak-anak penderita kanker.”

“Saya berada di sini bukan hanya sebagai dokter anak,” suara Reinara terdengar jelas, “tapi sebagai seseorang yang menyaksikan betapa besar perjuangan anak-anak ini melawan rasa sakit. Mereka mengajarkan kita bahwa harapan itu nyata, bahkan di tubuh sekecil itu.”

Jordan tidak mengalihkan pandangan. Bahkan ketika ia seharusnya sibuk berbincang dengan tamu penting di sekitarnya, matanya hanya terpaku pada satu titik: wanita yang dulu ia tolak mentah-mentah. Yang katanya terlalu biasa.

Kini nyaris tak bisa diabaikan. Reinara bicara dengan penuh empati, menjelaskan pendekatan medis, pentingnya dukungan emosional pada anak, dan betapa mereka—dokter, yayasan, keluarga—harus menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Ia berbicara bukan hanya sebagai dokter, tapi sebagai manusia yang mengerti luka.

Tepuk tangan menggema saat ia menutup pidatonya. Kamera menyorot wajahnya, para undangan tersenyum dan mengangguk penuh apresiasi. Tapi hanya satu sorot mata yang ia cari. Dan saat ia melangkah turun dari panggung Jordan sudah berdiri menunggunya.

.

Setelah acara selesai, Reinara turun dari panggung, berjalan perlahan menyapa beberapa undangan, senyumnya terjaga, sikapnya ramah tapi terukur. Jordan menunggu waktu yang pas, lalu akhirnya melangkah mendekat.

“Dr. Reinara Iskandar?” sapanya.

Reinara menoleh. Ada jeda satu detik. Tapi senyumnya tetap sopan.

“Selamat malam tuan Striker,” jawabnya. “Senang bertemu Anda lagi.”

Jordan terdiam sejenak. “Apa kabar dokter?”

“Baik.”

“Saya nyaris tak mengenali kamu.”

Reinara mengangguk ringan, nada suaranya tenang. “Tiga bulan bisa mengubah banyak hal.”

Jordan menatapnya lama. Gaunnya. Sikapnya. Cara dia menatap balik tanpa ragu. Ini bukan wanita ‘biasa dan kaku’ yang ia temui di Le Quartier. Ini adalah wanita yang tahu siapa dirinya, dan tidak butuh validasi siapa pun.

“Acara ini kamu yang inisiasi?” tanya Jordan.

“Saya hanya bagian dari tim,” jawab Reinara. “Tapi sebagai dokter, saya diminta mewakili rumah sakit untuk berbicara di acara ini.”

Jordan mengangguk. “Pidato kamu sangat baik.”

Reinara tersenyum tipis. “Terima kasih.”

Ada ketegasan dalam suaranya yang membuat Jordan mengangkat dagu sedikit. Kagum, tapi juga terintimidasi. Jordan memandangi wanita di depannya sekali lagi. Dan dalam diam, untuk pertama kalinya, dia bertanya pada dirinya sendiri: Bagaimana saya bisa melewatkan pesona ini dulu?

“Terima kasih sudah berpartisipasi di acara ini,” kata Jordan, matanya menatap Reinara lebih lama dari biasanya.

“Sama-sama, saya juga berterima kasih karena sudah diundang diacara ini.”

Mata mereka saling bertaut. Ada keheningan singkat. Tapi bukan canggung—lebih seperti saling memindai satu sama lain, tanpa kata.

“Kalau kamu tidak keberatan,” Jordan membuka kembali percakapan, “Kamu mau makan di meja saya?”

Reinara menatapnya sebentar, sebelum menjawab dengan tenang, “Tentu.”

Beberapa menit kemudian, Reinara duduk di kursi barisan VIP, disandingkan dengan tokoh-tokoh penting dari yayasan, dari pejabat kementerian hingga investor privat. Jordan memperkenalkan Reinara sebagai “dokter spesialis anak.” Dan Reinara tampil tenang, penuh keanggunan, penuh percaya diri dan menjawab pertanyaan para tamu dengan sopan namun tak kehilangan bobot profesionalismenya.

Sampai akhirnya, Jordan mencondongkan tubuh sedikit, setengah berbisik, separuh serius.

“Kalau boleh tahu, bagaimana kamu bisa berubah sejauh ini?” tanyanya. “Dulu waktu kita bertemu, kamu bukan seperti ini.”

Reinara menoleh, alisnya terangkat sedikit, tapi senyumnya tidak berubah.

“Dulu,” katanya lembut, “saya tidak tahu bahwa saya akan bertemu dengan Jordan Striker. Kalau tahu dia adalah Jordan Striker mungkin saya akan ke salon dulu sebelum bertemu.”

Jordan terkekeh pelan, menatapnya dengan campuran geli dan kagum.

“Jadi kamu menyesal tampil seadanya waktu itu?”

Reinara menggeleng, tenang. “Tidak. Karena waktu itu saya menjadi diri saya yang paling jujur. Tapi sekarang, saya memilih untuk menjadi diri saya yang paling kuat.”

Jordan mengangguk pelan. Matanya menatap lebih dalam. Seolah pria itu mulai menyadari wanita di hadapannya bukan sedang berubah untuknya. Tapi sedang menjadi utuh untuk dirinya sendiri.

Di bawah lampu gantung kristal dan alunan musik klasik lembut, meja VIP menjadi saksi dialog pribadi antara dua orang yang perlahan mulai saling membuka.

Jordan duduk bersandar ringan, memperhatikan Reinara dari seberang meja. Gaun satin yang membingkai tubuh Reinara terlihat elegan, tapi bukan itu yang membuat Jordan terpaku. Tapi aromanya. Lembut, floral, dengan sentuhan manis yang tinggal lama di udara. Ada jejak sensual yang tak membebani. Tanpa sadar, Jordan memejamkan mata sejenak saat menghirupnya.

“Parfum apa yang kamu pakai?” Tanya Jordan

Reinara menoleh, bibirnya melengkung kecil. “Dior. Jadore.”

Jordan mengangguk sekali. Hening sesaat.

Reinara menatap Jordan, “Kenapa?”

Jordan menarik napas, “Aromanya sama persis seperti milik mantan saya.”

Reinara sedikit terkejut. Tapi ia tetap tenang. “Kamu suka parfum itu?”

Jordan menatap ke gelas wine di depannya. “Suka. Karena dulu begitu mencium aroma itu, saya merasa seperti pulang ke Melbourne.”

Reinara menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kamu belum move on?”

Jordan tersenyum, akhirnya dia mengangguk. “Jujur belum.”

“Kenapa?”

“Sepanjang hidup saya, dia satu-satunya wanita yang ingin saya nikahi.”

Reinara mengangguk pelan. Tidak berkomentar. Tapi matanya tetap menatap Jordan, penuh pengertian.

“Dia pasti sangat spesial buat kamu,” ujar Reinara, dia tidak tersinggung kalau Jordan belum move on dari mantannya.

Jordan tersenyum tipis.

“Apa yang buat dia special?” Tanya Reinara penasaran.

“Kamu mau tahu?”

“Tentu.”

“Dia, lembut, tenang, cantik, punya aura keibuan. Bicaranya selalu pelan, tapi membuat saya diam dan mendengar. Dan dia punya seorang anak perempuan namanya Hana. Anak itu memanggil saya ‘Daddy’,” ucapnya, suara Jordan melembut.

“Hana dekat sekali dengan saya, saya sudah menganggapnya anak. Lebih dari yang saya sadari, Hana lah yang membuat paling sulit saya lupakan.”

Reinara menatap Jordan lama. Suasana ballroom tetap ramai. Musik klasik masih mengalun pelan. Namun di antara ratusan tamu dengan perbincangan formal, hanya satu meja yang terasa seolah dunia mengecil di sekitarnya.

Jordan menyesap wine-nya perlahan, sementara Reinara menatapnya, pikirannya berjalan jauh atas cerita tentang wanita masa lalu Jordan—tentang anak bernama Hana, dan tentang luka yang masih membekas.

“Saya boleh bertanya sesuatu?” suara Reinara terdengar lembut, hati-hati.

Jordan menoleh, memberi anggukan kecil.

“Wanita yang kamu ceritakan,” Reinara menatap mata Jordan dengan tenang. “Dia janda anak satu?”

Jordan menggeleng perlahan. “Tidak. Dia belum menikah.”

Reinara memiringkan kepalanya sedikit, bingung. “Belum menikah, tapi punya anak?”

Jordan menarik napas. “Iya. Dia kabur dari pacarnya dulu saat sedang hamil. Lelaki itu—Jayden—sepupu saya sendiri. Wanita itu minta bantuan saya, dan saya—saya bantu dia melarikan diri.”

Wajah Reinara sedikit terkejut. Tapi tidak menghakimi. Hanya diam mendengarkan.

Jordan melanjutkan, “Waktu itu dia tinggal di apartemen saya di Singapur beberapa bulan, lalu pindah ke Melbourne di rumah saya. Saya dekat dengan Hana sejak bayi. Dan entah kenapa, kedekatan itu yang menumbuhkan rasa. Tapi ya, semua itu sudah jadi masa lalu.”

Ada jeda. Suara di sekitar mereka tetap riuh, tapi suasana di antara mereka berdua seakan berhenti di satu titik.

Lalu Jordan menoleh ke arah Reinara, matanya tajam namun mengandung kelelahan.

“Kisahnya panjang,” ucapnya pelan. “Dan tidak mudah dijelaskan di tempat seperti ini. Terlalu banyak orang. Terlalu ramai.”

Reinara mengangguk mengerti, tidak mendesak. “Tak apa. Terima kasih karena sudah mau terbuka dengan saya.”

Jordan menatapnya lama. Tatapan itu berbeda dari tatapan-tatapan sebelumnya. Bukan sekadar menilai. Tapi seolah mulai menghargai.

“Rasanya mudah bicara dengan kamu,” gumam Jordan, lebih ke dirinya sendiri.

Reinara hanya tersenyum kecil. Bukan untuk memikat. Tapi untuk menenangkan. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Jordan merasa sedikit lebih ringan.

Dan dalam sorot itu, Reinara tahu—dia tidak akan memaksa masuk ke masa lalu pria ini. Tapi jika ia diizinkan ia akan duduk diam di sisi lukanya, dan menemaninya hingga sembuh.

___________

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel