Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

BAB 4

HAPPY READING

___________________

Reinara duduk diam di dalam mobilnya, memandangi pantulan wajahnya di kaca spion. Tidak ada make up. Rambut dikuncir seadanya. Wajah lelah setelah shift panjang di rumah sakit. Tatapan kosong. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

Kata-kata Jordan masih terngiang:

“Kamu terlalu kaku. Tidak menarik. Terlalu biasa buat saya. Kamu bukan tipe saya.”

Reinara menatap wajahnya sendiri lagi. Memangnya saya seburuk itu?

Dengan napas berat, ia meraih ponsel. Ia baru saja menelepon sahabat lamanya, Sofia—seorang rekan seangkatannya waktu kuliah kedokteran dulu. Sama-sama dokter, tapi nasib mereka seperti langit dan bumi.

Sofia bekerja di klinik kecantikan elite. Jadwalnya fleksibel. Penampilannya tak pernah mengecewakan. Dan yang paling membuat iri semua wanita, dia menikah dengan pengusaha sukses yang sangat mencintainya.

Mereka sudah janjian untuk bertemu di rumah Sofia—tempat yang selama ini dia tinggal mirip villa di pinggiran kota ketimbang rumah tinggal biasa. Tak butuh waktu lama, mereka duduk di ruang tamu megah. Di sudut ruangan, ada mainan anak berserakan. Di rak buku, ada potret keluarga dengan senyum yang sempurna.

Sofia memperhatikan sahabatnya sejenak. “Kamu kelihatan capek, Rei,” ucap Sofia.

Reinara tersenyum pahit. “Saya memang capek, Sof, biar kerja tau sendiri kerja di rumah sakit gimana. Tapi bukan cuma soal kerja aja sih, banyak hal, tekanan, stress juga.”

Sofia diam, menunggu. Reinara memandangi cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, tapi aroma melatinya tetap terasa menenangkan. Sofia duduk di sebelahnya, menunggu dengan sabar Reinara mengeluarkan uneg-uneg diisi kepalanya.

“Bagaimana hubungan kamu dengan Kai, Rei?” Tanya Sofia karena setahunya Reinara pernah menjalin hubungan dengan Kai mereka pacaran bertahun-tahun.

“Dia sudah menikah dengan selingkuhannya, Sof,” ucap Reinara akhirnya, suaranya pelan namun jelas.

Sofia menoleh, tidak menyela, jujur terkejut atas pengakuan Reinara.

“Kami sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Saya pikir dia akan jadi suami saya. Orangtua saya juga percaya itu. Tapi dia selingkuh dengan rekan satu tempat kerjanya. Dan dia menikahi wanita itu.”

Suara Reinara mulai bergetar. Tapi tidak ada air mata. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis.

“Waktu itu saya benar-benar merasa nggak berharga. Saya dokter. Saya kerja keras. Saya setia. Tapi tetap kalah dengan selingkuhannya.”

Sofia meremas pelan tangannya. “Itu bukan karena kamu kurang, Rei. Tapi karena dia yang salah pilih.”

Reinara tersenyum tipis. “Lucunya, setelah semua itu, justru keluarga saya makin keras mendesak saya untuk menikah. Dibilang, saya terlalu milih. Terlalu cuek. Dibilang saya akan selamanya sendiri kalau terus begini.”

“Kamu bukan tidak mau menikah,” tebak Sofia.

Reinara mengangguk. “Cuma belum ketemu orang yang tepat.”

Lalu ia menarik napas dalam, seolah bersiap membuka lembaran baru.

“Kamu pasti ada cerita lain ke sini.”

Reinara mengangguk, “Kemarin saya dikenalkan dengan seseorang. Namanya Jordan Striker. Dia saudara dari sahabat adik saya. Seorang pengusaha sukses. Gagal menikah juga. Dan dia jauh, jauh lebih high dari Kai.”

Sofia menyipitkan mata, tertarik. “Lalu?”

“Kami makan siang bersama. Ngobrol. Tapi dia jujur katanya saya terlalu biasa untuk menjadi pasangan dia. Dia mengatakan saya tidak cantik. Terlalu kaku. Dia bilang jujur nggak tertarik dengan saya. Dan dia mengatakan kepada saya, jangan berharap lebih kepadanya.”

Sofia mengerutkan kening. “Lalu kenapa kamu masih memikirkannya?”

Reinara menatap sahabatnya, dalam. “Karena saya ingin membuktikan sesuatu. Bukan ke dia. Tapi ke semua orang. Termasuk diri saya sendiri.”

Reinara menunduk, “Saya bilang ke dia, saya tidak butuh cintanya. Saya hanya butuh nama belakangnya. Demi harga dirinya. Dan saya bilang, izinkan saya berubah. Menjadi wanita yang bisa membuatnya jatuh cinta.”

Sofia terdiam lama, lalu berkata pelan, “Jadi ini bukan soal cinta?”

“Enggak,” jawab Reinara jujur. “Ini soal pembuktian saya untuk Jordan.”

Sofia mengangguk. “Kalau itu tujuanmu, saya akan bantu. Tapi janji satu hal.”

“Apa?”

“Jangan kehilangan dirimu sendiri dalam proses ini. Karena kamu bukan wanita biasa, Rei. Kamu hanya belum dilihat dengan cara yang benar.”

Untuk pertama kalinya, Reinara merasa tidak sendirian.

_____________

Pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Reinara melihat bayangannya di cermin dan bertanya:

“Apa saya bisa jadi versi terbaik dari diriku sendiri?”

Sofia berdiri di belakangnya, tersenyum lembut. “Kamu bisa. Tapi kita mulai pelan-pelan.”

Hari itu, rumah Sofia berubah menjadi ruang transformasi pribadi. Tidak ada salon mewah, tidak ada make-up artist profesional. Hanya dua sahabat yang duduk di ruang ganti, dengan tumpukan baju, kosmetik, dan semangat baru.

“Pertama, kita ubah cara kamu jalan,” kata Sofia. “Kamu selama ini terlalu cepat, terlalu tergesa. Pelan. Elegan. Bahu rileks. Punggung tegak.”

Sofia berjalan di depan, penuh percaya diri. Reinara meniru, agak kikuk di awal, tapi Sofia mengulanginya dengan sabar.

“Langkah yang baik itu bukan langkah yang sempurna,” ucap Sofia, “tapi langkah yang kamu sadari. Orang yang tahu dia dilihat, akan membawa diri berbeda.”

Reinara mengangguk. Ia belajar berjalan ulang—bukan dengan kaki, tapi dengan sikap.

Setelah itu, Sofia membawanya ke ruang pakaian. “Sekarang, kita bahas gaya berpakaian kamu.”

Reinara duduk di depan tumpukan dress, blouse, celana kulot, dan rok midi. Semuanya pilihan Sofia—warna netral, potongan anggun, dan bahan lembut yang jatuhnya pas di tubuh.

“Kamu dokter. Kamu pintar. Kamu elegan. Tapi semua itu terkubur di balik cardigan kuno dan sepatu flat yang kusam.”

Reinara tertawa kecil. “Kamu sadis.”

“Tapi jujur,” sahut Sofia sambil menyodorkan dress navy dengan detail sederhana di leher. “Coba yang ini.”

Reinara mencoba. Lalu berdiri di depan cermin. Ia terdiam.

Rambutnya diikat rendah, wajahnya diberi sedikit riasan natural oleh Sofia. Gaun itu membingkai tubuhnya dengan sopan tapi tegas. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat ‘dr. Reinara yang lelah’. Tapi ‘Reinara yang siap dilihat’.

“Kamu cantik, Rei,” kata Sofia pelan. “Bukan karena bajunya. Tapi karena kamu mulai melihat dirimu berbeda.”

Reinara menghela napas, suaranya pelan. “Saya takut.”

Sofia menoleh. “Takut apa?”

“Takut nggak disukai Jordan.”

Sofia mendekat dan merapikan kerah dress Reinara dengan lembut. “Kita nggak ubah kamu supaya disukai Jordan. Kita ubah kamu, supaya kamu sadar kamu pantas disukai siapa pun.”

Reinara menatap bayangan dirinya sekali lagi. Untuk pertama kalinya, ia melihat harapan di mata sendiri.

Perjalanan ini baru dimulai. Tapi langkah pertamanya, sudah diambil.

Hari berikutnya Sofia membawa Reinara ke butik langganannya di kawasan elite Senopati. Interiornya dipenuhi aksen emas putih dan lampu kristal, seolah setiap helai pakaian di dalamnya memang ditakdirkan untuk para istri pengusaha sukses.

“Ini style yang akan kamu pakai nanti bukan cuma soal cantik,” jelas Sofia sambil memilah gaun dengan ujung jarinya yang terawat. “Kita akan masuk ke gaya old money—tenang, rapi, elegan. Tapi tetap mencolok dengan cara yang halus.”

Reinara mengangguk pelan, mengikuti Sofia menjelajahi deretan blazer tweed, silk blouse, celana palazzo, dan midi dress dari koleksi terbatas.

“Yang kamu butuh,” lanjut Sofia, “adalah pakaian yang tidak norak tapi tetap meninggalkan kesan. Pri seperti Jordan tidak suka sesuatu yang terlalu nyentrik. Dia akan terpikat pada kemewahan yang lembut. Itu yang bikin orang seperti kita jadi terlihat ‘mahal’. Saya tahu selera pengusaha seperti apa. Jadi kamu ikut saja saran saya”

Setelah belanja pakaian, mereka menuju konter kosmetik high-end. Chanel. Dior. YSL. Satu per satu, Sofia mengenalkan brand dan fungsi setiap produk.

“Foundation itu bukan untuk menutupi, tapi meratakan. Blush bukan untuk warna pipi, tapi untuk hidupkan ekspresi. Dan lipstick pilih warna yang memberi rasa hangat, bukan sekadar merah mencolok,” Sofia mengarahkan dengan sabar.

Sore itu di rumah, Sofia mulai mengajarkan Reinara berhias wajah dari awal—memperkenalkan pentingnya skin prep, blending yang halus, dan mengenali bentuk wajah sendiri.

“Tanganmu harus lembut, Rei. Jangan buru-buru. Makeup itu bukan kamuflase. Ini tentang cara kamu memperlakukan diri sendiri dengan penghargaan.”

Setelah sesi makeup, Sofia duduk di hadapan Reinara.

“Sekarang soal feminine energy,” katanya. “Kita ini wanita. Kita kuat, iya. Tapi bukan berarti kita harus selalu keras sama diri sendiri.”

Reinara menatap sahabatnya. Sofia tampak anggun, tapi tidak pernah terlihat lemah.

“Feminin itu bukan berarti lemah. Feminin itu tahu kapan harus diam, kapan bicara. Kapan harus memegang tangan seseorang, dan kapan harus melepasnya. Kita punya kekuatan yang tidak terlihat. Dan pria seperti Jordan tertarik pada kekuatan yang tidak ditunjukkan secara frontal.”

Reinara mulai mencatat dalam hatinya. Ini bukan tentang menjadi orang lain. Ini tentang mengenali sisi yang selama ini tidak pernah ia izinkan muncul.

Sofia berdiri, mengambil dua piring kecil, satu sendok, dan satu gelas wine kosong. Diletakkannya di atas meja.

“Kita latihan table manner,” ucapnya. “Karena kamu akan duduk di meja yang dikelilingi orang penting. Dan kamu harus bisa bertahan tanpa terlihat gugup.”

Sambil menyusun alat makan, Sofia berkata pelan namun tegas:

“Kamu dokter. Kamu hebat. Tapi di dunia Jordan, itu bukan nilai utama. Di dunia mereka, wanita yang dicari bukan yang kuat secara akademis atau kerja keras sampai tengah malam.”

Reinara menatapnya diam-diam. Tahu, Sofia tidak sedang menjatuhkan, tapi memperingatkan.

“Orang seperti Jordan punya semuanya, uang, materi, power kuat. Yang mereka cari bukan rekan kerja, tapi wanita cantik yang bisa membuatnya ingin pulang ke rumah. Wanita yang bisa dibanggakan di depan relasi, dan tetap meneduhkan saat sendirian.”

Sofia mendekat, menatapnya dalam.

“Jadi kamu mau jadi wanita biasa yang pintar, atau jadi wanita luar biasa yang dilihat dan dihargai oleh pria sekelas Jordan?”

Reinara menatap dirinya sendiri di cermin. Kali ini ia belum sempurna, tapi ia sudah bukan yang dulu.

Dan dari tatapan matanya, tekad itu masih menyala.

_________________

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel