BAB 6
BAB 6
HAPPY READING
___________
Acara amal akhirnya selesai. Para tamu mulai meninggalkan ballroom, satu per satu. Pelayan merapikan gelas-gelas kristal dan mematikan satu per satu lampu gantung. Reinara berdiri di dekat pintu keluar, menyapa beberapa panitia dan staf medis yang ia kenal. Di sela-sela itu, Jordan mendekati Reinara kembali, kali ini tanpa formalitas.
“Reinara,” ucapnya sambil mengeluarkan ponsel ke saku jas. “Boleh minta kontak kamu?”
Reinara tidak terlihat terkejut. Ia tersenyum, sopan dan yakin. “Tentu.”
Ia mengambil ponselnya dan mengetik cepat, lalu menyerahkan layar itu pada Jordan.
Nomornya sudah tertulis di sana. Tanpa basa-basi. Tanpa kode. Langsung. Jelas. Jordan mengetuk ‘simpan’ dan mengangguk. “Terima kasih.”
Beberapa menit kemudian, mereka berjalan keluar ballroom bersama. Suasana sudah sepi. Langkah mereka bergema di koridor panjang hotel mewah itu, menuju lift yang akan membawa mereka ke basement.
“Pulang pakai apa?” tanya Jordan sambil melirik ke arah Reinara.
“Saya bawa mobil sendiri,” jawab Reinara. “Parkir di basement B2.”
“Pas. Saya juga.”
Lift berdenting terbuka. Mereka masuk bersama. Hanya berdua. Tapi tidak lama kemudian. Seketika, segerombolan tamu lain masuk juga. Tamu-tamu yang baru saja meninggalkan ballroom. Beberapa wanita dengan gaun besar, pria berjas. Percakapan ramai. Bau parfum bercampur. Lift menjadi penuh sesak. Secara refleks, Jordan memutar tubuhnya.
Jordan berdiri di depan Reinara, membentuk pagar pelindung dengan tubuhnya agar wanita itu tidak terdorong atau terjepit. Tangannya menyentuh dinding lift di kanan dan kiri tubuh Reinara. Kini mereka berhadapan. Sangat dekat. Napas mereka hanya berselang satu tarikan. Mata bertemu mata.
Tak ada yang bicara. Lalu pelan, suara Jordan terdengar, rendah dan penuh perhatian.
“Kamu nggak apa-apa?”
Reinara menatapnya, menahan degup jantungnya yang tak biasa. “Nggak apa-apa.”
Mata Jordan menatapnya dalam. Sorotnya berbeda. Tidak lagi menilai. Tidak lagi dingin. Tapi hangat. Terlalu hangat.
Sesaat tak ada suara selain denting lantai lift yang berganti angka. Dan di antara sesak dan diam itu,
sesuatu mulai berubah. Bukan di luar. Tapi di antara dua hati yang diam-diam mulai saling membuka ruang.
Satu per satu orang keluar dari lift. Suara sepatu beradu dengan lantai marmer, sisa obrolan samar memudar. Hingga akhirnya tinggal dua orang. Jordan dan Reinara. Denting terakhir terdengar. Pintu terbuka ke lantai basement B2. Jordan menarik tubuhnya perlahan, memberi ruang pada Reinara untuk keluar terlebih dahulu.
Mereka melangkah beriringan, melewati deretan mobil mewah yang berjejer rapi. Jordan tidak banyak bicara. Tapi pandangannya tak lepas dari langkah Reinara. Gaun olive-nya tergerai elegan, sepatu heelsnya berbunyi pelan, dan tubuhnya tetap tegap bahkan setelah acara panjang yang melelahkan.
Reinara berhenti di dekat sebuah BMW warna putih mutiara. Mobil itu terparkir tidak jauh dari Audi milik Jordan.
“Terima kasih,” ucap Reinara, menatap Jordan dengan mata yang tetap tenang.
Jordan membalas dengan anggukan kecil. “Sudah seharusnya. Malam ini kamu membuat banyak orang bangga. Termasuk saya.”
Reinara tersenyum, tapi tidak menjawab. Mata mereka bertemu lagi. Namun kali ini... tidak ada gangguan. Tidak ada kamera. Tidak ada suara musik. Hanya sepi. Dan dua pasang mata yang saling membaca. Untuk sejenak, waktu seperti diam di antara mereka. Tapi keduanya cukup sadar diri. Tidak ada yang memaksa untuk memperpanjang momen itu.
Akhirnya Reinara membuka pintu mobilnya. “Hati-hati di jalan, Jordan.”
“Kamu juga.” Mereka berpisah malam itu.
Tapi tidak benar-benar berpisah. Karena saat Jordan masuk ke mobilnya, duduk dan menyalakan mesin, pikirannya tidak bisa berhenti mengulang. Suara Reinara. Tatapan matanya. Dan bagaimana tubuh wanita itu terasa pas saat dia lindungi tadi di dalam lift. Dia menatap ke cermin spion, memperhatikan Reinara mengemudi pergi lebih dulu. Lalu matanya menyipit.
“Siapa sebenarnya kamu, Reinara Iskandar?”
Dalam diam, Jordan membuka ponselnya. Jarinya menari cepat.
Mulai malam ini, dia akan melakukan yang terbaik yang dia bisa: Menelusuri, mengamati, dan mengenali.
Karena Jordan tahu... wanita ini bukan sekadar ‘wanita biasa’ yang dulu ia tolak. Dan jika hatinya mulai goyah, ia perlu lebih dari rasa—ia butuh kepastian siapa yang kini perlahan mengisi pikirannya.
_____________
Sudah tiga hari sejak acara amal itu berakhir, tapi bayangan Reinara masih belum bisa hilang dari kepala Jordan. Dia duduk di ruang kerjanya, laptop terbuka, kopi tersentuh setengah. Namun pikirannya tidak ada di layar. Masih di ballroom malam itu. Masih pada Reinara yang berdiri dengan gaun ivory, menyampaikan pidatonya dengan tenang dan penuh empati.
Jordan menarik napas pelan. Lalu, untuk pertama kalinya sejak pertemuan itu dia membuka laman pencarian, dan mengetik:
“dr. Reinara Iskandara Sp.A”
Dalam hitungan detik, sederet tautan muncul. Profil rumah sakit. Artikel ilmiah. Kegiatan sosial. Foto-foto seminar kedokteran. Dokumentasi kerja sama dengan lembaga UNICEF. Bahkan ada satu wawancara podcast berjudul “Menjadi Dokter Anak: Bukan Sekadar Profesi.”
Jordan mengeklik satu per satu. Membaca, mendengarkan. Semakin dalam ia menggali, semakin dalam pula rasa kagumnya tumbuh. Reinara pernah menjadi relawan medis di Nusa Tenggara Timur. Dia membuat program imunisasi terpadu bersama tim kecil dari rumah sakit. Ia juga aktif dalam edukasi orang tua muda tentang pola makan balita. Komentar pasien di forum kesehatan penuh pujian tentang sikap lembut dan profesionalismenya.
Dan lebih dari itu semua: tidak ada satu pun yang ia lakukan demi pencitraan. Semuanya natural. Tidak berlebihan. Tidak dibuat-buat. Jordan bersandar di kursinya. Mencoba memahami. Wanita yang ia anggap terlalu biasa dan kaku ternyata sudah luar biasa bahkan sebelum ia sempat benar-benar mengenalnya. Ia mengingat kembali saat Reinara berkata:
“Saya tidak butuh cintamu. Saya hanya butuh nama belakangmu. Untuk keluarga saya. Untuk menyelamatkan harga diri saya.”
Sekarang, kalimat itu terdengar berbeda. Bukan tuntutan. Tapi keberanian. Dan kalimat terakhirnya saat itu.
“Izinkan saya mengubah diri saya. Saya akan membuat kamu jatuh cinta.”
Jordan memejamkan mata sejenak. Apakah ini... permulaannya? Apakah dia mulai merasakan itu sekarang?
Ia menoleh ke arah jendela. Dunia di luar sama seperti biasa. Tapi dunia dalam dirinya, sudah mulai berubah. Dan nama Reinara kini sudah tidak bisa ia hapus dari pikirannya.
____________
Hari itu kantor Jordan lengang. Beberapa staf sudah pulang lebih awal, tapi ia masih di ruangannya, memandangi kontak “Reinara Iskandar” yang kini sudah tersimpan di ponselnya.
Sudah dua hari sejak acara amal. Dua hari sejak dia menemukan sisi lain dari wanita itu. Dua hari sejak ia menyelam terlalu dalam dan tak bisa mengabaikan apa pun yang ia temukan. Kini, tidak ada alasan logis untuk tidak bertemu lagi. Dan, untuk pertama kalinya dia tidak mencari alasan.
Tangannya bergerak. Mengetik pelan.
Jordan Striker:
“Apakah kamu ada waktu akhir pekan ini? saya ingin bicara lebih banyak, kalau kamu berkenan.”
Pesan itu terkirim. Jordan menatapnya sejenak, seperti menunggu bom meledak. Tapi tidak ada rasa panik. Karena kali ini, ia tahu apa yang dia inginkan.
Tak butuh waktu lama. Notifikasi masuk.
Reinara: “Boleh. Sabtu sore? Saya free setelah jam 4.”
Jordan membaca pesan itu dengan senyum kecil yang nyaris tak ia sadari sendiri.
Jordan: “Jam 5, di Sofia?”
Reinara: “Ok.”
______________
Malam ini seperti biasa, Reinara turun ke bawah untuk makan malam bersama keluarga, udara Jakarta sedang sejuk karena sejak pagi hujan hingga sore. Kini di ruang makan di sana sudah ada Aster adiknya, dan kedua orang tuanya yang sedang menunggunya. Aroma sup bening dan ayam panggang menghangatkan suasana. Reinara duduk di samping Aster lalu berhadapan dengan kedua orang tuanya, mengenakan blus polos dan celana bahan. Wajahnya segar, rambutnya rapi, dan kulitnya tampak lebih bercahaya.
Namun bahkan sebelum sendok menyentuh mangkuk, ibunya sudah bicara lebih dulu.
“Reinara,” ucap sang ibu dengan nada lembut namun penuh arti. “Akhir-akhir ini kamu berubah ya?”
Reinara mengangkat wajah. “Berubah gimana, ma?” Tanya Reinara.
“Kamu mulai dandan, pulang kerja nggak kelihatan lelah seperti dulu, lebih segar. Lebih hidup.”
Ayahnya ikut menimpali, “Kita lihat kamu makin dewasa.”
Reinara hanya tersenyum kecil. Tapi dalam dadanya, ada tekanan familiar yang perlahan merayap naik.
“Jujur saja, Rei,” tanya sang ibu pelan, “kamu lagi dekat dengan seseorang?”
Reinara menggeleng. “Nggak, Ma. Belum,” ucap Reinara karena memang itulah kenyataanya.
Ibunya menatap lekat putri sulungnya, tak puas dengan jawaban itu. “Tapi kamu seperti orang yang sedang jatuh cinta,” ucap beliau lagi.
Reinara hanya menunduk, pura-pura tersenyum, padahal hatinya berdebar. Bukan karena senang. Tapi karena dia tahu arah percakapan ini.
“Kebetulan,” lanjut ibunya sambil meletakkan sendok, “teman Papa punya anak laki-laki, usianya sebaya kamu lebih tua tiga tahun dari kamu, sekitar empat puluhan. Namanya Arsen Airlangga. Dia dokter spesialis penyakit dalam. Sekarang tinggal dan praktik di Jerman. Minggu ini dia pulang ke Jakarta.”
Reinara menatap ibunya. Detak jantungnya terasa berat. Tapi ia tetap diam, mendengarkan.
“Mama pikir, kalian bisa saling kenal. Dia belum menikah juga. Dan sepadan dengan kamu,” ucap ibunya pelan, tapi tajam.
Tak ada permintaan. Tapi juga tak ada ruang untuk menolak. Reinara menatap ayahnya, berharap ada pembelaan.
Tapi pria itu hanya tersenyum tipis, berkata, “Kami tahu kamu bisa pilih sendiri. Tapi tidak ada salahnya membuka pintu kesempatan lain.”
Reinara menarik napas. Dalam. Sangat dalam. Lalu mengangguk kecil.
“Iya, Ma. Saya akan kenalan kalau memang dijadwalkan.”
Senyum ibunya melebar. “Bagus. Ibu yakin kamu akan cocok dengan Arsen.”
Tapi saat Reinara kembali menunduk menatap makanannya, hatinya tak sepenuhnya damai.
Karena ia tahu—perasaan itu sudah tumbuh di tempat lain. Bukan pada pria bernama Arsen, tapi pada seseorang yang dulu justru menolaknya.
Dan untuk pertama kalinya sejak perubahannya dimulai, Reinara mulai takut. Takut perasaannya datang terlalu cepat. Tapi juga takut—kalau Jordan tak benar-benar datang untuk tinggal.
_________
