BAB 3
BAB 3
HAPPY READING
_________________
Jordan duduk sendiri di Aroma Coffee kedai langganan yang letaknya tak jauh dari kantornya. Tangannya menggenggam cangkir kopi hitam yang aromanya lebih menenangkan daripada isinya. Di luar, langit mendung. Di dalam pikirannya—lebih berisik dari biasanya.
Kata-kata Reinara dari makan siang kemarin masih terngiang di telinganya:
“Izinkan saya mengubah diri saya sesuai tipemu. Saya akan membuat kamu jatuh cinta.”
Sebuah pernyataan yang seharusnya ia anggap angin lalu. Tapi kenyataannya, kalimat itu menghantam pikirannya tanpa henti.
Ia memutar-mutar cangkir kopinya, menatap ke luar jendela. Reinara memang terlalu biasa saat pertama kali ia lihat. Tidak ada yang menonjol. Terlalu sederhana. Terlalu polos. Tapi sekarang, ia sadar—di zaman seperti sekarang, mengubah penampilan itu bukan hal sulit.
Cantik itu bisa dibeli.
Datang ke klinik kecantikan, suntik sana-sini. Perawatan wajah rutin, skin booster, filler. Pergi ke salon untuk menyulap rambut menjadi lebih bercahaya, lebih berkelas. Belanja di butik, mengenakan pakaian yang mengikuti bentuk tubuh dengan elegan. Make up artist, pelatih public speaking, bahkan konsultan gaya hidup. Dan Reinara statusnya seorang dokter spesialis anak. Uangnya jelas bukan sedikit, dia bisa melakukan itu semua dengan uangnya.
Jordan mendadak berpikir, Kalau dia benar-benar serius berubah? Apakah dia bisa jadi wanita seperti yang dulu pernah dia dambakan?
Sebuah wajah muncul di kepalanya. Lauren. Cantik. Lembut. Dan penuh ketenangan. Jordan menyesap kopinya lagi, perlahan. Dalam hati, ia bertanya: Kalau Reinara berubah, jadi cantik, jadi anggun. Akankah aku jatuh cinta?
Belum sempat jawabannya terbentuk, suara familiar menyapa dari arah samping.
“Melamun aja”
Jordan menoleh. Di sana berdiri Damian, sahabat lamanya sejak kuliah. Santai, rapi, dan selalu tahu kapan harus datang. Mereka memang sudah janjian bertemu tadi sepulang kerja. Karena rumah Damian tidak jauh dari sini.
“Merenung, kenapa?” lanjut Damian, menarik kursi dan duduk di seberang Jordan.
“Hemmm, mau tau aja,” jawab Jordan pendek.
Damian tertawa pelan. “Dari tatapan kamu, sepertinya bukan klien yang bikin kamu pusing.”
Jordan tidak menjawab. Tapi sorot matanya cukup untuk membuat Damian menebak lebih jauh.
“Wanita?” Tanya Damian.
Jordan hanya mengangguk pelan.
“Lauren?”
Jordan menggeleng. “Seseorang yang dikenalkan Hazel.”
Damian mengangkat alis. “Wow. Jadi akhirnya kamu ketemu calon istri baru?”
Jordan menatap Damian sejenak, lalu bergumam, “Entahlah. Bukan siapa-siapa, hanya kenalan biasa, Dam. Wanita itu bukan tipe saya. Tapi dia bilang akan berubah jadi wanita tipe saya. Katanya, akan membuat saya jatuh cinta.”
Damian terkekeh. “Dan kamu penasaran?”
Jordan tidak menjawab, tapi dalam sorot matanya, Damian bisa membaca satu hal:
Jordan Striker, untuk pertama kalinya, tidak seyakinnya biasanya.
Jordan menatap kosong pada cangkir kopinya yang sudah separuh dingin, lalu bersandar ke sandaran kursi. Damian di seberangnya menatapnya dengan penasaran—ia tahu, kalau sahabatnya ini membuka pembicaraan soal wanita, pasti bukan perkara biasa.
“Kemarin saya bertemu dia di Le Quartier,” Jordan memulai akhirnya. “Namanya Reinara. Dokter spesialis anak kerja di Siloam.”
Damian mengangguk, memberi ruang untuk Jordan bicara tanpa menyela.
“Waktu pertama kali lihat dia, jujur aja, aku nggak tertarik. Dia terlalu biasa. Nggak cantik, nggak punya daya tarik yang bikin saya ingin tahu lebih jauh. Terlalu kaku juga. Rasanya kayak ngobrol sama dinding rumah sakit.”
Damian menyipitkan mata, setengah geli, setengah heran. “Segitunya?”
Jordan mengangguk pelan. “Saya bahkan bilang langsung ke dia. Bahwa saya nggak tertarik dengannya. Aku nggak pengin kasih harapan. Karena buat apa? Buang waktu.”
“Kamu bilang itu, langsung ke mukanya?” Damian sedikit mengangkat alis.
Jordan hanya mengangkat bahu. “Kamu tahu sendiri, saya orangnya nggak suka basa-basi.”
Damian tertawa kecil. “I know you,” ucap Damian.
Jordan kembali memutar cangkir di tangannya. “Tapi, dia bilang sesuatu.”
Damian menunggu.
“Dia bilang, dia butuh nama belakang saya. Bukan cinta saya. Dia cuma ingin menyelamatkan harga diri keluarganya. Lalu dia bilang akan berubah. Jadi wanita sesuai tipe saya. Dan akan membuat saya jatuh cinta.”
Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Dan kamu?” Tanya Damian. “Gimana perasaanmu waktu dengar itu?”
Jordan tidak langsung menjawab. Pandangannya menerawang. “Antara geli dan penasaran.”
Damian tersenyum tipis. “Kamu penasaran.”
Jordan menoleh, menatap Damian. “Apa menurutmu itu masuk akal?”
Damian mengangkat bahu. “Nggak ada yang sepenuhnya masuk akal soal manusia. Tapi dari yang kamu ceritakan, dia bukan tipe yang dramatis. Dia tahu dia nggak sempurna di matamu, dan dia nggak lari. Malah mau berubah. Itu butuh nyali.”
Jordan diam. Ia belum pernah memikirkan dari sudut itu.
Damian melanjutkan, suaranya lebih serius, “Kadang orang berubah bukan demi cinta, tapi demi harga diri. Demi bangkit. Mungkin kamu bukan tujuannya, Jordan. Kamulah pemicunya.”
Jordan mengerutkan kening, bingung.
“Reinara kelihatan kayak wanita yang udah dikecewakan banyak hal,” lanjut Damian. “Tapi sekarang, dengan kehadiran kamu, dia punya semangat lagi. Entah untuk balas dendam, untuk memperbaiki diri, atau untuk membuktikan bahwa dia masih layak. Dan siapa tahu, dari situ kamu juga lihat dia dengan cara yang berbeda.”
Jordan menatap meja.
Damian menepuk bahunya pelan. “Tunggu dan lihat. Jangan buru-buru menolak sesuatu yang bahkan belum kamu kenal betul.”
Untuk pertama kalinya sejak kemarin, Jordan merasa kalimat itu masuk akal. Mungkin ia tidak harus langsung jatuh cinta. Tapi mungkin dia bisa mulai melihat. Jordan menghela napas panjang, lalu menatap Damian yang sedang menyeruput kopinya santai.
“Kadang saya nggak ngerti, kenapa kamu bisa ngomong sebijak itu,” gumam Jordan, setengah bercanda.
Damian hanya terkekeh. “Karena saya tahu kamu terlalu logis untuk jatuh cinta cuma karena tampang.”
Jordan diam sejenak. Lalu, seperti baru menyadari sesuatu, ia bertanya, “Kamu tahu nggak, banyak orang selalu bilang menikah itu soal cinta. Tapi makin ke sini, saya sadar, hidup nggak cukup cuma pakai perasaan.”
Damian menoleh dengan alis terangkat. “Dan?”
Jordan melanjutkan, “Reinara itu dokter. Spesialis anak. Pendidikannya jelas. Penghasilannya pasti stabil. Di masa sekarang, nggak banyak wanita yang mau kerja keras seperti itu.”
Damian mengangguk setuju. “Apalagi spesialis. Kamu tahu betapa berat pendidikan mereka? Butuh waktu belasan tahun untuk menempuh itu. Belajar sampai subuh, jaga rumah sakit, tangani anak-anak rewel tiap hari. Tapi tetap bisa jaga sikap, tetap tenang. Itu bukan hal remeh.”
“Dan jujur,” tambah Jordan pelan, “punya pasangan seorang dokter spesialis itu menguntungkan.”
Damian tertawa pelan. “Akhirnya kamu mengaku juga.”
Jordan tersenyum tipis. “Maksud saya, coba pikir. Dia paham soal kesehatan. Nggak gampang panik. Bisa bantu banyak hal dalam keluarga. Kalau nanti kita punya anak dia paham banget soal tumbuh kembang.”
“Dokter anak,” potong Damian, “dia literally bisa jadi pelindung kesehatan keluarga kamu.”
Jordan mengangguk pelan. “Dan dia nggak sembarangan. Pekerja keras, punya reputasi. Dari segi status, Reinara jauh dari kata ‘biasa’.”
Damian menyeringai. “Tuh, kamu sendiri yang bilang.”
Jordan kembali menatap keluar jendela. Di balik segala ketegasan dan penolakannya kemarin, kini pikirannya mulai berubah arah.
Mungkin, Reinara tidak cantik seperti Lauren. Mungkin, dia memang terlalu kaku.
Tapi wanita itu punya kualitas yang tidak semua orang punya.
Dan dalam dunia nyata, kadang kualitas jauh lebih penting dari kecantikan yang bisa hilang dalam semalam.
Damian menepuk meja ringan. “Kamu boleh tetap selektif. Tapi jangan sampai logika kamu menutup mata.”
Jordan menatap sahabatnya, lalu mengangguk sekali. Pendek, tapi dalam. Untuk pertama kalinya ia tidak langsung menolak kemungkinan.
_________________
