Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

BAB 2

HAPPY READING

____________

Le Quartier siang itu lumayan ramai, karena memang saatnya jam makan siang. Ini merupakan restoran Prancis bergaya klasik, bukan karena kesan mewahnya. Melainkan karena suasananya tidak memaksa siapapun untuk berbicara jika tidak ingin.

Jordan datang tepat waktu. Dia mengenakan jas abu-abu yang pas ditubuhnya, dengan dasi yang di longgarkan sedikit. Karena tadi dia menghadiri meeting penting dengan beberapa pejabat negara. Dia menatap sekelilingnya mencari sosok wanita yang bahkan wajahnyapun belum dia kenali.

“Kalau boleh tau, reservasi atas nama siapa tuan,” Tanya staff restoran dengan ramah.

“Atas nama Hazel,” ucap Jordan.

Staff itu mengantar Jordan ke meja yang sudah di pesan atas nama Hazel. Dan di sana, duduklah seorang wanita berambut hitam gelap dengan kucir sederhana. Dia menganakan blus putih bersih, tanpa hiasan apapun, serta celana kain hitam. Tidak ada lipstick merah. Tidak ada wawangian menusuk, bahkan tidak ada sorot mata penuh ekspetasi. Wanita itu menatapnya sebentar, lalu bangkit menatapnya sopan.

“Jordan Striker?” Tanyanya ramah.

Jordan mengangguk, “Reinara?”

Wanita itu mengangguk, lalu mereka berjabat tangan singkat. Tidak ada senyum manis di wajahnya seperti pertama kali dia melihat Lauren. Tidak ada percikkan magis dalam film-film romantic. Yang ada hanya dua orang dewasa yang sama-sama lelah.

Jordan duduk di kursi, dia diam sejenak, lalu menatap Reinara sambil meneliti dengan tenang. Dia bukan menilai, tapi mengamati. Jujur dia tidak secantik Lauren, tidak seanggun wanita-wanita yang biasa dia temui dalam dunia bisnis. Terlalu sederhana menjadi pasangannya, dan satu hal lagi dia bukan tipenya. Tapi ada sesuatu yang tidak dibuat-buat darinya, sederhana, bersih dan tenang.

Reinara menatap Jordan, walau pria itu berkepala empat, dia tampak tampan dan berkharisma. Dia mengamati pakaian Jordan, jam tangan mahalnya dan sepatunya. Dia laki-laki sempurna, namun terlihat dingin.

“Hazel bilang. Kamu setuju untuk bertemu. Terima kasih, sudah meluangkan waktu.”

Jordan mengangguk sedikit, “Sama-sama.”

Jordan menatapnya lagi. Ia masih belum yakin tentang wanita ini. Tapi satu hal yang pasti: Reinara bukan tipe yang cerewet. Dia bukan orang yang akan memaksanya bicara, atau mengisi keheningan dengan tawa palsu.

Untuk sesaat, mereka hanya duduk—menikmati keheningan yang anehnya tidak sepenuhnya tidak nyaman. Mereka memanggil waitress yang berjaga. Sudah ke sini, ya tentu dia akan makan siang bersama wanita di hadapannya ini. Mereka memesan beef cheeks, spaghetti vongole, chocolate soufflé dan dua lychee tea. Setelah memesan itu, Jordan bersandar sedikit menatap Reinara.

“Boleh tanya sesuatu?” Tanya Jordan seketika.

“Tentu,” jawab Reinara dengan tenang.

“Kamu dipaksa datang ke sini?” Tanya Jordan.

Reinara menarik napas beberapa detik menatap Jordan, “Tidak. Atas kemauan sendiri?”

Jordan mengangguk pelan, tidak di sangka wanita itu menjawab seperti itu. Mencerminkan sebagian besar isi kepalanya. Pertemuan ini sama sekali tidak membuat dirinya berdebar, tidak ada sesuatu yang membuatnya tertarik, rasa hormat dan ingin tau. Karena wanita di hadapannya ini tidak memenuhi ekspetasi di kepalanya.

Reinara menatap Jordan yang duduk tegak dan rapi. Nada bicaranya tenang tidak terburu-buru.

“Boleh tanya sesuatu?” Reinara balik bertanya kepada Jordan.

Jordan mengangguk, “Iya, silahkan.”

“Kamu dipaksa datang ke sini?” Tanya Reinara memastikan.

Jordan menatap Reinara, sedikit mengernyit, lalu menjawab jujur, dia mengangguk, “Iya.”

Reinara sudah menduga, tidak tersinggung dan tidak terkejut. Dia yakin banyak sekali wanita berderet di belakang pria itu. Dan dia bukanlah apa-apa.

Jordan menarik napas, “Hazel yang meminta saya datang. Saya datang ke sini, hanya untuk menghargainya.”

Reinara hanya menatap, tidak ada komentar. Karena jawaban itu sudah dia prediksi. Dia menarik napas.

“Kamu kelihatan sibuk,” gumam Reinara memperhatikan Jordan.

Jordan mengangguk kecil, “Saya memang sibuk. Selalu menyibukkan diri. Itu cara terbaik yang saya lakukan.”

Reinara tersenyum tipis. Tidak lama kemudian staff datang mengantar makanan mereka. Suasana kembali hening. Hanya terdengar bunyi peralatan makanan yang beradu pelan dengan piring porselen. Jordan melirik Reinara dari atas piringnya,

“Kamu kerja di mana?”

“Siloam,” jawab Reinara singkat.

“Rumah sakit?”

“Iya, yang di Semanggi,” jawabnya.

Jordan menelan suapannya. Dalam hati, ia mengakui satu hal: wanita ini tahu cara menjaga jarak tanpa membuat orang merasa ditolak. Ada ketenangan dalam caranya bicara, dalam sikapnya yang tidak memaksa. Dan mungkin ini alasannya mengapa dia belum pergi dari meja ini.

Jordan menaruh sendoknya sebentar, dia kembali menatap Reinara, “Dokter apa di sana?”

Reinara menegakkan bahunya. “Spesialis anak.”

Jordan mengangguk pelan, “Pasti sibuk banget.”

“Lumayan,” jawab Reinara singkat.

Jordan kembali makan makanannya, “Saya baru pertama kali kenalan dengan seorang dokter. Kerja dokter speaslis anak itu seperti apa?” Tanya Jordan.

Reinara tersenyum kecil, seperti seseorang yang mendadak diminta bercerita tentang dunia yang sangat dia kenal.

“Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk menangani pasien rawat jalan dan rawat inap. Anak-anak usia nol sampai delapan belas tahun. Mulai dari yang datang hanya karena flu ringan, sampai yang butuh perawatan intensif seperti bayi premature atau anak dengan penyakit bawaan.”

Jordan menatap Reinara, mendengarkan dia bercerita.

“Aku juga sering konsultasi dengan orang tua mereka, menjelaskan hasil pemeriksaan, memberikan edukasi tentang tumbuh kembang, imunisasi, alergi, gangguan makan, atau bahkan masalah psikologis ringan. Anak-anak itu... unik. Mereka nggak selalu bisa mengungkapkan rasa sakitnya dengan kata-kata. Jadi kita harus peka. Harus tahu dari ekspresi, dari gerakan tubuh, dari tatapan.”

Jordan menyandarkan diri sedikit ke kursinya. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban selengkap itu. Apalagi disampaikan dengan cara yang begitu tenang, padat, tapi mengalir.

“Berarti kamu harus kuat, ya,” gumamnya.

Reinara mengangguk pelan. “Kuat, sabar, dan… siap pulang dengan hati yang kadang berat.”

“Kedengarannya melelahkan.”

“Memang. Tapi ada kepuasan tersendiri kalau bisa bantu anak-anak itu sembuh. Atau setidaknya… membuat mereka merasa tidak sendiri saat sakit.”

Untuk pertama kalinya, Jordan tidak hanya mendengar kata-kata. Ia menyimak. Menganalisis. Dan sedikit... menghargai.

Reinara bukan wanita penuh kejutan. Tapi ia membawa sesuatu yang jarang Jordan temui: ketenangan yang tidak dibuat-buat, ketulusan yang tidak ingin dipuji.

Dia datang tanpa topeng. Dan justru karena itulah. Jordan mulai melihatnya lebih jelas.

Percakapan mereka sempat terhenti. Hanya ada suara alat makan yang berpindah pelan, dan sesekali pelayan yang berlalu-lalang. Namun Reinara tampak masih menyimpan satu pertanyaan yang menggantung di ujung pikirannya.

Ia menatap Jordan, tenang, tanpa tekanan. “Kata Hazel, kamu gagal menikah?” Reinara membuka percakapan.

Jordan menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Iya.”

Reinara mengangguk pelan. “Sama kalau begitu.”

Jordan sedikit terangkat alisnya. “Kamu juga?”

“Hmm,” sahut Reinara. Jawabannya pendek, tapi tidak canggung.

Jordan akhirnya bertanya, suaranya datar, “Kenapa?”

Reinara tersenyum tipis. “Panjang ceritanya, next time saya ceritakan.”

Jordan hanya mengangguk kecil. Mereka tampak saling memahami bahwa ada luka-luka yang lebih baik tidak dibongkar dalam satu kali makan siang.

Beberapa detik kemudian, Jordan kembali menatap Reinara, kali ini lebih serius. Matanya tajam, suaranya mantap.

“Apa kamu mengharapkan kita berjodoh?”

Reinara tidak menghindar. Ia menatap balik dengan ketenangan. “Kalau kamu mau, saya juga mau.”

Jawaban itu sederhana. Jujur. Tanpa drama. Tapi justru karena itu, Jordan merasa perlu untuk memberi batas dengan jelas.

Ia menarik napas dalam, lalu bersandar sedikit. “Mungkin nasib kita sama. Sama-sama gagal menikah. Sama-sama pernah disakiti.”

Reinara tetap diam. Mendengar.

“Tapi saya bukan pria yang sembarangan menikah dengan wanita,” lanjut Jordan, nadanya berubah sedikit lebih tajam.

Reinara masih tidak menjawab. Tidak terlihat marah. Tidak terlihat rapuh. Tapi Jordan tahu, kata-katanya barusan tidaklah ringan.

“Jujur sebenarnya saya tidak tertarik denganmu,” kata Jordan tegas. “Saya ke sini hanya karena Hazel memohon. Untuk menghargainya. Bukan karena saya mengharapkan apa pun.”

Jordan mengatupkan rahangnya, lalu menambahkan satu kalimat terakhir yang terdengar seperti pagar besi yang baru saja dikunci rapat.

“Jadi, jangan berharap lebih dari saya.”

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang menjawab.

Dan Reinara, seperti biasa, tidak bereaksi keras. Ia hanya menunduk sedikit, mengangguk dengan sangat pelan, lalu menjawab, “Baik.”

Hanya satu kata. Tapi cukup untuk menutup babak itu.

Setelah beberapa saat diam, Reinara akhirnya membuka suara.

“Apa yang membuatmu tidak tertarik pada saya?”

Pertanyaannya datar, tapi penuh maksud. Jordan sedikit terkejut mendengarnya, tapi tak menunjukkan di wajahnya.

“Kenapa tanya itu?” balasnya singkat.

Reinara menatap Jordan, masih tenang. “Karena saya belum patah semangat.”

Jordan menoleh. Sorot matanya tajam, nyaris sinis. “Patah semangat untuk apa?”

Reinara tak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Kalau saya bisa mendapatkan Jordan, kalau saya bisa membuatnya memilih saya. Saya bisa membuktikan pada semua orang. Pada mantannya. Pada diri saya sendiri. Bahwa saya tidak kalah.

Saya bisa bilang pada orang yang meninggalkanku dulu bahwa saya berhasil mendapatkan pria yang lebih dewasa, lebih sukses, dan lebih tampan dari siapa pun yang pernah ada di hidup saya.

“Saya ingin tahu,” kata Reinara akhirnya, suaranya pelan.

Jordan mendesah pelan. Kali ini, ia memilih menjawab dengan jujur—meski kejujuran itu terdengar kejam.

“Kamu bukan tipe saya.”

Reinara menatap, menunggu penjelasan.

“Kamu terlalu kaku. Terlalu datar. Nggak ada sisi menarik yang bikin saya ingin mengenal lebih dalam,” ucap Jordan tajam. “Kamu terlalu biasa untuk saya.”

Reinara terdiam. Tapi tidak hancur. Tidak marah.

Justru dari keheningan itu, ia mulai memahami. Ia tahu kini, bahwa wanita seperti Lauren—yang dulu membuat Jordan jatuh hati—pasti sangat berbeda darinya. Lebih ekspresif. Lebih lembut. Lebih anggun. Lebih hidup.

Tapi itu tidak membuatnya mundur.

Justru sebaliknya.

“Saya tidak butuh cinta kamu,” ucap Reinara tiba-tiba. Suaranya rendah, tapi tegas.

Jordan mengernyit, menatapnya.

“Saya hanya butuh nama belakang kamu. Untuk keluarga saya. Untuk menyelamatkan harga diri mereka. Dan harga diri saya.”

Jordan terdiam.

Reinara melanjutkan, “Kalau kamu tidak mau menikah karena cinta, saya bisa terima. Saya juga tidak menawarkannya.”

Lalu, ia menatap Jordan lebih dalam. Matanya tidak menunjukkan luka, tapi tekad yang perlahan tumbuh.

“Tapi izinkan saya mengubah diri saya sesuai tipe kamu dalam beberapa bulan ini.”

Ia menegakkan tubuhnya, menyisipkan rambut ke belakang telinga. “Saya akan membuat kamu jatuh cinta.”

Kata-kata itu menggantung lama di antara mereka. Tidak ada senyum, tidak ada kepastian. Tapi satu hal jelas: Reinara bukan wanita yang akan lari saat ditolak. Ia mungkin tidak memulai dari cinta. Tapi ia punya tekad yang tak bisa dipatahkan dengan satu kalimat kejam.

Dan Jordan? Untuk pertama kalinya, ia kehabisan kata.

“Lakukan kalau kamu bisa.”

__________

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel