BAB 1
BAB 1
HAPPY READING
_____________
Langkah kaki Jordan berhenti di depan altar kosong yang seharusnya menjadi tempat dia dan Lauren mengikat janji suci. Suara pelan dari sound gereja masih terdengar, para jemaat sudah mulai membubarkan diri. Gaun putih tidak pernah datang, wanita yang seharusnya menjadi istrinya dia relakan pergi bersama prianya. Pada hari itu, dia tidak hanya kehilangan calon istri. Dia juga kehilangan kepercayaan tentang pernikahan.
Beberapa Minggu berlalu sejak kejadiaan dia merelakan Lauren bersama Jayden. Dan untuk pertama kalinya dia merasa benar-benar muak dengan namanya cinta. Baginya cinta hanyalah kesepakatan rapuh yang bisa hancur tanpa aba-aba. Dia memilih menyibukkan diri di kantor, bekerja dari pagi hingga malam, seolah tenggelam dalam laporan dan rapat bisa menghapus rasa sakitnya.
Tapi dunia ini tidak diam begitu saja. Jordan adalah putra sulung keluarga Striker. Usianya sudah melewati kepala empat. Dia mata keluarga besar, dia bukan sekedar laki-laki patah hati, tapi symbol kehormatan yang mulai retak. Ada harapan, tekanan bahkan bisikkan yang menyakitkan tentang kegagalan sebagai laki-laki mapan yang belum juga menikah.
Dan di antara semua itu, hanya satu orang yang menatapnya bukan dengan penilaian, melainkan dengan kasih sayang yang tulus. Hazel saudaranya duduk di sofa ruang kerja Jordan sore itu. Wajahnya lembut, tapi mata itu menyimpan kekhawatiran yang tidak bisa di sembunyikan.
“Kak …” ucapnya pelan memanggil Jordan dengan nada yang hampir seperti bisikkan.
“Iya, ada apa, El?” Tanya Jordan memandang adiknya.
“Hazel tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi, saya ingin bantu.”
“Bantu apa?”
“Ada seseorang, namanya Reinara.”
Alis Jordan terangkat, tanpa ekspresi.
“Dia, saudara dari sahabat saya. Seorang dokter. Usinya mungkin nggak jauh dari kakak. Orangnya tenang, sederhana. Saya rasa kalian cocok. Dan dia nasibnya sama seperti abang, di tinggal nikah.”
Jordan menatap kosong ke luar jendela, mencoba mengabaikan kata-kata Hazel. Tapi sesuatu dalam cara Hazel berbicara terasa berbeda. Seolah, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak menawarinya cinta, melainkan kemungkinan untuk menyembuhkan hati-nya yang patah.
Pernikahan tanpa cinta itu akan membuat hidup hancur. Dan kini, takdir kembali menawarkan hal yang serupa seolah dengan pola berulang. Walau dengan alasan berbeda, bagi Jordan itu sama saja. Kemungkinan hal yang sama.
“Nggak,” ucap Jordan tegas, dingin dan final.
Hazel terdiam, dia duduk di ujung sofa. Menggenggam tangannya sendiri, mencoba menahan kecewa yang mulai mengembang di wajahnya.
“Kamu tahu kakak, El. Saya nggak suka dijodohkan. Apalagi dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal,” lanjut Jordan.
Tatapannya lurus ke depan, ke arah cangkir kopi yang sudah dingin, “Dan yang paling penting, saya tidak bisa menikah dengan orang yang tidak saya cintai.”
Hazel menghela napas pelan, dia menunduk sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Jordan.
“Saya tahu kak. Saya tahu ini salah. Tapi, saya cuma minta satu hal. Kenalan aja dulu kak, nggak lebih,” ucap Hazel lagi.
Jordan mengerutkan keningnya, jelas dia tidak suka arah pembicaraan Hazel.
“Dengar Hazel. Jangan pernah ikut campur urusan saya. Saya tahu maksud kamu baik, tapi saya sudah cukup gagal dalam hal ini. Biarkan saya sendiri.”
Hazel terdiam, matanya mulai berkaca-kaca, namun tangisnya dia tahan. Bukan karena sakit hati, tapi karena dia tahu kakaknya menyembunyikan luka yang lebih dalam dari yang terlihat.
“Kalau kakak nantinya nggak suka nggak apa-apa kok. Abaikan aja, kak.”
“Tapi, please kenalan dulu. Reinara bukan wanita biasa kak. Dia nggak buru-buru kok, ya Cuma kenalan aja, kan pengalaman kalian sama. Siapa tahu nyambung kan. Biar sama-sama tahu rasanya hancur.”
Jordan diam. Kata-kata Hazel menggantung di udara, menabrak tembok yang dia bangun rapat-rapat di dalma hatinya.
Diam-diam dia menatap Hazel dengan pandangan berbeda. Adiknya ini bukan sedang mendorongnya ke jurang. Tapi justru sedang menawarkan tangga pelan-pelan, agar bisa naik keluar dari tempat gelap yang selama ini dia tinggali sendiri.
“Cuma kenalan?” Tanya Jordan akhirnya, suaranya rendah, nyaris tidak terdengar.
Hazel langsung mengangguk cepat, “Iya, cuma kenalan. Kalau kakak tetap nggak suka, saya nggak akan paksa.”
Jordan menghela napas panjang, dia menatap Hazel lama. Adiknya itu dengan tatapan memohon. Mau tidak mau dia mengangguk, “Baik. Saya akan temui dia. Tapi jangan berharap apa-apa.”
Hazel tersenyum kecil, bukan karena yakin Rerinara akan di terima. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Jordan membuka pintu, meski waktu yang lama.
______________
Beberapa menit setelah berbicara dengan Jordan. Hazel berlari ke kamarnya. Dia mengambil ponselnya, dia tersenyum bahagia. Dia mencari nomor Aster kontak gallery nya, dia menekan nomor hijau pada layar dia letakkan ponsel itu di telinganya.
“Halo,” ucap seorang wanita di balik speaker ponselnya.
“Aster, Jordan jadi setuju bertemu dengan kakak kamu,” ucap Hazel cepat, nyaris tidak percaya.
“Dia bilang, mau ketemu Reinara.”
Di ujung sana, Asteria Iskandar terdiam sejenak sebelum akhirnya dia tertawa kecil, lega sekaligus haru, “Serius?”
“Iya, serius.”
“Ya Tuhan, akhirnya. Padahal gue pikir bakalan di tolak, tau!”
“Gue juga kaget, kakak gue mau. Mungkin cape kali ya,” ucap Hazel sambil tertawa.
“Sama sih kayak kakak gue. Dia emang nggak pernah cerita banyak. Tapi dia kayaknya udah terlalu capek dari tekanan mama dan papa. Mungkin ini saatnya takdir nyamperin mereka.”
Hazel mengangguk, “Iya bener. Sama-sama capek.”
“Oke deh, makasih infornya El. Nanti gue telepon lo lagi, gue mau kasih tau Reinara dulu. Bye…”
“Bye.”
Setelah menutup telepon sahabatnya. Aster menghela napas panjang, lalu melangkah pelan menuju kamar Reinara saudaranya. Dia mengetok pintu, lalu menekan hendel, pintu kamar tidak terkunci. Dia membuka di dalamnya ada Reinara duduk di dekat kursi jendela. Rambutnya dikucir seadanya dan di pangkuannya ada buku medis yang tampaknya lebih menjadi pelarian ketimbang bahan bacaan serius.
Aster mengetuk pelan, “Rei …” sapa Aster.
Reinara menoleh, tatapannya datar memandang adiknya Aster yang melangkah mendekatinya.
“Enggak lagi ngapa-ngapain kan?” Tanya Aster.
Reinara mengangguk, “Iya, kenapa?” Tanya Reinara.
“Hemmm gini, kakaknya Hazel, mau bertemu kamu,” ucap Aster.
Seketika, Reinara kembali menatap keluar jendela. Napasnya dalam, “oh ya?”
Aster mengangguk pelan, dia duduk di tepi ranjang, “Iya, mungkin bisa kenalan dulu, ngobrol berdua. Gue nggak janji apa-apa sih, Rei. Setidaknya ini, bisa jadi titik awal.”
Reinara mengangguk kecil, “Baik,” jawabnya terdengar tidak ada antusiasme, juga tidak ada kata penolakkan. Hanya satu kata yang terdengar hampir seperti kebiasaan.
Karena begitulah Reinara sekarang. Di usianya yang ke 36, tekanan dari orang tuanya nyaris tidak berhenti. Kata ‘perawan tua’ sudah menjadi bisikkan sehari-hari bahkan terdengar saat dia diam. Dia bukan tidak ingin menikah. Tapi calon suaminya justru meninggalkannya, dia sekarang merasa tidak cukup, tidak layak, tidak istimewa lagi.
Cinta? Sudah lama ia letakkan di laci yang tidak pernah dia buka lagi. Tapi meski pasrah dengan keadaan, Reinara tetap memilih satu hal, tetap hidup. Tetap bekerja, tetap tersenyum kecil setiap kali pasien sembuh. Karena di tengah hidup yang pahit, setidaknya dia masih punya tujuan. Harapan bagianya bukan sesuatu yang dia pegang. Tapi hanya siluet yang sesekali lewat, lalu menghilang tanpa jejak.
_______
Asteria dan Hazel mulai merencakan pertemuan Jordan dan Reinara.
"Le Quartier, jam dua belas siang. Hari Rabu."
Asteria menyebutkan detailnya sambil mengetik cepat di ponselnya. Hazel yang duduk di seberang meja mengangguk mantap.
“Tempatnya cukup tenang, elegan, dan nggak terlalu ramai. Cocok buat dua orang canggung yang nggak tahu harus mulai dari mana,” tambah Asteria, tersenyum kecil.
Hazel ikut tersenyum, meski di dalam hatinya masih ada kekhawatiran. Jordan memang sudah setuju untuk bertemu, tapi Hazel tahu betul: kakaknya itu bukan pria yang mudah terbuka. Trauma masa lalu, ditambah sikap perfeksionis, membuatnya sangat selektif—bahkan terkesan sinis—terhadap segala hal yang berkaitan dengan wanita.
_______
Keesokan harinya, hari Rabu, langit mendung menggantung di atas kota Jakarta. Di ruang kantornya yang luas dan dingin, Jordan Striker berdiri di balik jendela kaca, menatap kendaraan yang melintas di bawah sana. Ponselnya bergetar.
Hazel: “Bang, jangan lupa. Hari ini ketemu Reinara. Jam dua belas di Le Quartier.”
Jordan mendesah pelan, lalu merespons singkat: “Iya.”
Ponsel kembali ia letakkan di meja, tapi pikirannya tidak langsung kembali ke laporan yang sedang ia baca. Alih-alih, ia termenung, membayangkan sosok wanita bernama Reinara—seorang dokter, 36 tahun, single.
“Apakah dia secantik Lauren?” gumamnya dalam hati.
Bukan karena ia mencari kecantikan semata, tapi karena ingatan akan Lauren masih sering menghantuinya. Wajah lembut, suara manja, namun penuh ketenangan. Ia dulu mengira cinta akan membuat segalanya terasa damai. Tapi justru sebaliknya. Lauren adalah badai yang cantik—indah dilihat, tapi menghancurkan saat datang terlalu dekat.
Kini, Jordan mencari hal lain.
Ia ingin ketenangan. Kestabilan. Bukan kecantikan yang memabukkan, bukan gairah yang membakar—tapi seseorang yang mampu membuatnya diam tanpa merasa sepi.
“Kalau dia seperti Lauren, saya akan langsung mau,” batinnya tegas.
“Sekarang saya butuh seseorang yang membuat saya tenang.”
Dia menatap pantulan dirinya di kaca. Garis wajahnya mulai menunjukkan usia, tapi sorot matanya tetap tajam.
Jordan Striker tahu apa yang ia mau. Dan lebih penting, ia tahu apa yang tidak ia mau.
Pukul 11.30, ia mengenakan jas terbaiknya. Tidak untuk mengesankan, tapi karena Jordan selalu tampil rapi dalam setiap pertemuan penting. Dan entah kenapa, pertemuan kali ini terasa cukup penting baginya.
Tidak untuk masa depan. Bukan juga untuk cinta. Tapi untuk mencari tahu, apakah masih ada seseorang yang bisa mengembalikan sedikit rasa damai di dalam dirinya.
________________
