Bab 9 : Tertangkap Basah
Kedua orang yang saling berpelukan itu tersentak kaget. Andini dengan cepat melepaskan diri dari pelukan Ardi. Jantungnya hampir copot dari rongganya begitu melihat suaminya berdiri di pintu masuk dengan wajah merah padam.
“A-abang! Kok, pulang lagi?” tanyanya dengan wajah pucat pasi. Ia benar-benar tak menyangka akan kepergok seperti ini oleh suaminya.
“Kenapa?! Kamu merasa terganggu? Aku pulang untuk melihatmu dengan mata kepalaku sendiri! Kamu pikir, aku akan tenang saja meninggalkan kamu berdua dengan Arjuna di rumah ini, tanpa menyuruh orang untuk mengawasi. Ini buktinya, aku langsung melihat apa yang kamu kerjakan dengan laki-laki bajingan ini!” bentak Hendra dengan marah kepada istrinya. Padahal sebenarnya tidak ada orang yang disuruhnya mengawasi anak dan istrinya. Kebetulan saja memang ada barangnya yang ketinggalan, makanya, ia kembali lagi ke rumah.
“A-abang, ini bukan seperti yang Abang pikirkan, aku akan jelaskan.” Andini dengan air mata yang tiba-tiba keluar, berjalan mendekati suaminya.
“Aku sudah tahu semuanya! Tidak usah menjelaskan apa-apa!” Hendra mengibas tangan istrinya yang berusaha memegang lengannya.
“Kau! Laki-laki bajingan! Cepat pergi dari sini! Sebelum saya panggil warga untuk menyeretmu keluar!” Hardik Hendra dengan telunjuk terarah pada Ardi yang tampak berdiri tenang-tenang saja.
“Baiklah, Pak. Jangan marah-marah, nanti tambah tua.” Ardi dengan cuek berjalan keluar dari rumah Andini. Hendra menatapnya dengan geram. Ingin rasanya, ia memukul laki-laki yang mengganggu istrinya itu, tapi akal sehatnya masih bisa berpikir, semuanya tidak akan terselesaikan dengan kekerasan.
Setelah Ardi pergi, Hendra kemudian berjalan ke ruang tengah tanpa mengindahkan Andini yang masih terus menangis. Menyesali dirinya yang tadi mau saja dipeluk oleh Ardi. Harusnya, ia tidak memberi ruang untuk Ardi setiap kali datang. Harusnya, ia lebih tegas menolak pria itu ketika datang bertamu. Kini, suaminya sudah menangkap basah dirinya dalam posisi berpelukan seperti itu.
Hendra meminum habis segelas air dingin yang diambilnya dari dalam kulkas. Kepalanya benar-benar panas membayangkan istri tercintanya berada dalam pelukan Ardi. Dulu, ketika ia mendapatkan Andini yang sudah tidak perawan, diam-diam Hendra menyelidiki siapa pacar Andini yang diakui istrinya itu pergi meninggalkannya begitu saja. Meskipun, belum pernah bertemu sebelumnya dengan Ardi, tapi ciri-ciri yang ia dapatkan sangat cocok dengan laki-laki yang memeluk istrinya tadi.
Andini mendekati suaminya dengan perasaan takut. Baru kali ini, Hendra marah besar padanya. Hampir tiga tahun bersama, suaminya itu selalu sabar dan tidak pernah memarahinya sekali saja.
“Bang … a-aku minta maaf ….” Andini menundukkan kepalanya dalam-dalam di samping suaminya.
Hendra menoleh, menatap istrinya dengan sorot kecewa. Pria itu kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi makan dengan kesal. Kepalan tangannya pun kemudian dipukul-pukulkan di meja makan. Meskipun, tak terlalu keras, tapi membuat Andini semakin gemetar.
“Kenapa, Andini? Bajingan itu 'kan? Yang sudah menodaimu dulu? Kenapa begitu mudahnya kamu menerima dia kembali di rumah ini! Maaf, Dini. Aku sebenarnya tidak mau mengungkit tentang masa lalumu, kamu yang membuat aku terpaksa mengucapkan kata-kata itu.” Hendra menghela napas panjang dan membuangnya kasar. Emosinya masih tinggi. “Bilang padaku! Sudah sejauh apa hubungan kalian sekarang ini?! Jawab!"
Andini tak mampu menjawab, tangisnya semakin tak tertahankan. Hatinya perih mendengar ucapan dari suaminya itu. Hendra yang sejak awal mereka menikah telah menyimpan sendiri rahasia dirinya yang sudah ternoda, kini sudah terucap dari mulut suaminya itu. Andini menjadi sangat malu. Hingga akhirnya, ia tak kuasa berdiri lagi, tubuhnya melorot di lantai. Menutup matanya dengan kedua tangannya. Bahunya tampak terguncang menahan isak tangis yang tak jua mau berhenti.
Hendra menatap tubuh istrinya yang bersimpuh di lantai. Hatinya sangat sakit menyaksikan wanita yang sangat dicintainya itu tampak terpukul oleh ucapannya tadi. Ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil itu dan melupakan saja apa yang sudah terjadi. Cintanya yang terlalu besar untuk Andini, membuat ia ingin memaafkan saja apapun perbuatan istrinya itu.
Mungkinkah Andini juga mempunyai cinta sebesar itu untuk Ardi? Sehingga istrinya menerima begitu saja, saat lelaki itu ingin kembali lagi pada Andini?
Hendra pun kemudian tak mampu lagi menahan perasaannya. Ia menengadahkan kepalanya, menatap plafon sambil berusaha menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Ia tak menyangka, tiba-tiba saja datang badai seperti ini di tengah ketenangan biduk rumah tangganya yang sudah berlayar selama tiga tahun ini.
“Ibu ….” Arjuna berdiri di depan pintu kamar yang memang sengaja dibuka Andini sejak tadi, memanggil sang ibu dengan riang. Sedari tadi bocah itu asyik bermain sendiri di kamar bekas neneknya dulu yang sudah ditata dengan rapi oleh Andini. Menjadi kamar yang nyaman untuk Arjuna bermain beralaskan karpet bergambar khusus untuk anak-anak.
Andini bergeming. Ia masih saja terisak dengan wajah ditutupi kedua tangannya. Hendra menghela napas panjang. Ia kemudian bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati putranya.
“Juna … lagi main apa?” Hendra meraih tubuh mungil itu, menggendong dan mencium kedua pipi putra gantengnya itu.
“Una ikin lumah,” jawab bocah itu sambil tertawa geli oleh sisa kumis dan brewok tipis sang ayah.
“Juna main sama ayah aja, ya?” Hendra berjalan masuk ke kamar Arjuna sambil menggendong putra tercintanya itu.
Andini yang ditinggalkan oleh suami dan anaknya, tidak lama kemudian berjalan ke kamar mandi. Mencuci wajah sembabnya, lalu menuju kamar tidurnya.
Wanita yang sedang galau itu tidak tahu kapan ia terlelap dan berapa lama ia tertidur karena ketika terbangun, hanya kesunyian yang ada. Tak ada siapapun di kamar itu. Andini bangun dari ranjangnya, menuju kamar tempat bermainnya Arjuna. Di sana terlihat putra dan suaminya juga tertidur pulas dekat mainan yang berserakan di atas karpet.
Pelan Andini ikut merebahkan diri di belakang punggung suaminya. Hendra membuka mata, begitu merasakan kehadiran istrinya, tapi ia tak mengubah posisi tidurnya. Jantung lelaki itu berdenyut lebih kencang ketika tangan sang istri memeluk pinggangnya erat dengan kepala yang menempel di punggungnya. Napas Andini terdengar memburu. Mencium lama punggung lebar suaminya. Hendra berusaha keras agar tidak berbalik dan memeluk tubuh wanita yang sangat ia cintai itu. Ia ingin Andini menjelaskan dulu apa yang sudah dilakukan oleh istrinya itu dengan mantan pacarnya.
“Abang ….” Andini memanggil pelan. Ia tahu suaminya itu sudah terjaga dari tidurnya.
“Hm ….” Hanya itu yang keluar dari mulut Hendra.
“A-aku tidak melakukan apa-apa dengan Ardi. To-tolong maafkan apa yang Abang lihat tadi. Itu yang pertama kami lakukan, Ardi tiba-tiba memelukku, saat itu Abang datang.” Andini bicara terbata-bata, tapi ia ingin suaminya itu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hendra masih diam, tak merespon ucapan istrinya. Ia belum sepenuhnya yakin pada kata-kata Andini. Berapa saat pun berlalu, yang terdengar hanya helaan napas keduanya yang sama-sama resah.
Melihat suaminya diam saja, pelan kemudian Andini melepaskan tangannya dari pinggang Hendra. Ia merasa suaminya tidak mau memaafkan. Tangis Andini ingin keluar lagi, tapi ia berusaha menahan.
Kemudian, ia bangkit dari tidurnya, berniat mau pergi saja dari kamar itu. Ia ingin melampiaskan tangis di kamarnya saja. Namun, tangan kekar itu menyambar lengannya, ketika Andini sudah berdiri. Ia menatap suaminya yang kini sudah tidur telentang. Mata keduanya saling menatap. Hendra mencari kejujuran di mata sang istri yang kembali basah.
“Kamu janji tidak akan bertemu dengan Ardi lagi, Andini?” tanya Hendra menatap tajam wajah cantik istrinya. Ia kemudian ikut duduk tanpa melepaskan tatapannya dari mata sang istri.
Andini menggangguk pelan. Tangannya yang satu mengusap air mata yang akhirnya menetes dari netranya.
Hendra tak tahan lagi, ia menarik lengan Andini yang masih dipegangnya, membuat wanita itu terduduk di pangkuan suaminya. Laki-laki itu kemudian membawa tubuh sang istri ke dalam pelukannya. Andini menumpahkan tangis di dada suaminya. Hendra membiarkan, hanya tangannya kemudian mengusap-usap punggung istri tercintanya dengan lembut. Meskipun rasa kecewa masih terasa dalam hatinya, tapi rasa cintanya yang begitu besar pada istri kecilnya itu, membuat Hendra menekan rasa sakit di hatinya yang tergores oleh perbuatan Andini.
