Bab 8 : Hati yang Mendua
“Kenapa ke sini lagi?” tanya Andini pelan.
“Mau minum kopi buatan kekasihku lah.” Ardi dengan cuek melangkah masuk. Tangan usilnya masih sempat mencolek pipi mulusnya Andini. Colekan itu sukses membuat wajah Andini merona merah. Apalagi kemudian pria itu dengan santainya melepas jaket jeans-nya sambil duduk di kursi tamu.
“Kok bengong! Ayo bikinin aku kopi dan mi goreng.” Ardi menaikkan kaki panjangnya di atas kaki satunya. Menyandarkan tubuh kekarnya di sandaran kursi dengan mata menatap tajam ke arah Andini yang juga sedang menatap pria yang kini hanya memakai baju kaos ketat dan tipis. Menampakkan otot-otot tubuhnya yang bertonjolan.
Andini menelan ludahnya, ia benar-benar bingung akan sikap Ardi. Pria itu seperti tahu akan isi hatinya yang tidak tahu malu sudah merindukan sosok itu sejak mereka bertemu lima hari yang lalu. Tiada hari yang terlewat bagi Andini untuk memikirkan pria masalalunya itu meskipun kala melayani sang suami selama berada di rumah.
“Tidak ada mi goreng, aku akan buatkan kopi, setelah minum kopi, Mas harus segera pergi dari sini.” Andini berlalu ke dapur tanpa menunggu jawaban dari Ardi. Percuma melawan pria itu, ia sudah tahu watak Ardi yang tidak bisa ditolak keinginannya.
Tidak berapa lama kemudian, Andini kembali dengan segelas kopi panas dengan cangkir yang beralaskan piring kecil. Ia lalu meletakkan di depan Ardi duduk. Andini kemudian ikut duduk di seberang kursinya Ardi. Mereka hanya dibatasi oleh meja tamu.
Ardi menuangkan kopi panasnya ke dalam piring kecil, lalu meminum kopi langsung dari piring itu setelah meniupnya sesaat.
“Hm … memang nikmat kalau calon istriku yang membuat kopi.” Mata Ardi sampai terpejam menikmati kopi yang disuguhkan Andini.
“Jaga ucapanmu, Mas! Aku istri orang, bukan calon istrimu!” Andini berkata sambil berusaha mengatasi kegugupannya mendengar ucapan Ardi.
“Aku serius, Dini. Aku ingin mewujudkan kembali cinta kita yang dulu.” Ardi meletakkan piring kecil yang sudah kosong di atas meja. Mata elangnya kemudian menghujam tepat di manik mata wanita yang tampak semakin cantik di matanya.
“Terlambat, Mas. Dulu ke mana aja kamu. Aku sampai mencari ke rumah orang tuamu agar kita bisa menikah dan aku sudah berencana akan jujur sama ibu dan Bang Hendra kala itu.” Andini mengungkapkan isi hatinya dengan mata yang berkaca-kaca. Rasa marah yang ada untuk pria di hadapannya itu, hilang tak berbekas. Kini, ia sedang berperang dengan perasaannya yang semakin terhanyut oleh pesona pria masa lalunya itu. Cinta untuk Ardi masih sebesar itu.
“Maafkan atas perbuatan dan pengecutnya diriku saat itu, Din. Aku menyesal sudah memperlakukanmu seperti itu.” Ardi mencondongkan tubuhnya ke depan dengan bertumpu di atas lengan yang diletakkan diatas kedua kakinya. Jarak wajah mereka hanya tersisa satu meter kini. Andini menjauhkan wajahnya begitu dilihatnya tangan panjang itu terulur ingin mengusap air matanya.
“Mas! Cepat habiskan kopimu. Aku gak ingin ada yang salah paham melihatmu ada di sini. Cerita masa lalu kita sudah usai. Percuma untuk mengungkitnya lagi.” Tegas Andini sambil mengusap wajahnya kasar. Kedua tangannya saling meremas di atas pangkuannya, menahan perasaannya yang semakin tak bisa dikendalikannya. Ia hanya ingin cepat-cepat ke kamar untuk melampiaskan tangis yang mendesak ingin keluar.
“Baik, Andini. Aku tidak akan memaksamumu, tapi yang pasti aku akan datang lagi ke sini, sampai kamu bisa menerimaku kembali.” Ardi berdiri dari duduknya, lalu menyambar jaketnya yang tergeletak begitu saja di kursi. Kemudian, tanpa melihat Andini lagi, pria yang semakin tampan itu melangkah dengan santai ke luar dari rumah Andini. Meninggalkan wanita yang masih terdiam mendengar semua ucapan Ardi sambil menatap punggung kekar itu dengan rasa rindu yang mendalam.
Ardi terus saja datang ke rumah Andini. Ia tahu betul kapan suami Andini tidak berada di rumah. Sedangkan, Andini semakin lama semakin tak tahu arah. Hatinya kembali bimbang. Ia lupa akan Ardi yang sudah mencampakkannya begitu saja setelah menghisap madunya. Ia lupa kalau Hendra suaminya tidak pernah mengungkit tentang dirinya yang sudah tidak gadis lagi dan tidak pernah merendahkannya. Laki-laki yang sudah memberi Andini seorang anak itu tetap memperlakukan dengan baik dan sangat menyayanginya.
Kini, bahkan Andini sudah mulai menolak dengan bermacam alasan jika sang suami meminta nafkah batinnya saat pulang ke rumah di akhir pekan. Andini bahkan tak tahu malu terus berharap Ardi akan mengunjunginya lagi dan lagi. Meskipun, hanya memandang wajah Ardi diam-diam, itu sudah cukup untuk melepaskan rindu di hatinya.
“Hallo … Cintaku ….” Ardi menyapa Andini yang membuka pintu rumahnya. Sudah sebulan lamanya mereka bertemu diam-diam seperti itu.
“Pagi banget bertamunya, Mas. Bang Hendra baru saja berangkat.” Andini membuka pintu dengan lebar. Ia sudah tidak takut lagi menerima tamu tampannya itu setiap kali datang. Entah sengaja agar Andini tertarik kembali padanya atau memang Ardi sudah berubah sikapnya menjadi lebih baik, pria itu tidak pernah berlaku kurang ajar lagi kepada wanita yang kini sangat ia inginkan kembali padanya.
“Habis ... aku sudah rindu sekali padamu. Tiga hari gak bertemu, rasanya sudah setahun lamanya,” rayu Ardi sambil mencuri cium di kening wanita yang berdiri di depannya itu.
“Mas! Jangan kurang ajar, ya!” Andini yang tidak menyangka akan dicium seperti itu berteriak kaget.
“Maaf, Dini. Aku lupa diri.” Ardi menangkupkan kedua tangannya di depan dada sembari menatap Andini dengan mata sayu. Membuat hati Andini menjadi menggelepar.
“Jangan begitu lagi ya, Mas. Aku sudah istri orang.” Andini menundukkan kepalanya, tak sanggup rasanya ia menahan gejolak di dadanya yang sangat ingin melemparkan diri ke dalam pelukan pria gagah yang berdiri sangat dekat dengannya.
“Iya, aku janji. Tapi, tidak untuk hari ini.” Ardi tiba-tiba sudah merengkuh bahu mungil Andini dan membawa ke dadanya yang kekar. Seolah-olah pria itu bisa membaca apa yang tersirat dalam hati Andini.
“Mas! Lepaskan!” Andini berusaha melepaskan diri dari pelukan lelaki itu. Namun, usahanya sia-sia. Ardi semakin mendekapnya erat. Bahkan, Andini merasakan ciuman pria itu di pucuk kepalanya, membuat Andini bergeming. Ia kemudian ikut larut akan pelukan hangat dari pria yang namanya tetap awet di hatinya selama ini.
Berapa saat lamanya kedua orang yang berbeda status itu saling melepaskan rindu, saling mendengarkan detak jantung yang semakin berdegup kencang dengan mata saling terpejam, menikmati rasa cinta yang menggelora di hati keduanya.
“Andini?! Apa-apaan ini?!” Teriakan kencang dari seseorang yang tiba-tiba muncul di pintu yang memang sudah terbuka.
