Bab 10 : Lelaki yang Tersakiti
“Bu … angis?” suara Arjuna yang juga ikut terbangun membuat dua orang yang perpelukan dalam diam itu saling melepaskan diri.
“Eh, Juna udah bangun.” Andini dengan suara parau menyapa anaknya yang sudah duduk sendiri, menatap ibunya dengan wajah heran. Gegas ia bangkit dari pangkuan suaminya, lalu menghampiri sang putra.
“Udah sore. Yuk, Juna ibu mandikan dulu, ya?” Andini menggendong tubuh kecil Arjuna yang masih saja tak melepaskan pandangannya dari wajah sang ibu.
“Bang, aku mandikan Juna dulu,” pamit Andini seraya melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.
“Ya,” jawab Hendra sambil menatap tubuh istrinya sampai menghilang dari balik pintu kamar. Ia menghela napas panjang. Pria yang berhati besar memaafkan kesalahan istrinya itu, kemudian membereskan semua mainan yang berserakan ke dalam box tempat penyimpanan mainan anaknya.
***
“Abang keluar sebentar, ada perlu.” Hendra yang sudah selesai mandi sore, pamit pada Andini yang sedang menyuapi Arjuna makan di depan televisi.
Andini hanya menganggukkan kepalanya sambil memperhatikan suaminya dengan hati bertanya-tanya, tapi ia tak berani membuka mulut.
Tidak lama kemudian, terdengar suara motor Hendra yang melaju pergi.
“Bang Hendra pergi ke mana, ya? Kok gak balik ke proyek lagi?” pikir Andini dengan tangan tetap menyuapi anaknya makan.
Hendra menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang pernah didatanginya tiga tahun yang lalu. Saat itu, ia hanya menatap dari kejauhan, tapi kali ini, ia akan menemui pemilik rumah. Kebetulan sekali orang yang ingin ditemuinya itu sedang duduk di depan rumahnya sambil merokok.
Ardi tampak sedikit kaget begitu tamu yang datang ke rumahnya sore itu adalah suami dari wanita yang sedang diincarnya kembali.
“Ada perlu apa, Pak? Tiba-tiba datang ke gubuk saya.” Ardi menyapa dengan santai pada pria yang kini sudah berdiri sekitar dua meter di hadapannya.
Hendra tak menjawab, hanya matanya menatap tajam pria yang kembali mendekati istrinya.
“Silakan duduk kalau mau!” Ardi memberi isyarat dengan matanya ke kursi yang ada di sebelahnya.
“Gak usah! Saya hanya ingin tahu, kenapa kamu mengganggu istri saya lagi? Bukannya dulu kamu pergi begitu saja setelah menodainya?” Hendra langsung bertanya tanpa basa-basi. Matanya terus menatap pria yang sore itu hanya memakai celana pendek. Tubuh berotot milik Ardi masih menyisakan keringat. Rambut gondrongnya juga dikuncir asal. Sepertinya, pria cinta pertama Andini itu baru saja selesai berolah raga atau mengerjakan sesuatu yang membuatnya berkeringat. Dengan fisik seperti itu, Hendra memaklumi, kalau istrinya akan tergoda lagi oleh pria muda di hadapannya ini.
“Dulu, saya melakukan itu juga gara-gara Bapak merebut Andini dari saya.” Ardi dengan santai bicara sambil mengembuskan asap rokoknya ke udara.
“Kenapa sekarang Ardi menyalahkan diriku?” pikir Hendra heran. “Maksudmu?”
“Gara-gara Bapak melamar Andini dan dia dipaksa ibunya menerima lamaran itu. Padahal saya sudah menjaga Andini selama setahun dan akan menikahinya suatu hari nanti. Apa salah, kalau saya kemudian mencicipinya terlebih dulu sebelum dia ditiduri oleh pria tua, duda lagi!” Ardi bicara sambil menatap tajam wajah pria yang juga masih terlihat tampan dan bertubuh kekar. Meski sudah berumur, suami Andini itu masih sangat menarik. Tidak mudah bagi Ardi untuk merebut Andini kembali dari sisi pria itu.
Hendra terdiam mendengar ucapan sinis dari Ardi. Sesaat, ia cukup terhenyak oleh penjelasan laki-laki masa lalu istrinya itu. Ia tak menyangka, ternyata lamarannya kepada wanita muda itu yang membuat Andini dan Ardi berpisah.
“Saya tidak tahu kalau Andini sudah punya pacar saat itu, tapi karena dia sudah menjadi istri saya, tolong jangan mendekatinya lagi.” Hendra berkata setelah terdiam sejenak. Ia menghela napas berat. Maksud hatinya tadi ingin melabrak Ardi, kini malah ia yang menjadi merasa bersalah.
“Tidak bisa! Aku akan merebut Andini kembali!” Ardi dengan enteng berucap, tanpa ada rasa takutnya terhadap suami dari Andini itu.
“Gila, Kamu! Andini itu sudah punya anak dengan saya!” geram Hendra dengan wajah merah padam.
“Emangnya kenapa? Cinta suci itu tidak memandang status, 'kan?” tanya Ardi berlagak polos.
“Ini bukan cinta suci namanya! Ini merusak rumah tangga orang!” teriak Hendra tak tertahan, Ardi benar-benar membuatnya naik darah. “Jangan-jangan, kamu hanya berniat mempermainkan Andini saja!”
“Ada apa ini?! Ribut-ribut! Brisik tahu!” Dion kakaknya Ardi tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Penampakannya semakin menyeramkan. Mata merah seperti bangun tidur, rambut gondrong dan kusut. Kulitnya juga semakin legam. Sangat jauh berbeda dengan penampilan sang adik saat ini.
“Kamu kakaknya Ardi ‘kan? Tolong kasih tahu adikmu ini. Jangan ganggu-ganggu istri orang! Masih banyak perempuan yang tak bersuami di luar sana.” Hendra langsung berkata kepada Dion yang ia tahu adalah satu-satunya saudara Ardi yang tinggal di kampung itu.
“Ini istri orang yang mana lagi, nih, Ar? Kamu tuh ya, kok, seneng bener sama bekas-bekas orang.” Dion malah kemudian tertawa terbahak-bahak. Sang adik hanya mesem-mesem mendengar ucapan kakaknya.
“Dasar orang gak benar dua-duanya,” geram Hendra dalam hati sambil memandang kakak beradik itu dengan menahan amarah. Buku jarinya terlihat memutih saking kencangnya ia mengepal tangannya.
“Heh, Ardi! Ini peringatan pertama dan terakhir dari saya! Jangan coba-coba ganggu istri saya lagi! Ingat itu!” Hendra membalikkan tubuhnya dan langsung pergi dari hadapan kedua orang yang masih tertawa-tawa itu.
“Saya gak janji lho, ya?”
Hendra masih sempat mendengar suara ejekan dari mulut Ardi, tapi ia tak ingin berlama-lama di tempat itu. Kepalanya serasa mendidih menahan emosi melihat tingkah Ardi dan kakaknya.
***
Malam harinya, Hendra dan Andini tidur saling diam. Saling membelakangi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hendra masih memikirkan pertemuan dengan Ardi tadi sore. Hatinya masih gelisah melihat laki-laki yang tak mengubris sama sekali tegurannya. Ia jadi khawatir, apalagi besok pagi-pagi sekali, ia harus kembali ke lokasi proyeknya.Ia sudah izin tidak masuk kerja hanya untuk sehari ini saja.
Sedangkan, Andini masih memikirkan suaminya yang seperti tidak sepenuh hati memaafkannya. Apalagi setelah kembali ke rumah sore tadi. Wajah suaminya itu terlihat kusut. Bahkan, Arjuna yang ingin bermain bersama ayahnya, tidak mendapat tanggapan dari Hendra. Suaminya itu seolah-olah tak mendengar permintaan anaknya.
Keesokan paginya, sekitar pukul enam, Hendra bersiap berangkat kembali ke lokasi proyeknya. Ia membutuhkan waktu tiga jam berkendara dengan motor ke tempat pekerjaannya itu. Pukul sembilan pagi, ia harus sudah tiba di tempatnya mencari nafkah selama ini.
“Abang berangkat dulu, Dini. Tolong janjimu ditepati! Jangan sampai kamu mengizinkan lagi laki-laki itu masuk ke rumah ini!” Hendra mengingatkan istrinya lagi.
“Iya, Bang,” jawab Andini pelan. Ia mengantar suaminya sampai ke teras seperti biasanya.
“Ya, sudah. Jaga Arjuna baik-baik.” Hendra langsung berangkat tanpa ciuman kening untuk sang istri. Ia melupakan kebiasaannya selama tiga tahun ini yang selalu mencium dan memeluk istrinya saat akan berangkat bekerja. Kini, hubungan mereka tiba-tiba menjadi canggung.
Andini masih berdiri di teras memandang punggung suaminya yang melaju dengan kendaraannya. Ia masuk kembali ke dalam rumah setelah sang suami tak terlihat lagi.
***
Andini membiarkan saja suara ketukan di pintunya. Ia tahu, itu pasti Ardi yang datang. Setelah dua minggu berlalu, baru kali ini pria itu datang lagi. Meskipun, Andini sangat merindukan sosok Ardi, tapi ia tidak akan melanggar janjinya pada Hendra. Ia akan berusaha untuk tidak terlena oleh cinta pertamanya itu.
Akhirnya, suara ketukan itu pun menghilang. Andini menghela napas lega. Namun, hatinya kembali terasa kosong. Hari-harinya kembali ke masa ketika Ardi meninggalkannya dulu. Penuh penantian pada pria cinta pertamanya itu. Apalagi hubungannya dengan Hendra belum juga kembali harmonis. Andini yang sudah terbiasa diperlakukan dengan mesra oleh suaminya, hanya bisa diam. Ia tidak bisa memulai, selama ini, sang suamilah yang selalu membuat suasana menjadi ceria dan romantis.
Sedangkan Hendra juga entah kenapa, hatinya selalu dilanda kecemasan dan kecurigaan selama bekerja di lokasi proyeknya. Ia merasa Ardi dan istrinya, mungkin saja masih bertemu saat ia tak di rumah. Sebenarnya Hendra ingin menyuruh orang untuk mengawasi anak dan istrinya, tapi ia juga berat untuk minta tolong kepada salah satu tetangga mereka. Ia tidak ingin masalah rumah tangganya tersebar ke mana-mana. Apalagi selama tinggal di lingkungan itu, Hendra juga tidak terlalu akrab dengan para tetangganya. Selain karena lokasi rumah yang berjauhan, juga karena Hendra sering berada di lokasi pekerjaannya.
***
“Dini! Aku tahu kamu ada di belakang pintu, aku sangat merindukan kamu, Din, biarkan aku melihat wajahmu sebentar saja.” Suara Ardi terdengar jelas oleh Andini yang memang diam-diam berdiri di belakang pintu rumahnya.
Ardi kembali datang ke rumah Andini setelah kemarin tidak dibukakan pintu oleh wanita itu. Namun, ia tak berputus asa. Ia tak mampu menahan hatinya yang terus meronta ingin bertemu mantan pacarnya itu. Ia tak peduli lagi akan peringatan yang telah diberikan oleh suaminya Andini.
“Tolong, jangan datang lagi, Mas. Aku tak mau suamiku akan salah paham lagi.” Akhirnya, Andini tak sanggup juga untuk tidak bicara. Ia menggigit bibirnya menahan rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Rasa rindu yang mendalam untuk Ardi lebih dominan, membuat Andini benar-benar tersiksa.
“Dini, ayo kita wujudkan lagi cinta kita yang dulu. Kembalilah padaku. Aku tak peduli kamu sudah punya anak. Kamu tetap Andini yang kucintai dulu,” rayu Ardi begitu mendengar wanita di belakang pintu itu akhirnya bicara.
“Tidak mungkin, Mas! Cinta kita sudah usai, pergilah selamanya dari hidupku.” Andini berkata dengan air mata yang kembali memenuhi rongga netranya. Ia berusaha melawan kehendak hatinya yang sudah tergila-gila selama ini pada Ardi.
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku akan pergi selamanya dari hidupmu, tapi aku ingin melihatmu untuk terakhir kalinya, Andini.” Ardi masih bertahan dengan keinginannya.
Andini tak menjawab lagi, mendengar ucapan Ardi membuat tangisnya semakin tak tertahan. Ia terduduk di lantai depan pintu. Menutup wajah dengan kedua tangannya. Hingga kemudian, terdengar suara Ardi. “Aku pergi, Dini. Selamat tinggal.”
“Selamat tinggal, Mas. Semoga kamu menemukan kebahagianmu,” doa Andini begitu ia mendengar langkah Ardi pergi dari balik pintu.
Andini berusaha menenangkan dirinya. Cinta masa lalunya itu sudah pergi kembali. Ia akan berusaha menata hatinya dalam menjalani hidup bersama suami dan anaknya.
Tidak lama kemudian, Andini berdiri dari duduknya, menghapus sisa airmata di wajah. Lalu, tangannya membuka kunci pintu. Meskipun ia tahu Ardi sudah pulang, ia hanya ingin melihat bekas jejak yang ditinggalkan oleh laki-laki yang namanya tak mau pergi dari hatinya.
Pintu itu belum terbuka sempurna ketika sebuah tangan kekar mendorong dari luar. Andini kaget setengah mati, apalagi kemudian sosok bertubuh tegap yang tiba-tiba muncul itu memeluk tubuh mungilnya dan mendorongnya ke dalam.
Andini belum sempat membuka mulut, ketika ia merasakan bibir hangat dari pria yang memeluknya itu menutupnya.
Wanita berlesung pipi itu membelalak kaget mendapatkan serangan tiba-tiba itu. Apalagi, setelah melihat wajah yang sedang menciumnya adalah pria yang dikiranya sudah pergi berapa saat yang lalu.
