Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 : Tamu Tampan di Siang Bolong

Andini baru saja menidurkan Arjuna siang itu, ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumahnya. Jarak kamar tidurnya yang berdekatan dengan pintu ruang tamu kecil itu sangat memungkinkan ia mendengar suara ketukan yang cukup keras itu. Buru-buru Andini keluar dari kamar. Ia takut suara ketukan yang hampir berupa gedoran itu akan membangunkan Arjuna yang baru saja tertidur.

“Siapa sih! Gak sabaran amat!”

Tanpa ada kecurigaan, wanita yang semakin seksi itu langsung membuka kunci pintu rumahnya. Andini hampir saja terjatuh saking kagetnya melihat sosok yang berdiri tegap di depan pintu.

“M-mas Ardi?” Andini dengan terbata menyebut nama itu. Nama yang sudah hampir tiga tahun berusaha untuk ia lupakan. Tanpa disadari, bibir ranumnya sedikit terbuka, saking shock-nya melihat pria yang tiba-tiba muncul kembali setelah menghilang begitu saja.

“Apa kabar, Andini?” suara bariton Ardi menyadarkan Andini dari keterpakuannya.

Sosok itu masih tidak berubah. Beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa, bibir tipis, dan rahang kokoh serta tegas. Rambut laki-laki itu pun masih gondrong, tapi dengan potongan yang lebih rapi. Masih memakai baju kebesaranya, kaos putih dan celana jeans model sobek-sobek serta jaket jeans sewarna dengan celananya. Yang berbeda adalah, kulit Ardi terlihat lebih cerah dan pakaiannya juga bersih. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.

“Boleh aku masuk, Andini?” Ardi kembali bicara begitu wanita di hadapannya hanya diam menatapnya.

“Ngapain ke sini lagi?” tanya Andini dingin. Jantungnya kembali berdegup kencang seperti dulu. Terlihat dari tangannya yang gemetar memegang pintu.

“Aku kangen sama kamu,” jawab Ardi dengan senyum smirk-nya.

“Maaf! Aku sudah bersuami dan punya anak, tidak pantas anda untuk kangen lagi. Jadi, tolong pergi dari sini!” Andini berkata ketus, lalu bersiap menutup pintu rumahnya kembali. Namun, ujung sepatu kets milik Ardi sudah terlebih dulu menghalangi pintu untuk tertutup rapat.

“Bukan begitu caranya menyambut tamu, Dini!” Tangan kekar Ardi mendorong pintu, kemudian dengan santai melangkah masuk. Andini yang terdorong ke belakang hanya terpana akan tingkah Ardi yang masih saja kasar seperti dulu.

“Hm … rumahmu semakin bagus, tentu suamimu yang tua itu bekerja keras untuk menyenangkan istri muda secantik kamu, ya?” Ardi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang tampak berbeda dari terakhir kali, ia datang ke rumah itu.

“Mas Ardi! Tolong keluar dari rumah ini, sebelum aku berteriak, ya!” Andini mengancam dengan suara kecil. Ardi tertawa geli mendengarnya.

“Teriak aja! Tetanggamu, tuh … jauh di sana!” Ardi menunjuk lewat jendela yang terbuka sambil tertawa semakin lebar.

“Jadi, apa maksudmu datang ke sini?” Andini seperti hilang akal menghadapi pria yang tingkahnya semakin membuat dadanya berdebar keras. Ia takut Ardi akan berbuat seperti dulu lagi. Air mata pun tanpa disadarinya mengalir di pipi mulusnya. Luka yang dulu pernah digores Ardi di hatinya yang paling dalam, kembali terasa sakit dan berdarah.

“Hm … santai, Dini. Gak usah nangis. Aku hanya mampir sebentar. Kalau kamu memang tidak suka, aku akan pergi sekarang.” Ardi melangkah mendekati Andini yang masih berdiri di dekat pintu. Pria itu kemudian berhenti melangkah tepat di hadapan Andini. Mata yang basah itu membulat sempurna begitu Ardi memangkas jarak antara mereka. “Kamu semakin cantik, Dini.”

Andini bergeming, napas hangat dari pria itu sangat memabukkannya. Tak ada kata yang terucap dari bibir merah seperti bunga mawar itu, hanya matanya yang terpaku menatap pria tampan yang juga menatapnya tajam.

“Aku pulang dulu, kapan-kapan aku akan datang lagi.” Ardi menepuk bahu wanita yang sudah ditinggalkannya begitu saja tiga tahun yang lalu.

***

Ardi sudah lama pergi dari rumah itu, tapi wanita yang kini duduk di kursi tamu rumahnya masih tergugu menahan tangis. Hatinya berkecamuk, menahan cinta yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam. Namun, kini kembali hadir menyapa.

“Bang Hendra … maafkan hatiku yang tidak tahu diri ini.” Andini terus saja menangis, entah kenapa sosok Ardi begitu membuatnya kembali terpesona. Padahal, ia bukan lagi Andini yang dulu. Kini ia adalah seorang istri dan seorang ibu, tapi kenapa perasaan itu masih saja sama. Cinta yang mendalam untuk pria yang jelas-jelas sudah pernah melecehkan dan lari dari tanggung jawabnya. Andini merintih, mengutuk kebodohannya yang masih saja tidak bisa membenci pria masa lalunya itu.

***

Kamu kenapa, Sayang? Sakit?” Hendra mengelus punggung istrinya yang sejak ia datang sore tadi tampak tidak bersemangat dan terlihat sering melamun.

“Maaf ya, Bang. Aku sedikit gak enak badan,” jawab Andini tanpa membalikkan tubuhnya, tetap membelakangi sang suami. Ia tahu, suaminya itu butuh kehangatan darinya. Biasanya, Andini selalu merespon sentuhan dari suaminya itu. Namun, sejak bertemu kembali dengan Ardi dua hari yang lalu, membuat pikirannya tidak pernah bisa lepas dari sosok Ardi. Yang lebih gila lagi, Andini ingin melihat laki-laki itu kembali.

“Ya, sudah, kamu istirahat saja. Pasti Arjuna membuatmu lelah ya, seharian menjaganya.” Hendra mencium rambut istrinya penuh kasih sayang. Andini memejamkan mata, ia merasa bersalah kepada suaminya yang sangat sayang padanya.

“Maafkan aku, Bang ….” Hati Andini merintih sedih. Air matanya kembali menetes tak tertahankan. Andini mendekap mulutnya, ia takut suaminya akan mendengar isak tangisnya. Untung saja kemudian, Hendra bangkit dari tempat tidur sambil mengusap lembut punggungnya. “Abang merokok di luar dulu, ya, belum ngantuk, nih.”

Keesokan paginya, Andini tak bisa menolak lagi ketika sang suami memeluknya erat dengan napas memburu. Meskipun kali ini dengan perasaan yang berbeda, Andini tetap melayani keinginan suaminya. Ia memaklumi karena pasti pria yang sudah menikahinya selama tiga tahun itu butuh nafkah batinnya setelah seminggu mereka berjauhan.

“Ayo mandi bareng,” bisik Hendra setelah menuntaskan olah raga pagi bersama istri tercintanya.

“Abang duluan aja mandinya, aku ngumpulin nyawa dulu, nih,” jawab Andini yang sebenarnya masih sangat mengantuk. Rasanya baru saja ia terlelap ketika Hendra menginginkannya pagi ini.

“Ya, udah. Abang mandi duluan.” Hendra mencium kening istrinya, lalu beranjak ke kamar mandi.

Hari Minggu adalah hari yang sangat disukai oleh pria yang masih tampak gagah di usianya yang ke-43 tahun. Biasanya, Hendra akan bermain dengan jagoan kecilnya begitu Arjuna bangun dari tidurnya. Berlarian dan bermain bola di halaman rumah adalah yang paling disukai oleh si kecil karena ibunya tidak mau bermain seperti itu ketika sang ayah berangkat kerja. Hendra juga akan mengantar Andini ke pasar dengan sepeda motornya untuk belanja keperluan rumah tangga mereka seminggu ke depan.

Senin pagi, Hendra kembali ke lokasi proyeknya dengan hati yang malas. Selalu seperti itu setiap minggunya. Rasanya waktu berkumpul dan bercengkrama sangat kurang dirasakannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, ia harus tetap bekerja di perusahaan yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di sana. Di usianya yang sekarang ini, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang baru lagi. Jadi, mau tidak mau, Hendra akan terus bekerja di tempat yang sama demi kelangsungan hidup bersama keluarga kecilnya.

Kini, tinggallah Andini yang kembali melewati hari-hari hanya berdua dengan putra semata wayangnya yang kini semakin aktif. Bocah berusia dua tahun itu, harus selalu diawasi Andini karena tangan kecil itu sering memegang apa yang diinginkannya. Hanya saat Arjuna tidur siang saja, Andini bisa istirahat atau mengerjakan pekerjaan rumah.

Andini baru saja selesai makan siang ketika suara ketukan di pintu rumahnya kembali terdengar. Hatinya langsung berdebar kencang. Apakah Ardi yang datang lagi?

Jika benar itu Ardi, Andini ingin mengabaikan saja, tapi hatinya yang paling dalam menolak. Rasa rindu untuk mantan kekasihnya itu masih sangat kuat, mengalahkan logikanya bahwa ia tidak pantas menerima tamu laki-laki, kala suaminya tidak berada di rumah.

Suara ketukan di pintu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Andini semakin gugup dan yakin bahwa yang datang adalah Ardi. Hanya pria itu yang selalu bertamu dengan cara tidak sopan seperti itu.

“Lama banget sih, buka pintunya! Hampir saja aku dobrak!” protes Ardi begitu pintu dibuka Andini. Wanita itu sampai melongo heran mendengarnya. Seolah-olah rumahnya itu bebas untuk keluar masuk bagi pria yang kali ini mengikat rambut gondrongnya dengan karet. Sangat keren sekali di mata Andini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel