Bab 6 : Kantong Lusuh
“Kamu gak apa-apa abang tinggal berdua saja dengan Juna.” Hendra dengan berat hati pamit pada istrinya di hari ketiga sang ibu mertua meninggal. Rabu pagi, ia sudah harus mulai bekerja lagi di lokasi proyek. Bosnya hanya memberi izin selama dua hari saja.
“Iya, gak apa-apa, Bang. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja sama Juna, sampai Abang pulang Sabtu besok.” Andini menenangkan suaminya dengan memberikan senyum manisnya. Lesung pipinya yang menawan membuat Hendra meraih wajah sang istri dan menciumnya lama.
Suara rengekan Arjuna yang sedang bermain sendiri di dekat televisi menyadarkan kedua orang tuanya yang tengah bermesraan. Hendra melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu sambil tertawa lebar mendekat kepada sang putra.
“Kenapa anak ayah nangis? Cemburu ya, cuma ibu yang ayah peluk.” Hendra mengangkat tubuh putranya ke atas dengan lengannya yang kokoh. Arjuna langsung tertawa cekikikan, begitu sang ayah menaik turunkan tubuhnya di udara.
Setelah suaminya berangkat ke lokasi proyek, Andini menyibukkan dirinya dengan pekerjaan rumah. Ia juga menyempatkan diri di waktu luangnya membersihkan dan merapikan kembali kamar bekas ibunya. Rencananya, ia akan menata ulang kamar itu untuk menjadi kamar milik Arjuna. Barang-barang Arjuna yang ada dalam kamar tidurnya akan dipindahkan setelah kamar itu bersih dan rapi.
Di hari Jumat siang, Andini kembali ke kamar ibunya setelah menidurkan Arjuna. Ia membawa beberapa plastik putih ukuran besar. Ia akan menata ulang isi lemari tua milik ibunya yang masih terlihat kokoh.
Andini mulai memilah baju-baju sang ibu, yang masih layak dipakai dan yang sudah tak layak dipakai. Pakaian-pakaian itu lalu dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapi memakai isolasi.
Rak pertama dan kedua sudah selesai dirapikan. Plastik-plastik yang berisi baju itu disusun di rak nomor dua. Rak pertama akan menjadi tempat pakaian Arjuna nantinya. Sekarang, tinggal rak paling bawah yang akan dirapikannya. Baju sehari-hari ibunya yang lusuh. Rak terakhir yang cukup berantakan.
“Apa ini?" Andini dengan heran menemukan sebuah kantong dari kain yang terlihat dijahit sendiri dengan tangan oleh ibunya. Kantong yang dilengkapi dengan tali pengikat ujungnya itu dibuka oleh Andini. Matanya terbelalak begitu isi kantong itu dituangkan ke lantai.
“Apa ini?” Andini dengan heran menemukan sebuah kantong dari kain yang ia tahu dijahit sendiri dengan tangan oleh ibunya. Kantong yang dilengkapi dengan tali yang mengikat ujungnya itu dibuka oleh Andini. Matanya terbelalak begitu isi kantong itu dituangkan di lantai.
Andini menutup mulutnya yang terbuka karena kaget, ia tak mampu berkata-kata begitu melihat isi kantong itu adalah gulungan-gulungan uang yang diikat dengan gelang karet.
“Ya, Allah … dari mana ibu mendapatkan uang sebanyak ini?” batin Andini tak percaya. Sesaat kemudian, ia menghitung jumlah gulungan uang yang rata-rata terdiri dari uang pecahan dua puluh ribu, sepuluh ribu dan lima ribu. Ada sejumlah dua puluh gulungan uang. Terakhir, di bawah gulungan uang itu, Andini melihat kertas putih yang dilipat empat. Setelah kertas yang terdiri dari dua lembar itu dibuka Andini, ternyata adalah surat perjanjian sewa kios ibunya di pasar.
Lembar pertama surat perjanjian sewa kios tahun pertama yang disewakan dengan nominal satu gram emas per bulan. Kertas yang satu lagi juga surat perjanjian sewa untuk tahun kedua yang sudah berjalan selama delapan bulan dengan nominal sewa yang sama. Penyewanya masih sama, Bu Mira—teman ibunya sesama pedagang di pasar. Andini yang dulu sering datang ke pasar sebelum menikah cukup kenal dekat dengan Bu Mira.
Tak terasa air mata Andini tumpah kembali, mengingat ibunya yang sepertinya tidak memakai sedikitpun uang dari hasil sewa kios peninggalan ayahnya itu. Andini tahu kios itu mulai disewakan ibunya kala Andini sedang hamil dua bulan. Kini usia Arjuna sudah tiga belas bulan. Berarti kios itu sudah disewa selama dua puluh bulan, sama dengan jumlah gulungan uang yang ditemukan Andini.
“Kenapa uang ini gak Ibu pakai aja untuk beli baju atau apapun yang Ibu suka, Bu? Apa rencana Ibu dengan uang ini? Apa memang sengaja Ibu tinggalkan buat aku? Ibu gak pernah membicarakan masalah uang ini sama aku selama ini.” Andini menangis pilu mengenang sang ibu yang hanya memakai pakaian baru setahun sekali saat lebaran saja. Sehari-harinya hanya memakai pakaian lusuh, bahkan ada yang penuh dengan tambalan. Dulu, Andini pernah bertanya pada ibunya ketika awal-awal pernikahannya.
“Bu, itu bajunya udah jelek banget, ada tambalannya. Besok kita ke pasar beli baju buat Ibu, ya? Uang belanja dari Bang Hendra masih sisa banyak nih,” ajak Andini kala itu.
“Simpan aja sisa uangnya buat keperluan kamu, Din. Ibu juga pakai baju begini di rumah aja kok, paling ke kebun belakang. Buat apa pakai yang bagus,” jawab ibu Andini sambil tertawa lebar.
Selama ini, hidup mereka memang sangat sederhana. Andini pun hanya lulusan SMP. Dulu, selain karena biaya yang kurang, ayahnya juga berat melepas Andini untuk melanjutkan sekolah dan tinggal di Kabupaten yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari kampung mereka. Andini kemudian hanya diikutkan kursus menjahit dan memasak yang diadakan oleh ibu-ibu PKK dua kali seminggu di balai desa.
Hidup mereka membaik setelah Andini menikah. Hendra mencukupi semua keperluan rumah tangga mereka, meski tidak berlebihan, uang belanja yang diberikan oleh suami Andini itu lebih dari cukup. Ibunya tidak perlu bersusah payah lagi untuk mencari uang dengan berjualan sayur di pasar seperti biasanya.
“Semoga Ibu dan Ayah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah. Tidak lagi hidup dalam kesusahan,” doa Andini dengan air mata bercucuran.
Setelah puas mengeluarkan semua kesedihannya, Andini kemudian memasukkan kembali gulungan-gulungan uang ke dalam kantong lusuh itu tanpa membuka dan menghitung jumlah uangnya. Andini yakin jumlah uang tersebut pastilah sejumlah nilai sewa dari surat perjanjian itu. Ia memaklumi kalau ibunya tidak menyimpan uang itu ke bank karena bank jauh berada di Kabupaten.
Wanita yang masih berduka itu kembali merapikan rak baju paling bawah. Kantong uang ibunya diletakkan di dasar paling bawah dan di atasnya ditumpuk kembali dengan pakaian dan kain-kain milik ibunya.
***
Meskipun merasa sangat kehilangan akan sosok ibunya, yang selama ini tidak pernah berjauhan, Andini berusaha untuk membiasakan diri hidup tanpa ibunya lagi. Apalagi, Arjuna juga semakin aktif dan sudah bisa berjalan hingga membuat Andini terhibur oleh putra kecilnya yang lucu itu. Suaminya juga kemudian setiap pulang ke rumah di akhir pekan selalu mengajak istri dan anaknya jalan-jalan ke kota atau ke tempat wisata.
Tak terasa setahun pun berlalu, selama itulah Andini hidup hanya bertiga dengan suami dan putranya. Meski kini usia Arjuna sudah dua tahun, Andini belum lagi ingin menambah momongan. Ia ingin memberikan kasih sayang dan perhatian penuh untuk Arjuna dulu, walaupun suaminya sudah sering bercanda ingin menambah anak lagi.
“Kamu masih suntik KB, Sayang?” Hendra meraih pinggang istrinya yang sedang tidur memeluk Arjuna yang baru saja tertidur pulas.
“Masih, Bang. Kenapa emang? Pasti ingin suruh aku gak suntik lagi biar hamil ‘kan?” tebak Andini sambil mencubit pipi suaminya yang bercambang halus.
“Iya sih … entar kalau kelamaan, abang keburu tua, terus gak bisa menghamilimu lagi, gimana dong?” ujar Hendra seraya memeluk tubuh mungil sang istri yang kini sudah tidur miring menghadapnya.
“Ah, mana ada bisa begitu! Dulu pas ibu hamil aku, ayah udah usia empat puluh lima tahun katanya. Nah … Abang juga baru empat puluh dua.” Andini tertawa kecil, memperlihatkan lesung pipinya yang menggemaskan hati pria yang memeluknya itu.
“Abang ingin punya anak satu lagi aja, gak apa-apa. Apalagi kalau dapat perempuan nantinya, biar anak kita sepasang.” Hendra mencium kening istrinya lembut.
“Tapi Arjuna masih dua tahun, Bang. Nanti kalau ada adiknya, 'kan kasihan. Pasti perhatianku akan lebih kepada adik bayinya.” Andini masih mencoba memberi pengertian suaminya yang sudah kebelet minta anak lagi itu.
“Hm … kalau ada pekerjaan yang lain, mau rasanya abang cari pekerjaan yang dekat dengan kampung kita ini, biar tiap hari abang bisa pulang ke rumah. Kadang, abang berat meninggalkanmu hanya berdua saja di rumah dengan Arjuna.” keluh Hendra.
Andini terdiam mendengar keluhan suaminya yang terkadang membuat ia bingung. Suaminya itu terlalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Padahal Andini merasa tidak masalah hanya berdua saja dengan putranya sehari-hari di rumah.
“Ya udah … kalau Abang memang maunya nambah anak lagi, bulan depan aku gak suntik KB lagi deh,” putus Andini sesaat kemudian.
“Benaran, Sayang? Kamu gak merasa terpaksa ‘kan?” tanya Hendra dengan gembira. Tubuh mungil istrinya kemudian dengan enteng diangkatnya ke atas tubuh kekarnya. Membuat sang istri terpekik kaget.
“Sstt … jangan berisik! Nanti Arjuna bangun, gagal nih bikin adik buat dia,” bisik Hendra di telinga Andini.
“Gak mungkin jadi adik lah, 'kan aku baru suntik KB minggu lalu.”
“O … begitu ….” Hendra memulai aksinya di tubuh sang istri yang kini semakin seksi.
