Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 : Yang Datang dan Pergi

“Selamat ya, Pak. Ini putranya sudah dibersihkan.” Perawat asisten bidan menyerahkan bayi mungil itu ke tangan Hendra. Laki-laki yang kembali menjadi seorang ayah itu masih duduk di samping Andini yang masih dirawat oleh bidan usai melahirkan barusan.

Wanita berusia dua puluh satu tahun itu melahirkan secara normal setelah berjuang menahan rasa sakit hampir tujuh jam lamanya. Rasa sakit itu langsung hilang begitu melihat bayinya yang berjenis kelamin laki-laki itu lahir dalam kondisi normal dan sehat.

“Wah … jagoan ayah ganteng sekali! Cup-cup, Sayang … haus, ya ….” Hendra dengan penuh suka cita langsung mengajak putranya bicara. Andini yang melihat jadi ikut tersenyum.

“Arjuna, itu namamu, Nak. Sekarang ayah mau azanin kamu dulu, ya? Biar jadi anak sholeh dan sayang sama ibumu.” Hendra mencium bayinya, lalu mengazankan sang putra pelan di telinga kanan.

Usai mengazankan putranya, Hendra menyodorkan bayi itu kepada Andini. “Coba kasih susu dulu, Dek. Kayaknya Arjuna haus. Tuh, lihat aja mulutnya kayak nyari-nyari gitu.”

Andini yang sudah selesai dirawat bidan di area jalan lahirnya, dengan wajah bahagia menyambut putra mereka yang mirip dengannya.

“Abang tadi kenapa bilang anak kita kalau udah besar hanya sayang sama aku aja, sama ayahnya juga harus sayang dong,” ujar Andini yang penasaran mendengar ucapan suaminya tadi.

“Iya lah, kalau Arjuna udah usia dua puluhan, abang mungkin sudah tidak ada di dunia ini, hanya kamu orang tuanya yang tersisa, makanya dia harus lebih sayang sama kamu.” Hendra kembali mencium kening istri tercintanya.

“Ah, Abang kenapa bicara seperti itu? Meski Abang jauh lebih tua dari aku, tapi masalah umur 'kan tidak melihat muda atau tua aja.” Andini menatap lembut wajah suaminya yang sejak mereka tiba di Puskesmas itu terus saja khawatir akan dirinya. Hendra dengan setia mendampingi dan menggenggam erat jemari tangannya selama proses melahirkan tadi.

“Tumben istri abang jadi bijaksana begini bicaranya.” Hendra tersenyum senang mengelus rambut istrinya penuh kasih sayang.

“Iya, udah mulai ketularan tua, biar sama kayak Abang.”

***

Hanya dua hari Andini dirawat, Selasa siang, ia sudah kembali ke rumah bersama dengan bayi mungilnya. Hendra mendapat izin selama tiga hari dari perusahaannya untuk menemani sang istri melahirkan.

Ibunya Andini menyambut kepulangan cucu barunya dengan gembira. Wanita tua itu langsung menggendong dan mengajak Arjuna bicara, padahal sang bayi masih tertidur pulas. Hendra dan Andini saling melempar senyum melihat kebahagiaan orang tua mereka satu-satunya itu. Hendra juga sangat menyayangi ibu mertuanya karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Ia hanya punya seorang adik laki-laki yang tinggal bersama anak dan istrinya di rumah peninggalan orang tua mereka di kecamatan sebelah.

“Kamu istirahat dulu aja ke kamar, Din, biar Arjuna sama ibu dulu,” suruh Sarinah kepada putrinya yang masih berdiri dekat suaminya.

“Iya, Bu. Semalam aku memang kurang tidur, Juna minta susu terus.” Andini memandang sayu wajah suaminya yang juga terlihat mengantuk karena juga kurang tidur selama menunggui istrinya.

“Punya bayi memang begitu, jadi kalau dia tidur kita ikut tidur,” nasehat Sarinah lagi.

***

Hanya setahun ibunya Andini bisa menikmati kebahagiaan menimang cucunya, Sarinah tiba-tiba jatuh sakit. Sebelumnya, memang sudah terlihat fisik wanita berusia enam puluh tiga tahun itu sudah melemah.

“Bu, kita ke rumah sakit yang di Kabupaten aja ya, biar aku sewa angkotnya Mas Bahrul yang dekat pasar,” ucap Hendra begitu tiba di rumah di hari Sabtu sore itu.

“Gak usahlah. Kemarin, ibu sudah minta obat ke Pak Mantri. Ibu memang sering lupa minum obat darah tinggi, makanya suka kambuh,” tolak Sarinah sambil berusaha duduk dari ranjang kecilnya. Hendra membantunya untuk duduk. Namun, kepalanya kembali pusing.

“Udah … Ibu tiduran aja, nanti biar aku belikan soto ayam kesukaan ibu di warung Bu Joko.” Hendra kembali membantu sang mertua untuk tidur kembali dan menyelimuti tubuh Sarinah yang semakin kurus. “Aku keluar dulu ya, Bu.”

“Nak Hendra ….” Panggil Sarinah begitu sang menantu akan berjalan ke luar kamar.

“Iya, ada apa, Bu?” Hendra kembali mendekat ke ranjang kecil itu.

“Seandainya umur ibu tidak panjang lagi, tolong jaga baik-baik Andini dan cucu ibu ya, Nak. Kami tidak punya saudara yang lain.” Sarinah berkata dengan suara lemah sambil memandang sang menantu dengan mata sayu.

“Ibu jangan berkata seperti itu, Ibu harus kuat agar bisa segera sembuh kembali,” hibur Hendra dengan hati yang tiba-tiba menjadi sedih. Ia jadi teringat akan orang tuanya yang meninggal dunia lima tahun yang lalu, hanya berjarak enam bulan saja ibunya menyusul sang ayah menghadap Ilahi.

“Kamu harus berjanji sama ibu, Nak Hendra, agar ibu bisa pergi dengan tenang.”

“Iya, Bu. Aku pasti akan menjaga Andini dan Arjuna segenap kemampuanku karena memang aku sangat mencintai anak dan istriku,” janji Hendra sambil menggenggam tangan ibu mertuanya.

***

Dua hari kemudian, Sarinah mengembuskan napas terakhirnya tepat pukul setengah enam pagi di hari Senin. Wanita itu masih sempat melaksanakan salat Subuh sambil tidur di ranjangnya.

Andini menangis pilu begitu menyaksikan tubuh kurus ibunya yang sudah terbujur kaku di ranjang kecilnya. Padahal sudah dua hari ini, ia tidur di kamar ibunya, menunggui ibu tercintanya itu. Ia hanya pergi sebentar melihat Arjuna ke kamarnya, ketika kembali, ibunya sudah tiada. Padahal sebelumnya, Andini masih membantu ibunya berwudhu, sebelum salat Subuh.

“Innalillahi wainnailaihi rojiun …,” ucap Hendra yang menyusul ke kamar mertuanya begitu mendengar tangisan Andini.

“Ibu sudah pergi, Bang …. Aku gak punya ibu lagi ….” Andini menangis di dada suaminya yang langsung memeluknya.

“Ikhlaskan ibu, Sayang … masih ada abang yang akan menjagamu.” Hendra mencium kepala istrinya dengan sudut mata yang basah. Ia juga merasa sangat kehilangan ibu mertuanya yang begitu baik padanya selama hampir dua tahun tinggal bersama.

***

Hari itu juga sebelum waktu zuhur tiba, jenazah ibunya Andini langsung dikebumikan di pemakaman umum di desa mereka. Hendra sembari menggendong putra kecilnya terus memeluk bahu sang istri yang terus menangis sedih selama prosesi pemakaman.

“Ayo, kita pulang, Sayang. Kasihan Juna sudah mengantuk,” ajak Hendra kepada istrinya yang masih betah duduk di samping kayu nisan ibunya. Hanya tinggal mereka yang berada di area pemakaman itu.

Para tetangga yang ikut mengantar ke pemakaman baru saja meninggalkan tempat itu.

Andini berdiri setelah tangannya ditarik sang suami. Kemudian, mereka berjalan pulang ke rumah yang berjarak sekitar setengah kilometer. Arjuna terlihat sudah tertidur dengan kepala di bahu kekar sang ayah, satu tangan Hendra menggenggam erat tangan istri tercintanya.

Andini langsung masuk ke dalam kamar ibunya begitu tiba di rumah. Ia ingin menghabiskan waktu di kamar sang ibu. Menghidu aroma ibunya yang masih tertinggal di kamar berukuran tiga meter persegi itu.

Hendra menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar bekas mertuanya. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke kamar tidur mereka untuk meletakkan Arjuna di ranjang.

Andini duduk di pinggir ranjang. Kedua tangannya menyapu seprai yang sudah lusuh bekas tempat ibunya terbaring sakit selama seminggu ini. Kemudian, ia merebahkan tubuh lelahnya di ranjang kecil itu, memejamkan mata, mencoba mengingat kenangan-kenangan bersama sang ibu sejak kecil hingga berusia dua puluh dua tahun kini.

“Sayang, kamu makan dulu, ya? Sejak pagi kamu belum makan apa-apa.” Suara Hendra memutus lamunan Andini akan ibu tercintanya.

Pelan Andini membuka matanya, menatap sang suami yang kini duduk di pinggir ranjang. Mengelus kepalanya dengan lembut serta merapikan rambutnya yang berantakan. Hendra lalu mencium kening sang istri. Tangannya menyelip di belakang leher Andini, lalu tubuh kekar itu sudah menenggelamkan tubuh mungil sang istri ke dalam pelukannya dengan erat.

“Abang sedih melihatmu seperti ini, Sayang. Tolong berhenti menangis dan bersedih. Ibu juga tidak akan tenang di sana jika melihatmu seperti ini,“ ucap Hendra pelan sembari menghapus sisa air mata di pipi pucat istrinya.

Bukannya berhenti bersedih, Andini malah menangis kembali dalam dekapan suaminya. Hendra menghela napas panjang. Tangannya kemudian hanya bisa menenangkan dengan mengusap-usap punggung istrinya.

“Yuk, kita makan siang, abang sudah lapar nih.” Hendra mengurai pelukannya begitu tangis Andini sudah reda. Ia menatap lekat wajah istri tercintanya itu. “Apa mau abang gendong ke meja makan?”

Andini kembali menyembunyikan wajahnya di dada sang suami dengan tersenyum geli mendengar ucapan suaminya yang terkadang masih saja terdengar lucu di telinga Andini, meski dalam kondisi sedih seperti sekarang ini.

Wanita itu kemudian terpekik kaget karena tiba-tiba tubuhnya melayang, Hendra benar-benar membuktikan ucapannya, menggendong sang istri ke meja makan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel