Bab 4 : Cinta Tulus Sang Suami
Hanya sekali saja Andini mendapatkan tamu bulanannya setelah menikah dengan Hendra. Bulan kedua, ia sudah tidak mendapatkan lagi tamu rutinnya itu. Dua hari libur dalam sepekan benar-benar dihabiskan Hendra untuk memanjakan istri tercintanya. Laki-laki itu tidak memberi waktu Andini untuk bermuram durja. Kini, sang istri sudah mulai sering tersenyum bahkan tertawa lebar melihat suaminya yang selalu bisa membuatnya lupa akan segala kesedihan dan kepedihan hatinya. Apalagi terkadang Hendra mengajak istrinya menginap di penginapan yang terdapat di daerah tempat proyeknya berada. Alhasil, tidak lama kemudian, Andini pun hamil anak pertama mereka.
“Terima kasih ya, Sayang. Kamu sudah mengandung anakku.” Hendra mencium dan memeluk istrinya erat begitu bidan di Puskesmas memberitahukan bahwa Andini sudah hamil satu bulan.
Andini ikut senang melihat kebahagiaan suaminya yang baik hati. Dua bulan hidup bersama dengan Hendra, cukup membuat Andini merasa nyaman menjalani hidup barunya bersama laki-laki yang baru dikenalnya itu. Suaminya benar-benar menyanyangi dan memanjakannya, apalagi setelah ini, ia akan menjalani masa kehamilan, lalu akan sibuk mengurus bayi mereka setelah lahir nanti.
Yang paling bahagia mendengar kehamilan Andini tentu saja ibunya. Sarinah sampai meneteskan air mata memeluk putri semata wayangnya, begitu sang menantu memberi tahu bahwa Andini hamil anak mereka.
“Alhamdulillah … akhirnya kesampaian juga keinginan ibu untuk secepatnya menimang cucu.” Sarinah berkata dengan gembira. Ia kembali memeluk putri tercintanya dengan erat. Wanita bertubuh kurus itu tak henti-hentinya mengucap syukur. Setelah suaminya meninggal dunia karena sakit setahun yang lalu, rumah mereka terasa sangat sepi karena hanya tinggal berdua dengan putrinya. Kini, putri satu-satunya itu akan memberikan cucu yang akan menambah semarak rumah mereka di masa depan.
“Bu. Kalau tidak keberatan, saya ingin Ibu tidak usah berjualan lagi di pasar. Penghasilan saya lebih dari cukup untuk biaya kita bersama di rumah ini.” Hendra bicara setelah mereka bertiga kemudian sudah duduk di meja makan untuk menyantap makan siang bersama.
“Iya, Bu. Apalagi aku lihat Ibu sering pusing akhir-akhir ini. Apa darah tinggi Ibu masih sering kambuh?” Andini menambahkan ucapan sang suami. Tadi di perjalanan pulang dari Puskesmas, Hendra sudah memberitahu rencananya, agar sang mertua tidak lagi susah payah berjualan sayur tiap hari di pasar.
“Ah, paling karena ibu kecapekan. Memang usia ibu sudah tua, mau bagaimana lagi,” kekeh Sarinah.
Usianya kini memang sudah hampir enam puluh tahun. Dulu, ia melahirkan Andini di usia empat puluh tahun setelah menikah limabelas tahun lamanya dengan ayahnya Andini. Mendapatkan seorang putri di usia yang tidak lagi muda, membuat wanita itu tak henti-hentinya bersyukur. Apalagi kini putrinya dengan mudahnya bisa hamil di awal pernikahannya dan di usia yang masih sangat muda. Sarinah berharap Andini akan mempunyai banyak anak di masa depan agar keluarga mereka lebih ramai.
“Jadi bagaimana rencana Ibu dengan kios di pasar?” Hendra masih mengejar jawaban dari ibu mertuanya. Ia ingin Andini ditemani setiap saat oleh mertuanya itu di rumah, saat ia sedang berada di lokasi proyek. Hendra khawatir, istrinya akan sendiri saja di rumah seharian saat ibu mertuanya berjualan di pasar dari pagi hingga sore hari.
“Sebenarnya kios ibu itu cukup ramai pengunjungnya karena lokasinya tepat di pintu masuk pasar. Kalau dijual rasanya ... kok sayang sekali. Dulu, ayahmu yang pertama kali bisa membeli kios itu, setelah menabung sekian tahun. Makanya bisa mendapatkan lokasi paling depan di pasar. Hm ... mungkin akan ibu sewakan saja, bagaimana menurutmu, Din?” Sarinah bertanya kepada anaknya yang sedang menyantap rujak yang dibelinya di perjalanan tadi. Setelah hanya makan nasi sedikit saja.
“Bagus tuh, Bu. Disewakan ke orang saja, kalau Ibu sayang menjualnya. Aku sih terserah Ibu aja,” jawab Andini dengan mulut yang sesekali mendesis antara rasa pedas dan rasa asam. Hendra tersenyum geli melihat tingkah istri kecilnya yang tampak rakus sekali menyantap makanan pavorit wanita-wanita hamil itu.
“Kalau Ibu dan Andini sudah sepakat untuk menyewakan kios itu, biar aku bantu untuk menawarkan ke kenalan-kenalanku,” ucap Hendra penuh semangat. Ia senang, ibu mertuanya akan selalu ada di rumah bersama istri tercintanya yang sedang hamil.
“Iya, boleh deh, Nak. Ibu juga nanti akan nawarin teman-teman yang di pasar. Mungkin ada yang mau.” Sarinah tersenyum senang menatap menantunya yang sangat perhatian padanya dan putrinya.
***
Andini menjalani masa kehamilannya dengan lancar dan sehat. Ia hanya mual-mual dan rewel di tiga bulan pertama kehamilannya. Setelah itu tidak ada keluhan apa-apa lagi. Hendra pun semakin protektif terhadap istrinya yang akan melahirkan seorang anak untuknya. Anak kedua bagi Hendra. Sejak bercerai dengan Tiara, Hendra sudah jarang bisa bertemu dengan putrinya yang sudah berusia sepuluh tahun. Mantan istrinya itu membawa putri mereka ke pulau Kalimantan, mengikuti suami barunya Tiara yang bekerja di Kota Samarinda.
“Sudahlah, Dini … biar ibu saja yang cuci piringnya, tuh, perutmu sampe menempel di pinggiran tempat cuci piring,” tegur Sarinah begitu melihat anaknya yang sedang hamil besar terus saja mengerjakan pekerjaan rumah mereka, padahal baru saja Andini selesai mengepel lantai.
“Enggak apa-apa, Bu. Piringnya dikit aja kok ini.” Andini menjawab tanpa menoleh kepada ibunya yang baru datang dari memetik sayur-mayur dari kebun belakang rumah mereka. Sejak tidak berjualan lagi di pasar, ibunya Andini tetap mengisi waktunya dengan berkebun sayuran. Lahan kosong di belakang rumah mereka sudah hampir penuh oleh bermacam-ragam tanaman. Setiap pagi, putra dari teman Sarinah yang menyewa kios mereka di pasar selalu mampir untuk mengambil sayur-mayur yang sudah dipetik oleh Sarinah pada sore harinya.
“Ya, udah. Habis cuci piring, kamu langsung mandi ya, biar ibu saja yang memasak. Suamimu 'kan sebentar lagi akan pulang.” Sarinah akhirnya mengalah, ia meneruskan mengikat sayuran yang baru dipetik.
Andini baru saja selesai cuci piring ketika Hendra pulang dari proyek di hari Sabtu sore itu. Laki-laki itu penuh rindu langsung memeluk istrinya. Lima hari tak bertemu sang istri sangat menyiksa bagi Hendra. Baru kali ini, ia merasakan cinta yang begitu dalam untuk seorang wanita. Dulu, ia menjalani pernikahan pertamanya tanpa cinta karena perjodohan oleh orang tuanya.
“Aku belum mandi, Bang. Masih kecut nih, habis beres-beres.” Andini berusaha melepaskan diri dari pelukan erat suaminya.
“Ayo, mandi bareng. Abang juga belum mandi,” bisik Hendra mesra di telinga Andini.
“Ah, malu! Badan bulet begini, Abang aja sana duluan mandi!” tolak Andini sembari mendorong tubuh suaminya. Namun, kaki pria bertubuh tegap itu tak bergerak sedikitpun.
Andini yang mungil mana bisa melawannya. Akhirnya, malah dirinya yang diseret duluan ke kamar mandi oleh suaminya sambil tertawa senang.
***
Pagi hari Minggu itu, Andini masih merebahkan dirinya di ranjang. Tubuhnya terasa lelah. Selalu seperti itu setiap akhir pekan. Sang suami yang katanya sangat merindukan sang istri, selalu berhasil membuat Andini terhanyut dan tak mampu menolak, kala Hendra menginginkan istrinya itu baik malam menjelang tidur maupun paginya kala bangun tidur.
“Bumil, kok rebahan lagi?” Hendra yang baru masuk ke kamar mencium kening istrinya yang tidur dengan posisi miring. Ia lalu duduk di pinggir ranjang sejajar dengan perut buncit istrinya. Tangan kekarnya kemudian merapikan rambut Andini yang menutupi wajah cantik itu.
“Iya, capek! Habis dikerjain orang malam dan pagi,” jawab Andini tanpa membuka matanya. Mulutnya juga dimajukan dua senti. Tentu saja tingkahnya membuat Hendra tertawa geli.
“Habis kamu tuh, sangat menggoda sekali sih, bulet dan seksi.” Hendra kembali mendaratkan ciumannya, tapi kali ini di mulut yang manyun itu. Ulahnya sukses membuat mata Andini terbuka lebar. Ia ingin mencubit tangan kekar suaminya, tapi Hendra dengan gesit sudah berdiri dari duduknya sambil tertawa lebar. “Ya udah, kamu tidur lagi deh, abang mau bersihin halaman depan sebentar. Sudah banyak rumput liarnya. Yah, buat ganti olah raga lah, biar tetap kuat ngerjain istri.”
Andini jadi ikut tertawa geli mendengar ucapan suami rasa ayah baginya itu. Perhatian dan kasih sayang dari Hendra, terkadang memang hampir sama dengan ayahnya yang sangat memanjakannya semasa masih hidup dulu.
Baru setengah jam, Hendra membuang rumput-rumput liar di halaman rumah mertuanya itu, ia mendengar Andini memanggil-manggil namanya dari kamar depan yang tidak terlalu jauh dari tempatnya mencabut rumput. Buru-buru pria yang hanya memakai celana selutut berkaos lengan pendek itu mencuci tangan dan menemui sang istri ke kamar tidur mereka.
“Kenapa, Sayang?” Hendra menghampiri Andini yang duduk di pinggir ranjang dengan wajah meringis kesakitan.
“Gak tahu nih, Bang. Barusan aku mau ke kamar mandi, pas berdiri perutku sakit banget. Kayak tegang begitu rasanya.” Andini mengelus perutnya yang terus menegang.
“Waduh, jangan-jangan kamu mau melahirkan,” jawab Hendra dengan wajah cemas. Ia kemudian ikut mengelus perut istrinya sambil berjongkok di lantai.
“Masa sih, Bang? Kata bidan masih sekitar dua minggu lagi.” Andini menatap wajah suaminya yang masih terlihat ada bintik-bintik keringat di keningnya.
“Bisa aja lebih cepat sih, dari hari perkiraan. Ya, udah, abang panggil ibu ke kebun belakang dulu, kita langsung ke bidan aja sekarang.” Hendra langsung berdiri dan bergegas ke luar kamar untuk memanggil ibu mertuanya yang setiap pagi hingga siang selalu berada di kebun belakang rumah mereka.
