Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 : Malam Pertama dengan ex Duda

Hendra tersentak mendengar pertanyaan wanita muda yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Ia tak menyangka Andini akan menanyakan hal yang berusaha untuk ia lupakan. Perceraian akibat ulahnya sendiri.

“Sebenarnya abang malu untuk jujur padamu mengenai hal ini, abang harap kamu tidak berubah pikiran ya, setelah mendengarnya,” pinta Hendra sedikit ragu.

Andini tak menjawab permintaan Hendra, tapi dari sorot matanya yang terus menatap calon suaminya itu, membuat Hendra kembali melanjutkan ucapannya. “Abang bersalah sama istri abang waktu itu karena sempat menjalin hubungan iseng dengan seorang wanita saat ada proyek di kota lain. Ada teman kerja abang yang melaporkan kepada Tiara. Setelah itu, Tiara menggugat cerai setahun yang lalu. Enam bulan setelah kami resmi bercerai, Tiara menikah dengan mantan pacarnya waktu masih sekolah dulu. Abang gak tahu, apakah kami saling selingkuh atau tidak. Tapi yang ketahuan hanya abang. Jadi begitulah yang terjadi.

“Kenapa gak menikah saja sama selingkuhan Abang itu?” tanya Andini penasaran.

“Dia masih berstatus istri orang, dia bukan wanita baik-baik. Abang hanya mencari kesenangan sesaat aja. Tiara sering mengabaikan abang. Padahal, kami menikah hampir sepuluh tahun lamanya. Dulu, kami dijodohkan.” Hendra menutup ceritanya sembari meraih gelas tehnya yang sudah dingin.

Andini terdiam mendengar kisah masa lalu dari calon suaminya yang ternyata cukup dramatis. Dalam pikiran Andini berkecamuk, apakah ia akan menceritakan juga tentang masa lalunya?

“Bagaimana denganmu, Andini? Apakah kamu pernah punya pacar?” Pertanyaan yang ditakutkan oleh Andini akhirnya terdengar juga dari mulut Hendra.

“Hm … a-aku pernah punya pacar, Bang. Ta-tapi dia meninggalkan aku begitu saja.” Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Andini. Kedua tangannya langsung menutup wajahnya. Ia tak sanggup untuk berkata jujur seperti Hendra. Seakan ada kerikil yang mengganjal di tenggorokannya. Ia sangat malu untuk menceritakan tentang dirinya kepada calon suaminya yang kini menatap dengan wajah penasaran.

“Sudahlah, gak usah bercerita jika itu sangat memberatkanmu. Abang gak akan memaksamu. Sekarang yang penting kamu bisa menerima abang sebagai pendamping hidupmu di masa yang akan datang." Ucapan Hendra sesaat kemudian cukup membuat Andini bernapas lega.

Andini bergeming, ternyata Hendra cukup pengertian dan tidak memaksa lagi mendengar kisah masa lalunya. Kini, ia hanya pasrah apapun yang akan terjadi nanti setelah mereka resmi menikah.

***

Hari pernikahan Andini dengan Hendra pun tiba. Duda yang sudah mempunyai satu orang putri dengan istri pertamanya itu tampak sangat bahagia dan penuh semangat melaksanakan akad nikah setelah satu tahun lamanya menduda. Mulai hari ini, ia tidak akan kesepian lagi dalam menjalani hari-harinya. Meski wajah istri barunya itu masih tampak muram, Hendra tak peduli. Ia yakin suatu hari nanti, Andini pasti bisa menerimanya sebagai seorang suami. Ia akan membuat Andini jatuh cinta padanya.

Malam harinya, sekitar pukul sepuluh malam, Andini yang sudah satu jam merebahkan tubuhnya di ranjang merasakan tangan besar suaminya memeluk pinggangnya. Wanita itu langsung resah, ia tahu sang suami pasti menginginkan dirinya di malam pertama mereka sebagai suami istri. Hal yang ditakutkannya akan segera terjadi. Suaminya pasti akan tahu kalau ia sudah tidak gadis lagi.

“Kamu belum tidur kan, Din?” Hendra mencium rambut istrinya yang tidur membelakanginya. Harumnya rambut lebat Andini membuat Hendra semakin ingin melakukan kemesraan dengan istri kecilnya itu. Apalagi Andini tidak menolak tangannya yang memeluk erat pinggang ramping tersebut. Dengan lembut kemudian Hendra membalikkan tubuh Andini agar menghadap padanya.

“Kamu menangis? Kenapa?” tanya Hendra kaget begitu dilihatnya mata indah itu bak telaga bening yang sebentar lagi akan tumpah.

“Aku takut akan membuatmu kecewa, Bang.” Andini berucap pelan. Bibirnya bergetar menahan rasa pedih di hatinya. Malam pertama yang seharusnya sangat ditunggu oleh pasangan pengantin baru, dirinya malah masih saja teringat pada pria yang sudah membuat hatinya terluka. Pergi menghilang begitu saja, tapi dengan bodohnya Andini masih saja memikirkan laki-laki yang hingga detik ini tidak bisa lepas dari relung hatinya. Terpatri dengan kokoh, tak tergoyahkan. Setahun menjalin kasih secara diam-diam dengan Ardi, membuat Andini tidak bisa melupakan begitu saja sosok pria pertama yang mengenalkan arti cinta padanya. Ardi yang cuek dan sedikit kasar, malah membuat Andini semakin tergila-gila pada pria itu.

“Kecewa? Gak mungkinlah. Abang sangat bersyukur bisa membina rumah tangga lagi dengan wanita seperti kamu.” Hendra mencium kening dan mata istrinya dengan lembut.

Andini hanya bisa memejamkan matanya, lalu pasrah apapun yang akan dilakukan oleh suami sahnya itu di malam yang semakin dingin.

Wanita muda itu tak mau berpikir lagi, ia akan terima apa pun tindakan Hendra padanya, jika seandainya pria yang sudah mulai membuka bajunya itu akan murka, begitu mendapatkan Andini yang sudah tidak gadis lagi.

Hendra menciumi tubuh polos yang tampak pasrah yang ada dihadapannya. Ia tersenyum melihat wanita yang pantas jadi anaknya itu terlihat gugup dengan mata terpejam rapat-rapat. Ia tak akan terburu-buru, ia ingin memberikan malam yang indah dan romantis untuk Andini. Benar saja, perlakuan pria dewasa berwajah tampan itu sukses membuat Andini mendesah, menikmati permainan yang jauh dari rasa sakit yang pernah dirasakan saat Ardi menidurinya pertama kali dua bulan yang lalu. Andini pun mendapatkan pelepasan pertamanya malam itu. Sebuah rasa yang tidak bisa ia lukiskan. Ia jadi lupa dengan dirinya yang sudah tidak suci lagi. Ia memeluk erat tubuh pria kekar yang juga mendapatkan kepuasan bersamaan dengannya.

Andini bisa bernapas lega karena sesaat kemudian, sang suami langsung rebah di sisinya, lalu tertidur pulas. Tinggallah Andini yang kemudian menangis diam-diam karena kini tubuhnya sudah dimiliki oleh laki-laki yang baru saja memperlakukannya penuh kelembutan dan kasih sayang, tidak menyakitkan dan brutal seperti yang sudah dilakukan Ardi padanya. Ia berharap suaminya itu tidak akan berubah sikap setelah bangun tidur dari tidurnya.

Pagi harinya, Andini merasakan ciuman hangat di keningnya. Entah pukul berapa ia bisa tertidur semalam. Pelan matanya terbuka, menemukan seraut wajah yang sedang tersenyum lembut padanya. Suaminya terlihat sudah rapi dan wangi.

“Tidurnya enak banget, kecapean ya,” goda Hendra sembari mencubit pelan pipi istrinya yang menatapnya lekat. Wajah Andini kemudian menjadi merah merona, begitu mengingat kembali aktivitas semalam dengan suaminya. Andini menarik selimut yang masih menutupi tubuh polosnya dan menyembunyikan kepalanya. Tak sanggup rasanya, ia menatap wajah suaminya yang seolah-olah tidak terpengaruh oleh lancarnya permainan mereka tadi malam, tanpa ada hambatan sama sekali.

“Lho? Kok selimutan lagi? Apa kita akan tiduran aja kerjanya hari ini?” goda Hendra lagi sembari membuka selimut yang menutupi wajah istrinya itu.

“Aku malu, Bang. Aku bukan wanita yang terbaik untukmu.” Andini berkata lirih sambil memejamkan matanya.

“Gak usah malu, yang penting sekarang kamu adalah milikku seutuhnya. Begitu juga denganku yang akan berusaha menjadi suami terbaik buatmu. “Hm … sekarang aku ingin istri cantikku ini membuatkan kopi. Asem nih, mulut suamimu ini, belum dapat apa-apa sejak tadi.” Hendra mengelus pipi mulus istri kecilnya itu. Ia tahu kalau istrinya itu sudah tidak suci lagi usai mereka berhubungan tadi malam, tapi Hendra tidak mau mempermasalahkannya. Sebab, ia pun bukanlah seorang yang suci. Kini, ia hanya ingin hidup lebih baik bersama wanita muda yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Andini membuka matanya. Menatap manik hitam yang menatapnya penuh cinta. Hatinya mulai tersentuh oleh sikap suaminya yang tidak mempermasalahkan tentang dirinya yang sudah tak gadis lagi.

“Ayo, bangun. Abang tunggu di luar, ya?” Hendra kembali mencium kening Andini sekali lagi. Lalu, sambil tersenyum ia melangkah ke luar dari kamar pribadi Andini yang sudah direnovasinya seminggu sebelum hari pernikahan mereka.

Sebelumnya, Andini menolak diajak pindah ke rumah peninggalan orang tua Hendra yang terletak di kecamatan yang berbeda dengan rumah orang tua Andini. Hampir dua jam perjalanan jaraknya. Hendra memaklumi, istri kecilnya itu yang tidak mau tinggal jauh dari ibunya. Apalagi perusahaan kontraktor tempat Hendra bekerja sering mendapatkan proyek di daerah-daerah lain. Ke depannya, pria dengan jabatan kepala mandor itu harus rela hanya bertemu istrinya setiap akhir pekan. Jadi, memang lebih baik Andini tetap tinggal bersama ibunya. Perusahaan tempat Hendra bekerja memberi izin seminggu untuk menghabiskan waktu bersama istri barunya itu.

Andini bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal oleh aktivitas semalam.

“Abang ingin mengajakmu main ke pantai hari ini, kamu mau gak?” tanya Hendra begitu melihat istrinya keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah. Pria itu sedang duduk menonton berita televisi di ruang tengah.

“Hm … ke pantai ya, aku suka sih, tapi gak sekarang ‘kan? Aku masih capek,” jawab Andini dengan wajah memerah menahan malu.

“Iya, bukan sekarang, Sayang. Nanti sore aja, sekalian lihat matahari terbenam. Abang juga capek nih, mau tiduran aja sampe sore sama kamu,” goda Hendra sembari mengedipkan sebelah matanya kepada Andini.

“A-aku bikinin Abang kopi dulu, ya.” Andini buru-buru berjalan ke dapur, meninggalkan suaminya yang terus menggodanya. Membuat ia menjadi salah tingkah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel