Bab 2 : Usai Ternoda
“Oh, kalau begitu saya permisi dulu ya, Mas Dion.” Andini tanpa berpikir panjang lagi langsung membalikkan tubuhnya, buru-buru meninggalkan tempat itu. Masih terdengar tawa geli Dion mengiringi langkah seribu gadis itu. Andini benar-benar takut membayangkan, seandainya kakak Ardi itu akan menyeretnya masuk ke dalam rumah seperti yang sudah dilakukan oleh Ardi minggu lalu.
Setelah sekitar lima menit berjalan hampir berlari, Andini memelankan langkahnya. Napas yang memburu ditenangkannya sesaat. Lalu, ia kembali berjalan menuju rumahnya yang berjarak sekitar satu kilo meter dari rumahnya Ardi. Tanpa disadarinya, airmata mengalir begitu saja di pipinya, begitu mengingat pria yang sudah mendapatkan cinta dan kesuciannya itu telah pergi dari kampung mereka. Andini benar-benar tak menyangka sama sekali, Ardi akan setega itu padanya.
Musnah sudah harapan Andini untuk bisa hidup bersama pria yang dicintainya itu, Ardi benar-benar sudah menghilang dan lari dari tanggung jawab. Meninggalkannya menanggung semua ini sendiri.
Andini menghapus air mata begitu tiba di depan rumahnya. Ia melihat pintu tempat tinggalnya itu terbuka lebar dan sebuah sepeda motor terparkir di halaman.
“Assalamualaikum.” Gadis itu mengucap salam begitu mau masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menatap seorang laki-laki dewasa berusia empat puluhan dengan seorang lelaki tua berusia enam puluhan.
“Waalaikumsalam ….” Sang ibu yang duduk bersama dengan dua orang laki-laki itu yang menjawab. “Kok, lama perginya, Din? Kamu bilang jam setengah sepuluh sudah nyampe rumah. Ini sudah lewat jam sepuluh, lho? 'Kan ibu udah bilang akan ada tamu yang datang.”
“Maaf, Bu ....” Andini menundukkan kepalanya mendengar orang tua satu-satunya itu mengomel. Ibunya pagi tadi, memang sudah bilang bahwa Hendra--pria yang sudah melamarnya dua minggu yang lalu akan datang bertamu untuk menentukan hari pernikahan mereka. Andini memaksa pergi karena ingin memastikan sikap Ardi setelah peristiwa minggu lalu. Seandainya Ardi bersedia menikahinya, ia akan bicara terus terang kepada ibunya dan calon suaminya itu. Tentu saja ibunya tidak tahu, Andini pergi ke rumah Ardi pagi ini.
“Gak apa-apa, Dek Andini. Saya juga baru saja tiba, kok.” Pria yang masih terlihat tampan di usianya yang ke-40 tahun itu tersenyum lembut kepada gadis muda yang sudah mencuri hatinya sejak pertama kali melihatnya sebulan yang lalu.
“Ayo, duduk di sebelah ibu!” Sarinah—ibunya Andini memanggil anaknya yang masih berdiri di depan pintu.
Dengan kepala tetap menunduk, Andini kemudian duduk di kursi tamu sebelah ibunya. Ia tak mengangkat kepalanya sama sekali, hingga kemudian terdengar suara laki-laki yang lebih tua bicara.
“Baiklah, Bu, Nak Andini. Saya mewakili keluarga besar kami, ingin melanjutkan rencana pernikahan antara keponakan saya dengan Nak Andini.” Paman dari Hendra itu berhenti sejenak, menatap dua orang wanita berbeda usia yang duduk di depannya. “Bagaimana kalau pernikahan ini dilaksanakan akhir bulan ini? Masih ada waktu sekitar dua minggu untuk persiapan.”
Andini tersentak kaget, “Dua minggu lagi?” Matanya membulat menatap paman dan calon suaminya.
“Lho? Kenapa emangnya kalau dua minggu lagi, Din? Lebih cepat 'kan lebih baik.” Sarinah yang kini menatap heran putri semata wayangnya itu.
“Hm … aku 'kan belum mengenal Pak Hendra sebelumnya, Bu. Rasanya sangat canggung kalau tiba-tiba kami menjadi suami istri secepat ini.” Andini memberi alasan. Padahal sebenarnya, ia hanya ingin mengulur sedikit waktu. Ia takut seandainya perbuatan Ardi padanya minggu lalu akan membuahkan hasil. Ia tidak ingin nanti bingung menentukan siapa ayah biologis dari bayinya, seandainya, ia hamil setelah menikah dengan Hendra. Jika ternyata, ia hamil oleh perbuatan Ardi, tentu saja, ia akan membatalkan rencana pernikahannya dengan Hendra.
“Maksudmu apa, Dini? Ibu jadi gak ngerti. Dulu ibu menikah dengan ayahmu juga gak saling kenal, buktinya pernikahan kami awet sampai ayahmu meninggal dunia tahun lalu.” Sarinah menatap tajam wajah anaknya.
“Pak Hendra, kalau boleh, saya mau pernikahan kita dilaksanakan dua bulan lagi.” Tanpa mengindahkan ucapan sang ibu, Andini langsung bicara kepada pria yang ingin menikahinya itu. Matanya juga memohon kepada pamannya Hendra.
“Bagaimana, Dra?” tanya sang paman kepada keponakannya.
“Dua bulan terlalu lama itu, Dek Andini. Bagaimana kalau sebulan saja? Saya akan berusaha, agar kita bisa lebih akrab sebelum hari pernikahan nanti.” Hendra berusaha membujuk wanita muda dihadapannya dengan memberikan senyum terbaiknya.
Andini cukup terkesan oleh kelembutan dan senyum menawan dari pria dewasa yang bekerja di perusahaan kontraktor itu.
“Tolong menunggu lima minggu saja ya, Pak Hendra. Saya mohon ....” Andini dengan berat hati memberikan penawaran terakhirnya. Lima minggu ke depan cukup baginya untuk tahu, apakah ia hamil anaknya Ardi atau tidak.
“Baiklah, saya akan menunggu lima minggu lagi, tapi dengan syarat.” Hendra menggantung kalimatnya.
“Syarat apa?” tanya Andini heran. Matanya membulat menatap pria tampan di hadapannya itu.
“Kamu harus bersedia menemani saya mengobrol setiap kali saya datang ke rumah ini. Kamu yang ingin kita lebih akrab sebelum menikah, 'kan?” Hendra kembali menatap sang gadis dengan senyum menggoda.
“Baiklah ....” Andini menjawab pelan sembari menundukkan kepalanya kembali.
“Satu lagi, Dek Andini. Jangan panggil saya pak lagi, ya? Panggil abang aja, biar saya tidak terkesan sangat tua.” Hendra tertawa lebar memecah kekakuan di ruang tamu yang sempit itu. Tawa ceria pria yang sudah setahun menduda itu, disambut dengan senyum senang oleh pamannya Hendra dan ibunya Andini. Hanya Andini yang memaksakan senyum di bibir ranumnya. Senyum yang cukup bagi Hendra untuk memimpikan calon istrinya itu, sebelum tidur nanti malam.
Setelah Hendra dan pamannya pamit pulang serta sang ibu yang juga langsung berangkat untuk jualan ke pasar, Andini masuk ke dalam kamar tidurnya. Dihempaskannya tubuh lelah itu di pembaringan yang sama, tempat di mana Ardi mengambil miliknya yang berharga minggu lalu. Air mata Andini kembali mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa sakit sekali, kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta di hatinya itu. Bagaimana ia akan hidup dengan laki-laki lain? Jika di setiap helaan napasnya hanya nama Ardi yang terucap.
***
Apa yang ditakutkan oleh Andini tidak terjadi, dua minggu kemudian, ia mendapatkan tamu bulanannya. Wanita itu kembali menangis sedih di kamarnya setelah keluar dari kamar mandi. Meski lega, ia tidak hamil di luar nikah, tapi ini artinya ia harus siap melangsungkan pernikahan dengan Hendra. Hanya tersisa tiga minggu lagi, hari pernikahan itu akan tiba.
“Dini ….” Terdengar suara ibunya memanggil dari luar sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar yang sengaja ia kunci. Andini segera duduk dari tidur dan menghapus sisa air matanya.
“Iya, Bu. Sebentar!” jawab Andini dengan suara serak. Ia kemudian berjalan ke pintu dan membuka kuncinya.
“Kamu ngapain sore-sore udah ngurung diri di kamar. Tuh, ada calon suamimu datang.” Sarinah menatap penuh selidik wajah anaknya yang pura-pura menggaruk kakinya, agar sang ibu tidak melihat mata dan hidungnya yang masih merah.
“Aku lagi gak enak badan, Bu. Hari pertama datang bulan, terus juga sedikit pilek.” Andini mengusap hidung dengan punggung tangannya.
“Ya, udah. Nanti istirahat lagi. Temui dulu Nak Hendra di teras sana, ibu mau memetik sayur dulu di belakang,” ujar Sarinah seraya menjauh dari kamar anaknya menuju ke bagian belakang rumah. Ia sengaja memberi ruang untuk putrinya agar bisa mengobrol dengan calon menantu pilihannya itu.
Andini menghela napas panjang, mengusap kembali wajahnya, lalu berjalan ke teras depan rumah. Di sana, terlihat calon suaminya sedang duduk sembari melihat ayam-ayam peliharaan ibunya yang berlari ke sana ke mari.
“Gak masuk ke dalam, Bang?” sapa Andini sambil duduk di kursi sebelah pria yang tampak lebih muda dengan baju kaos warna putih berkerah yang sedikit ketat di tubuh kekarnya, dipadu dengan celana jeans berwarna biru muda.
“Eh, Dek Andini. Hm … di sini aja deh, sejuk nih, angin sore-sore.” Hendra menatap wajah wanita yang terus saja menghantuinya selama sebulan ini. Meskipun Andini masih saja tampak dingin kala ia datang bertamu ke rumah calon istrinya itu.
Kemudian, hanya keheningan yang melanda pasangan berbeda usia dua puluh tahun tersebut. Andini yang semakin pendiam membuat Hendra terkadang bingung mengajaknya mengobrol karena wanita muda itu hanya menjawab seadanya.
“Abang ingin mengajakmu jalan-jalan, mau gak?” Hendra memecah kesunyian.
“Hm … maaf ya, Bang. Aku lagi gak enak badan.” Andini menjawab tanpa menoleh kepada calon suaminya. Ia terus saja asyik mempermainkan kuku-kuku jemarinya.
“Sakit apa? Apa perlu abang antar berobat?” tanya Hendra khawatir.
“Enggak usah, memang begitu kalau lagi datang bulan,” balas Andini pelan.
“Oh ….” Kepala pria berambut sedikit cepak itu mengangguk maklum.
“Ya, udah, kalau begitu kita ngobrol di sini aja.” Hendra menatap calon istrinya yang terlihat lesu tidak bergairah. “Hm … mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada abang? Bagaimanapun juga sebentar lagi kita akan menjadi suami istri. Kita harus jujur satu sama lainnya.
Andini mengangkat wajahnya, menoleh kepada pria yang sejak tadi terus menatapnya. Sorot mata Hendra yang lembut, membuat Andini semakin resah. Sebenarnya, ia ingin jujur saja atas kondisinya yang sudah tidak gadis lagi, tapi bibirnya tak sanggup untuk mengutarakan, malah kemudian ia bingung sendiri dengan ucapannya terhadap Hendra. “Kenapa Abang dulu bercerai?”
