Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Di tepi jalan yang ramai, langkahnya terasa berat saat pulang dari sekolah setiap hari. Tas punggung yang dipakainya seolah membawa beban hidup yang terlalu berat untuk pundak mungilnya. Wajahnya terhias senyuman tipis yang berusaha menyembunyikan kelelahan dan kesedihan yang teramat dalam.

Di depan mata, rumah makan besar yang menjadi tempatnya bekerja menjulang tinggi. Meskipun aromanya menggoda, bukan kenikmatan makanan yang dia rindukan di sana. Sebaliknya, itu adalah pekerjaan yang harus dia tekuni untuk membiayai hidupnya dan memenuhi impian yang terus dia genggam erat.

Seiring langkahnya mendekati pintu rumah makan, bayangan masa kecil yang penuh tawa dan canda terlukis di matanya. Sekarang, ruang itu hanya diisi oleh deru mesin dapur dan suara pesanan yang terus-menerus. Dia memasuki dapur, dan senyumnya perlahan memudar ketika menyentuh dinginnya dunia kerja yang keras.

Setiap pesanan yang dia sajikan, setiap lelah yang terasa di ujung jari, adalah porsinya dari kisah hidup yang tak pernah ia rencanakan. Namun, dalam kesedihan dan kerja keras itulah dia menemukan kekuatan untuk terus maju, mencari sinar di balik langit mendung hidupnya.

Ibu Lisa menyingkap tirai dan memasuki ruang dapur.

“Eh… Shanum kamu sudah datang, Ibu ingin membicarakan sesuatu padamu.”

Gadis itu berbalik dari tumpukan piring kotor yang ada di hadapannya.

“Iya, Ibu. Ada apa?”

“Sudah kenalan dengan teman-temanmu yang lain?” tanya pemilik rumah makan tersebut dengan ramah.

“Iya, Bu. Sebelum bekerja, mereka sangat ramah pada Shanum.”

Ibu Lisa tersenyum, “begini, semua yang bekerja disini sudah Ibu tahu identitasnya. Tapi ada peraturan di rumah makan ini yang harus kamu ikuti.”

“Apa itu, Bu?”

“Jangan pernah mencuri bahan makanan untuk di bawah pulang, jangan pernah mengambil sesuatu apapun tanpa izin. Dan… jangan memakai namamu.”

Untuk peraturan yang lain, Shanum paham tapi tentang nama, dahi gadis itu berkerut.

“Maksudnya nama, itu apa ya Bu?”

“Namamu kan Shanum. Coba di ganti dengan nama lain.”

Shanum bingung dengan maksud dan tujuan dari mengganti nama itu, tapi gadis tersebut tidak ingin bertanya lebih dalam, takutnya dia sangka banyak bertanya padahal pegawai baru.

“Bagaimana kalau Zoya saja, Bu?”

“Boleh! Jadi teman-temanmu akan memanggil namamu dengan Zoya.”

“Baik, Bu.” ucap gadis itu.

Ibu Lisa pun pergi meninggalkan Shanum yang kembali meneruskan cucian piringnya.

“Jadi namamu siapa?” tanya seorang wanita dengan apron serta piring kotor yang berada dalam baskom besar di trolinya.

“Zoya!” jawab Shanum tersenyum, padahal gadis itu sudah sangat lelah.

“Nama yang bagus! Semangat ya kerjanya, Bos kita tidak pelit. Jika kinerjanya bagus, dia akan memberi upah lebih.” jawab pria tinggi, berambut lurus sebahu yang diikat kemudian ditutupi oleh topi.

“Terima kasih, Kak Dewa.” ujar Shanum.

“Sekarang jam menjelang makan malam, mulai dari jam 5 sore hingga jam 9 malam. Kamu harus kuat ya.”

Shanum mengangguk, kuat tidak kuat gadis itu harus berusaha semaksimal mungkin. Sekarang dia adalah tulang punggung, dia yang mencari sesuap nasi, dia yang akan membayar biaya kontrakan, dia yang akan membayar sisa hutang ayahnya dan dia juga yang akan mengatur keuangan untuk mencukupi kebutuhan listrik, air, dan semuanya.

Rasanya Shanum ingin menjerit karena lelah.

“Pasti Kak Dewa.” jawab Shanum.

“Sebentar lagi ya. Kamu harus kuat, ini hari pertamamu. Tunjukkan pada Bos kita.” kata Dewa kembali. Pria yang terlihat sangat baik pada Shanum.

Sepeninggalnya Dewa, Shanum kembali melanjutkan pekerjaannya.

Di tengah gemuruh piring yang tumpah ruah, tangannya seperti bergerak tanpa henti. Terus-menerus mencuci, menggosok, dan menyeka.

Piring datang begitu cepat, seakan tak pernah ada akhirnya. Keramahan di wajah Shanum yang kini di panggil Zoya semakin pudar, digantikan oleh kelelahan yang terukir jelas.

"Mungkinkah pekerjaan ini tak akan berakhir?" gumamnya pada diri sendiri. Perutnya berdenting, mengirimkan sinyal lapar yang terabaikan.

Sejak pulang sekolah, gadis itu memang belum makan apapun.

Tubuhnya mulai gemetar, bukan hanya karena air dingin yang terus dia rasakan di tangannya, melainkan karena kelaparan yang semakin nyata.

"Berapa lama lagi aku harus bertahan? Perut, Aku mohon bekerja sama lah. Jangan membuatku lemah di hari pertama." batin gadis itu kembali.

Pikirannya melayang pada hidangan lezat yang terus di masak dan akan dihidangkan di meja, tetapi tak ada kesempatan untuk menikmatinya.

Sesekali, gadis berjilbab hitam itu menyeka keringatnya.

Dalam kepungan piring kotor, Shanum mencari makna di balik segalanya. Apakah ini yang disebut hidup? Merasa terjebak di antara tumpukan masalah, piring yang tak kunjung usai, dan perut yang terus berdenting minta isi.

Namun, dibalik kelelahan dan rasa lapar, dia menemukan kekuatan yang tersembunyi. Setiap piring yang dia hadapi adalah langkah kecil menuju impian yang mungkin terasa jauh. Shanum mencoba mencari kebahagiaan dalam rutinitas itu, kendati perutnya berseru minta perhatian.

Dengan tangan yang gemetar, dia meneruskan tugas tanpa akhir itu.

Saat mencuci piring, Shanum melihat sebuah piring dengan makanan yang masih bisa diselamatkan.

Gadis itu kemudian menoleh kiri dan kanan, mencari seseorang yang mungkin berada di dalam ruangan bersamanya.

Namun, gadis itu tak melihat seseorang sama sekali. Sebuah piring besar, dan di atasnya terdapat tiga buah dimsum udang.

Saliva Shanum berulang kali di telan.

“Apa bisa Aku memakannya? Aku sangat lapar, bahkan di sekolah pun Aku tidak pernah jajan!” gumam Shanum.

Bagaimana gadis itu bisa makan saat di sekolah, sementara uang yang dia pegang 900 ribu sudah berkurang. Shanum juga membeli baru saja membeli alat penanak nasi yang harganya dua ratus ribu. Kini uang itu hanya tersisa 650.

Akhirnya, Shanum tak bisa menahan rasa laparnya lagi. Dia mengambil makanan itu dan mulai memakannya satu persatu hingga makanan yang di piring tak tersisa.

Sejak kemarin, gadis itu menahan lapar. Bahkan saat malam, dia pun belum makan sama sekali.

Jika diberikan makanan oleh Ibu Lisa, Shanum sangat memprioritaskan ibunya dari dirinya sendiri.

“Alhamdulillah, enak. Apa karena Aku lapar? Tapi dimsumnya agak pedas. Aku harus minum.” kata gadis itu kembali. Dia kemudian mencuci tangannya terlebih dahulu dan kemudian meninggalkan pekerjaannya sesaat setelah itu mengambil air minum.

“Zoya…” panggil seseorang.

“Iya, Mbak.”

“Pekerjaanmu sudah selesai?”

“Belum, Mbak!”

“Tolong keluar dulu bantu kami. Sangat banyak pelanggan yang datang.” kata seorang wanita.

Shanum lekas melepas apron yang berdarah busa sabun dan menggantinya dengan apron pelayan.

Karena masih kurang dua pegawai baru, maka yang lainnya kewalahan dengan pengunjung yang terus berdatangan.

Gadis itu dengan aktif mulai bekerja sebagai pelayan, menyambut tamu yang datang dan memberinya menu di rumah makan tersebut.

Acuan tangan beberapa pelanggan yang meminta tambahan menu ataupun yang lainnya membuat Shanum lengah.

Gadis itu sangat lelah dan kebingungan hingga dia terbengong dan mengambil nafas berat. Shanum sangat lelah, rasanya kakinya itu sudah meminta haknya untuk beristirahat.

*

*

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis itu sudah selesai dengan pekerjaannya dan makan malamnya bersama teman-temannya.

“Zoya mau kemana, Dek?” seorang gadis berambut panjang dengan motor matic berhenti saat melihat Shanum berjalan menyusuri trotoar.

Gadis itu tersenyum. “Eh, Kak El. Zoya mau ke depan dulu beli beras. Beras di rumah kebetulan habis.” jawab Zoya. Padahal beras di rumahnya memang belum pernah ada semenjak gadis itu pindah.

“Naik aja sini, Kak El anterin kamu.”

“Tidak perlu Kak El, terima kasih banyak. Tidak ingin merepotkan. Lagi pula, berjalan sebentar saja juga sudah sampai.” jawab Shanum.

“Sudah! Baik saja sini. Jangan banyak bantah. Ayo.”

Shanum tersenyum riang, kebetulan kakinya sudah sangat lelah untuk melangkah kembali.

“Itu yang di tanganmu apa?” tanya El, saat melihat jinjingan yang lumayan besar di tangan Shanum.

“He.. He.. Ini penanak nasi Kak.”

“Oh… yaudah simpan depan Kak El aja sini!” gadis baik itu segera merampas jinjingan di tangan Shanum dan mulai menggantungnya.

Shanum mulai duduk di jok motor dengan senyum sumringah.

“Terima kasih Kak.”

“Jangan sungkan! Katanya ayah kamu sudah meninggal dan kamu tinggal dengan Ibu sambungmu ya? Jangan heran, Ibu Lisa yang memberi tahu kami sebelum kamu masuk.”

“Iya kak. Seperti itu.”

Semilir angin malam membuat mata Shanum meredup kantuk.

Gadis itu terus memandang kiri kanan, sejenak menikmati suasana malam di tempat barunya dan melupakan kepenatannya.

Tak lama, motor yang di tumpangi berhenti di depan sebuah pertokoan.

“Terima kasih Kak.”

“Nanti saja terima kasihnya.” jawab El dan membuat Shanum bingung.

Wanita yang memakai helm itu pun tersenyum.

“Nanti saja terima kasihnya, setelah Aku mengantarmu di depan rumahmu.”

“Ya ampun kak. Tidak perlu sama sekali, Zoya bisa kembali lagi. Kak El, pulanglah! Hari juga sudah sangat malam.”

“Jangan repot menyuruhku pulang, tenang saja. Kak El orang bebas. Cepetan masuk, jangan membuatku menunggu!”

Shanum berbalik dengan langkah yang cepat. Gadis itu segera mengambil beras 5 kilo kemudian membayarnya di kasir.

“65 ribu.” kata seorang kasir. Kemudian Shanum mulai mengeluarkan beberapa uang 100 ribu, karena buru-buru, uang itu terjatuh di lantai.

Naas, seorang pria dengan langkah cepat memungut uang sekitar 600 ribu yang masih terlipat.

Jambret itu segera lari melewati pintu besar yang tidak tertutup.

“Oooh tidak. PENCURI! PENCURI!” Shanum berteriak dan ikut berlari hendak mengejar jambret tadi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel