Bab 6
Di pagi yang hening, dengan wajah sembab karena tangisan dahsyat semalam, seperti hari sebelumnya, malam hari Shanum selalu menghabiskan waktunya dengan tangisan yang akan membawanya menuju alam mimpi. Shanum bingung untuk ke sekolah. Hari ini adalah hari keempat dia libur setelah meninggalnya sang ayah.
Shanum memakai pakaian yang diberikan oleh Ibu Lisa, dan tas bekas yang di sumbangkan bekas putrinya dulu.
Shanum harus menerima segalanya, hari ini dia tidak bisa bermalasan lagi seperti kemarin, Shanum malu, karena makanan pun diberikan oleh Ibu Lisa.
Rasanya seperti memulai segalanya dari awal, seperti berjalan di atas reruntuhan yang masih panas.
“Bismillah, Shanum… kita harus kesekolah hari ini dan kita akan mulai bekerja hari ini. Badanku, mohonlah kuat, Shanum mohon bersemangatlah, kita harus bekerja sama. Mohon bantuannya.” gumam Shanum, pada dirinya sendiri.
Gadis itu kemudian melihat dirinya sendiri, di tengah keterbatasan itu, dia belajar untuk bersyukur. Meskipun pakaian sekolahnya bukan seragam, tapi setidaknya dia masih punya kesempatan untuk pergi ke sekolah.
Dia harus meraih pakaian sederhana yang ada, mencoba untuk menghadirkan semangat dan keberanian dalam keterbatasan ini.
“Ibu… Shanum akan ke sekolah dulu.” pamit Shanum pada Ibunya yang terlihat hanya melamun akhir-akhir ini.
“Emm… Pergilah, bersenang-senanglah bersama temanmu. Jangan khawatirkan Ibu disini.”
Shanum mengangguk, beberapa hari ini dia melihat ibunya dengan posisi yang sama. Tatapan kosong, mata yang penuh dengan kenangan yang tak terungkap. PikirnShanum, ibunya hanya ada di sana, tubuhnya hadir secara fisik tapi pikirannya jauh, melamun pada kenangan yang kini hanya tinggal dalam bayangan.
Gadis itu melihatnya dengan mata penuh kasihan. Ayahnya pergi, dan kepergian itu membawa duka mendalam yang membuat ibunya seperti terdampar di lautan kesepian. Melihatnya hanya bisa duduk melamun membuat hati Shanum terasa berat. Dia ingin membantu, tapi kata-kata sepertinya tak akan cukup.
“Ibu jangan melamun terus, Bu. Tidak baik untuk kesehatan Ibu. Ibu tenang saja, hari ini Shanum akan mulai bekerja. Ibu jangan khawatir lagi… Shanum akan berusaha sekuat tenaga untuk mengisi rumah ini sedikit demi sedikit. Shanum akan membelikan Ibu kasur juga.”
“Tidak perlu repot, Nak. Ibu tidak masalah tidur beralaskan lantai. Ibu seperti ini, karena Ibu hanya rindu pada ayahmu. Beliau sangat cepat meninggalkan kita.” Ibu Esma kembali mencoba perannya, meyakinkan Shanum untuk mengasihani dirinya yang sehat itu. Bahkan wanita itu berusaha untuk mengeluarkan air matanya untuk semakin membuat Shanum percaya.
“Ibu mohon jangan menangis! Ibu akan membuat diri Ibu sakit.” gadis itu memeluk ibunya dengan wajah khawatir dan penuh kasih.
Ibu Esma tersenyum sinis di dalam hati. Shanum tidak tahu bahwa Ibunya adalah sutradara pementasan yang memainkan peran sempurna untuk menangkap simpati dan belas kasihan putri sambungnya.
Pelukan itu, meskipun penuh kebaikan, tidak mampu menyembunyikan senyuman kemenangan di balik raut wajah Ibu Esma. Shanum tidak sadar bahwa di balik kedamaian yang dia lihat, sebenarnya ada api pemberontakan yang berkobar. Wanita itu bermain dengan kelemahan palsu untuk mendapatkan keuntungan, membuat putrinya merasa menjadi pahlawan penyelamat dalam kisahnya yang seharusnya menyedihkan.
“Ibu tidak menangis, Ibu hanya sedih. Kita berdua tidak punya kemampuan apapun untuk menghasilkan uang. Bahkan untuk sesuap makan pun kita tidak bisa. Maafkan Ibu yang seharusnya bertanggung jawab padamu, tapi membuatmu harus bekerja. Ayahmu pasti akan sangat marah jika tahu anak kesayangannya berujung seperti ini.”
Hati Shanum bagai diiris sembilu, terasa sangat pedih. Dia memang anak yang sangat di sayangi oleh orangtuanya. Walau ayahnya tidak seperti orangtua pada umumnya yang berpenghasilan di atas UMR. Tapi orang tua Shanum selalu memprioritaskan kebutuhan dan keinginan putrinya.
“Papa tidak akan marah Ibu, Papa akan sangat bangga pada Shanum. Papa pasti bahagia melihat Shanum menjadi gadis yang penuh tanggungjawab, Ibu. Jadi, berhentilah berpikir yang tidak-tidak. Bahkan Papa juga tahu jika Ibu tidak boleh bekerja keras. Lalu kenapa Ibu harus sesedih ini.”
“Ibu hanya merasa bersalah padamu.”
“Ibu tidak salah apapun. Ibu sudah sangat baik pada Shanum. Jangan bersedih lagi ya Ibu, Shanum mohon. Shanum akan berangkat ke sekolah, dan harus segera masuk kerja. Sepertinya, Shanum akan pulang larut malam. Jika Ibu merasa sakit atau apapun, Ibu bisa datang ke tempat kerja Shanum.”
“Iya Nak. Maafkan Ibu ya. Hati-hati…” ucap Ibu Esma, kemudian Shanum mencium punggung tangan Ibunya dan pamit.
“Assalamu'alaikum Ibu, Shanum pamit.”
Dengan hati yang tetap tegar, gadis itu melangkah keluar dari pintu rumah. Mungkin hari ini bukanlah pagi yang cerah seperti biasanya, tapi setidaknya dia masih punya kesempatan untuk mengejar impiannya, bahkan di tengah-tengah reruntuhan hidup yang dia hadapi.
Sementara Shanum telah benar-benar pergi, Ibu Esma bangkit dari duduknya dan segera mengintip dari jendela untuk memastikan kembali jika Shanum sudah pergi.
“Syukurlah dia benar-benar sudah pergi hari ini, beberapa hari ini Aku sangat menderita. Berpura-pura sedih hingga membuatku stress. Hari ini kita akan jalan-jalan, makan, pijat dan shopping.”
Ibu Esma tertawa bahkan bersenandung seorang diri menikmati kesendiriannya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, wanita itu terlihat lebih segar walau wajahnya pucat tanpa make up yang terpoles.
“Apa wajahku terlihat pucat? Huh! Kontrakan ini sangat miskin, bahkan cermin saja tidak ada. Berpura-pura baik dan memberikan gratis menginap satu bulan. Memangnya Aku tidak tahu, ini hanya marketingmu, bodoh!” serah wanita itu seorang diri.
“Kamu mungkin bisa membodohi Shanum, tapi tidak denganku. Kontrakan jelek ini! Kapan Aku bisa pergi dari sini dan berpindah di rumah depan? Rumah yang begitu mewah. Aku pasti akan menjadi ratu jika tinggal di rumah orang kaya itu. Tidak masalah menjadi orang kedua atau ke seratus. Toh diriku juga sudah menjanda. Tapi apakah Aku bisa tinggal disana dan menjadi Nyonya? Tidak masalah jika Aku harus menjadi simpanan jika tempat tinggal ku seperti rumah itu.” gumam Ibu Esma ketika mengingat rumah yang dia lihat saat malam pertama dia menginjakkan kaki di kawasan tempat tinggalnya.
“Aku harus beli makeup untuk berusaha memikat sang tua rumah. Yang penting berusaha dulu, mengenai hasil…” Ibu Esma tertawa lucu, kemudian melanjutkan ucapannya.
“Mengenai hasil… di tentukan dari usaha. Usaha keras dan keterampilan yang ku miliki dapat memainkan peran penting dalam mencapai kesuksesan. Coba saja dulu, siapa yang tahu tentang hasil jika tidak dicoba.”
Wanita itu kemudian berjalan keluar, mengunci pintunya dan berjalan dengan pakaian yang digunakan berikan oleh Ibu Lisa.
Ibu Esma terus berjalan dan berdiri tepat di depan rumah besar yang dia bayangkan tadi.
“Esma… kamu akan menjadi nyonya di depan rumah yang kamu lihat saat ini!” batin wanita itu kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak hingga dia saat ini sudah berdiri di sebuah jalan raya besar.
“Ibu Esma… Anda mau kemana?” teriak Ibu Lisa ketika melihat Ibu Esma.
‘Wanita itu, kenapa sangat sok akrab. Apakah pakaian bekas dan makanan sisa membuatku harus merasa berterima kasih padamu? Cih!’ racau Ibu Esma dengan tatapan suka pada Ibu Lisa namun, tatapan itu segera berganti dengan senyum lemah.
“Eh… Ibu Lisa.”
“Mau kemana, Bu?”
Ibu Esma kembali melebarkan senimannya, kini dia harus menyakinkan wanita di depannya dengan peran yang akan dia mainkan.
Wanita itu tertunduk lesu, “itu, Bu. Saya ingin ke makam suami saya. Terdengar berlebihan, tapi Saya sangat merindukannya saat ini.”
Ibu Lisa terenyuh, “ya ampun… yang sabar ya Bu. Sebagai pasangan suami istri, kita memang sudah sangat dekat sebagai pasangan, sebagai teman dan sebagai partner. Pasti sangat sulit ketika tiba-tiba kita kehilangan pasangan. Rasanya dunia ini akan hampa dan kita akan berpikir, bagaimana caranya kita menghadapi hari-hari tanpa suami kita. Tapi Ibu Esma harus sadar. Ayah Shanum sudah tenang di tempat barunya. Jangan selalu mengingatnya, itu akan membuat Ibu Esma sakit.”
Ibu Esma mengusap air matanya, “benar Bu. Terima kasih.”
“Tapi Ibu akan kesana? Dengan apa?”
Ibu Esma tersenyum sedih, “saya akan berjalan kaki, Bu.” jawab Ibu Esma yang sangat tidak mungkin dia lakukan.
“Bukankah berjalan kaki akan membutuhkan waktu tiga jam? Pulang balik berarti enam jam? Ibu Esma, akan berjalan kaki selama enam jam? Jangan siksa diri Anda, Bu.”
Wanita yang berdaster biru, pemberian Ibu Lisa hanya bisa menggeleng lemah.
“Tidak masalah, Bu. Jika rinduku bisa ku obati. Walau berjalan kaki 24 jam juga tidak masalah.” jawab Ibu Esma membuat dirinya ingin tertawa terbahak karena kecerdasan membuatnya.
“Saya sangat kagum pada Anda. Ini ada uang tidak seberapa, karena masih lagi juga dan belum ada pelanggan, Saya hanya mampu memberi Anda seratus ribu.” Ibu Lisa menyodorkan selembar uang pada Ibu Esma dan Ibu Esma kembali memberi uang itu pada Ibu Lisa.
“Tidak perlu, Bu. Jangan seperti ini. Saya sudah sangat malu pada Anda. Anda sangat baik pada saya dan putriku. Bagaimana caranya Saya membalas kebaikan Anda? Dengan apa saya harus membalas Anda sedangkan kami tidak memiliki apapun saat ini.”
“Tidak perlu membalas saya, cukup Allah yang akan membalasnya. Ibu Esma hanya menerima saja, Saya ikhlas tanpa ingin dibalas. Jadi ambillah uang ini. Biarkan uang ini menjadi jembatan pertemuan Ibu bersama almarhum suami Ibu.”
“Maa syaa Allah, Ibu sangat baik. Saya benar-benar terharu.”
Tiba-tiba Ibu Esma menangis hingga mengeluarkan suara isak tangisnya.
“Jangan menangis Bu, untuk apa menangis. Saya adalah perantara yang Allah kirim untuk membantu Anda. Pergilah sekarang mumpung hari masih pagi. Anda bisa menghabiskan waktu lebih lama.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih…”
“Iya, cukup Terima kasihnya. Saya pergi dulu ya. Kembalilah saat jam makan siang dan segera datang ke sini, kita akan makan bersama. Saya pamit dulu.”
Bagi Ibu Lisa, wanita itu tidak masalah untuk memberi makan pada Ibu Esma karena dia mempunyai rumah makan. Tidak akan berkurang rezekinya jika memberi seseorang yang sangat membutuhkan.
Sepeninggal Ibu Lisa, Ibu Esma menghapus air matanya, berjalan trotoar dan menunggu taksi yang akan menjemput nya.
“Heh… seratus ribu sudah sangat sombong. Ngasih seratus saja, kata-katanya seperti sudah memberikan berjuta-juta.”
Tak ada kebaikan Ibu Lisa di mata Ibu Esma karena tertutup oleh kedengkian.
Bahkan wanita itu harus menjual rasa rindu yang tidak dia rasakan sama sekali, namun hanya membuatnya terlihat seperti seorang istri yang tak berdaya.
Sebuah taksi berhenti ketika melihat lambaian tangan Ibu Esma.
“Pak kita ke Mall ya.”
“Mall belum buka jam segini, Bu.”
Dahi wanita itu langsung berkerut, “bapak ini saya bayar! Terserah saya mau pergi jam berapa. Mau pergi subuh, juga urusan bapak. Tugas bapak itu hanya mengantar saya sesuai tujuan. Nggak usah banyak bacot!” sergah wanita itu.
Supir taksi hanya bisa terkejut dan melihat Ibu Esma di balik kaca spion yang berada di atasnya. Pengemudi itu kemudian menekankan laju kendaraannya dan menginjak remaja setelah mengambil arah kiri.
Kini, berganti Ibu Esma yang terkejut. “Kenapa Pak? Bannya kempes? Seharusnya sebelum menarik pelanggan, Anda harus mengecek mobil Anda dulu. Apakah layak jalan atau tidak.” bentak wanita berdaster tanpa henti.
“Iya Bu, seperti tadi saya lupa cek mobil saya dulu. Apakah layak seseorang seperti Anda menginjak mobil saya yang berharga ini? Silahkan turun, saya memang butuh uang tapi jika mendengar Anda terus mengomel, saya tidak butuh uang Anda. Turun sekarang juga!”
“Apa? Kurang adab sekali Bapak ini. Apakah layak seorang supir seperti Anda menurunkan penumpangnya.”
“Sangat layak jika penumpang itu tidak punya etika. Dan jangan pernah membicarakan adab, karena Anda lah yang tidak memiliki Adab. Jika tidak sadar, berkacalah! Jika tidak memiliki cermin, berkacalah di air comberan. Keluar sekarang juga, atau Saya yang akan memaksa Anda untuk keluar!”
Karena takut, Ibu Esma segera keluar dari mobil dengan dumelan yang tiada hentinya. Ketika mobil itu pergi meninggalkannya, Ibu Esma menyumpahi pengemudi itu.
“Semoga hari ini kamu tidak dapat setoran, semoga hari ini keluargamu kelaparan!”
