Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Keadaan tiba-tiba berubah saat seorang pencuri, seperti bayangan yang muncul dari sudut gelap, tiba-tiba merebut uang milik dengan cepat. Tindakan itu terjadi dengan begitu tiba-tiba sehingga gadis itu tidak punya waktu untuk bereaksi. Hatinya berdegup kencang, perasaan takut melanda, dan air matanya hampir jatuh tanpa bisa dia tahan.

“Oooh tidak. PENCURI! PENCURI!” Shanum berteriak dan ikut berlari hendak mengejar jambret tadi.

Tetapi, di tengah-tengah kepanikan dan kebingungan, seberkas tekad bersinar di matanya.

Dia tahu bahwa uang itu adalah satu-satunya yang tersisa untuk membeli beras, yang akan memberinya makanan untuk beberapa hari ke depan. Dengan hati yang hancur dan tangis yang hampir tumpah, dia berusaha mengejar si pencuri dengan langkah yang gemetar.

Shanum berlarian ke luar toko, setiap langkah yang diambilnya terasa seperti beban yang semakin berat, tetapi dia tetap melangkah maju. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran akan kehilangan uang itu, keputusasaan karena situasinya, dan ketakutan akan masa depan yang tak pasti.

EL yang baru saja keluar dari toko kelontong di samping toko Shanum membeli beras, melihat temannya berlarian dengan teriakan meminta tolong.

Gesit wanita itu mengetahui keadaan, dia segera melepas melepas helm yang masih melekat di kepalanya. EL segera melemparkan helm itu tanpa pertimbangan sama sekali.

Praaakkk…

Helm itu terjatuh ke lantai tepat setelah mengenai kepala jambret itu.

“JAMBREEEETTT! JAMBREEETTT!” suara EL menggelegar membuat orang sekitar sadar akan keadaan. Beberapa pria segera menghampiri dan mengungkung jambret itu agar tidak kabur.

Dengan nafas tersengal-sengal dan hati yang berdegup kencang, Shanum terus berlari mengejar pencuri itu, tidak membiarkan dirinya menyerah pada keadaan yang tidak adil. Meskipun air matanya sudah mulai mengalir, dia tidak mengizinkan kelemahan itu menghalangi langkahnya.

“S*alan! Berani mencuri di kawasan ini!” kata seorang pria yang tadi sedang bermain kartu.

Pencuri itu hanya menyembunyikan wajahnya agar tidak dipukul oleh massa.

“Berani banget Lo nyuri duit teman gua! Mana duitnya S*alan, Mana!” berang EL dan segera memeriksa saku celana pencobet itu.

Setelah menemukan uang ratusan ribu yang dianggap uang Shanum, EL melayangkan tinjunya sekali pada tangan pria itu.

“Ingin sekali Aku meninju wajahmu, tapi Aku tidak ingin membuat tanganku menyentuh wajah najismu itu.” kata EL kemudian berdiri seraya menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. Saat itu juga Shanum tiba dan EL segera memberikan uang milik Shanum.

“Ini uang kamu!”

“Alhamdulillah Terima kasih Kak EL, Terima kasih bapak-bapak.” sahut Shanum dengan lega. Rasanya beban berat yang di pukul beberapa menit itu terangkat sudah.

“Coba di hitung dulu, Neng. Apa masih kurang?” tanya seorang pria yang kira-kira berusia setengah abad.

“Alhamdulillah pas, Pak.”

“Alhamdulillah, serahkan dia pencopet ini pada kami. Silahkan lanjutkan yang mau di beli.”

“Terima kasih Pak, Terima kasih banyak!” kata Shanum kembali.

EL memungut helmnya yang sudah retak.

“Kak EL, terima kasih sudah membantuku. Terima kasih banyak. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku membalas kebaikan Kak EL. Dan juga…” mata Shanum melihat helm EL yang retak akibat di lemparkan tadi.

“Sepertinya Aku belum bisa mengganti helm Kak EL.” lanjut gadis itu terdengar tak berdaya.

“Jangan pernah mengganti helmku. Di rumah masih banyak. Dan helm ini juga sudah sangat lama. Saatnya Aku pensiunkan karena telah menolong seseorang, Aku bangga pada helmku ini.” ujar wanita itu memeluk helmnya.

“Dan juga! Jangan pernah berpikir untuk membalas kebaikanku. Balas saat kamu sudah sangat bisa tanpa memikirkan apapun lagi. Balas saat kamu sudah menjadi seseorang yang kaya raya, saat kamu sudah berlimpah dengan uang.”

Shanum mengangguk yakin, “Shanum akan membalas kebaikan Kak EL suatu saat, saat Shanum sudah menjadi orang sukses dan saat Shanum sudah menjadi orang kaya. Kak tinggal ngomong mau beli apa, akan Shanum belikan. Maa syaa Allah, bisakah Shanum seperti itu suatu saat nanti?” pikiran gadis itu melayang pada masa depan yang belum bisa tergambarkan sedikit pun.

“Jadi namamu Shanum?”

“Ups… Aku lupa!”

“Jangan khawatir, Kak EL tidak akan membongkarnya.”

“Memangnya kenapa harus menyamarkan nama asli, Kak?”

EL mengedikkan bahunya, “entahlah si Bos itu. Udah cepat beli berasnya, lalu Kak EL mengantarmu pulang.”

*

*

Saat ini Shanum sudah berdiri di depan rumahnya yang terlihat gelap. Gadis itu memutar kunci dan membuka pintu.

“Assalamu'alaikum…” ucapnya perlahan seraya mengedarkan pandangannya.

“Ibu…” panggil Shanum namun tak ada jawaban.

Gadis itu kemudian membuka pintu kamar ibunya, mencari sosok wanita yang tadi pagi hanya terduduk diam.

“Apa Ibu belum pulang dari makam papa?” gumamnya.

“Itu apa?” tanya gadis itu seraya terus melangkah masuk. Shanum kemudian mengambil amplop putih yang ada di lantai.

“Yang Duka!” Shanum tercengang, menatap kembali amplop dengan stempel nama sekolahnya.

“Oh… mungkin karena Ibu hanya memberikan uangnya lalu menyimpan amplopnya saja.” Shanum tak berpikir panjang ataupun berusaha memikirkan mengapa amplop putih itu masih ada di dalam kamar ibunya.

“Kasihan Ibu, belum ada kasur tempatnya tidur. Punggungnya pasti sangat sakit. Besok Aku harus membelikan Ibu dan juga untukku. Walaupun tipis, tidak masalah yang penting tidak di tidur di lantai yang dingin ini.”

Setelah menutup pintu kamar Ibunya, Shanum kembali mengangkat beras dan penanak nasi untuk di bawa ke ruang dapur.

Tapi saat dia berada di ruang tamu, mata Shanum melihat sesuatu yang putih di selipkan di bawah pintu.

“Apa itu?” tanyanya dengan langkah memungut sesutu benda yang terlihat seperti amplop lagi.

Shanum mulai membuka amplop putih tebal tersebut.

Dengan gemetar, gadis itu menggenggam amplop tebal itu di tangannya. Detak jantungnya berdegup kencang, seperti berusaha melarikan diri dari dadanya yang sesak. Ada firasat tentang amplop berlogo bank yang sangat Shanum kenal.

Tatapan matanya terpaku pada tulisan yang tercetak jelas di atasnya:

“Shanum Zoya Naira sebagai putri dari Bapak Agus telah menerima uang 25 juta sebagai uang asuransi meninggalnya Bapak Agus atas kecelakaan dalam kebakaran."

Saat membaca kata-kata yang di bold itu, dunia seolah berhenti berputar sejenak di sekitar Shanu. Pikirannya terasa kosong, tapi juga dipenuhi oleh berbagai perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Gadis itu langsung terduduk, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dia hentikan, perasaan kehilangan ayahnya yang begitu kuat dan tak tergantikan, kembali menghantamnya seperti ombak yang tak terduga.

“Papa… Papa… PAPA! Ini uang Papa, Pa. Shanum nggak mau uang, Shanum maunya Papa.” karena tak ada orang di rumah, Shanum mengeluarkan sesak di dadanya. Dia memeluk amplop itu seakan itu adalah ayah yang dia rindukan.

Amplop itu menjadi saksi bisu atas kepergian ayahnya, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya dalam setiap kesulitan dan kebahagiaan. Sementara uang yang terkandung di dalamnya, bukanlah ganti atas kehilangannya, tetapi lebih seperti pengingat akan betapa rapuhnya kehidupan dan bagaimana segalanya bisa berubah dalam sekejap.

“Papa Shanum butuh Papa, Shanum benar-benar tidak kuat kehilangan Papa. Hidup ini sangat berat Papa. Shanum nggak kuat. Shanum kelaparan, sangat lapar hingga memakan makanan sisa dari orang lain yang akan di buang. Hiks… hiksss.. Papa, Shanum butuh Papa.”

“Papa… bisakah Shanum bercerita? Tadi Shanum di jambret, uang yang Shanum jaga melebihi nyawa Shanum sendiri hampir saja hilang. Untung ada Kak EL yang membantu Shanum. Papa… ternyata menjadi dewasa itu sangat sulit. Rasanya Shanum tidak kuat, bisakah Shanum menyusul Papa dan Mama saja? Kenapa kalian pergi meninggalkan Shanum sendiri? Shanum juga tidak kuat hidup bersama Ibu.”

Gadis itu mengutarakan semua yang terjadi pada dirinya, mencoba menguatkan diri, menahan derasnya air mata yang terus mengalir. Namun, kesedihan itu begitu mendalam, seperti lubang hitam yang menganga di dalam hatinya.

“Shanum merindukan Papa, suara Papa yang lembut, senyum Papa yang hangat, dan pelukan yang penuh kasih sayang. Tak bisakah semuanya terulang kembali?”

Dalam keheningan yang menyayat hati itu, Shanum merasakan kehadiran papanya, meskipun hanya dalam kenangan.

Ayahnya mengajarkan dia untuk kuat dan tegar, bahkan di saat-saat yang paling sulit sekalipun. Dan sekarang, di tengah cobaan ini, dia tahu bahwa dia harus melangkah maju, menghadapi masa depan dengan kepala tegak, seperti yang dia inginkan.

Besok, Shanum harus mencairkan uang itu.

“Ibu pasti akan senang jika rumah ini terisi dengan perabotan. Besok, Shanum akan belanja dan akan ke makam Papa sendiri lalu akan membayar utang Papa di tetangga. Besok Shanum harus izin ke sekolah.” gumam gadis itu.

“Terima kasih Ya Allah, Terima kasih Papa.” kata Shanum penuh syukur.

*

*

“Nikmatnya jadi orang kaya. Rambut di salon, kuku-kukuku sudah terlihat berwarna kembali, kukitku sudah terlihat cerah setelah di massage. Uhhhh, bisakah Aku tinggal di kamar hotel ini untuk selamanya?” wanita dalam bathrobe putih membuang dirinya di atas kasur empuk.

Ibu Esma sudah terlihat cantik kembali setelah perawatan satu harian.

“Kenapa lama sekali sih!” gerutu wanita itu.

Bel pun berbunyi, Ibu Esma bangkit untuk membuka pintu.

Seorang pelayan pria masuk dengan troli yang dorong. Sepiring stik dan beberapa stik kentang goreng dan sebotol anggur merah.

Seraya memindahkan makanan di atas meja, Ibu Esma melirik pelayan itu. Sedikit saja dia mulai menyingkap bathrobe hingga sedikit terlihat pahanya yang putih. Wanita itu memang sejak dulu selalu merawat kulitnya tak peduli dengan uang yang Pak Agus dapatkan sangat sulit.

“Mas, bisa pindahkan piring itu di sebelah sini?” kata Ibu Esma seraya menyilang kakinya hingga kain bathrobe kembali tersingkap.

Pelayan itupun melakukan apa yang di suruh oleh Ibu Esma namun tetap menjaga pandangannya.

“Jika Nyonya masih butuh sesuatu, silahkan hubungi kami kembali.” kata pelayan tersebut dengan ramah.

Ibu Esma tersenyum, “bagaimana jika Aku butuh teman mengobrol? Apa kamu bisa menemaniku mengobrol?” ujar Ibu Esma dengan jari lentik yang memainkan gelasnya.

Jari-jari lentik yang memainkan gelas di depannya dengan gemulai. Gerakan-gerakan halusnya mengundang, mempesona, dan menyihir. Seolah setiap sentuhan jemarinya menyiratkan cerita-cerita yang tak terucapkan. Pelayan hotel di dekatnya tampak kebingungan, terseret dalam pesona yang dia pancarkan. Bagaimana pun dia adalah seorang pria normal.

“Maaf, jika Nyonya ingin teman cerita. Tolong hubungi resepsionis untuk mencari tahu. Saya permisi dulu, Nyonya.”

“Bagaimana jika Aku butuh teman tidur!” kata Ibu Esma dengan suara di pelan kan, mencoba menggoda pria di depannya.

Usaha wanita itu tidak berhasil, pelayan itu pergi tak menoleh hingga dia membuka pintu.

“S*alan! Dasar tidak normal!” dengus wanita itu dengan kesal.

“Lagi pula ini minuman apa? Wine? Aku hanya memesan dengan asal, harganya sebelom hampir menghabiskan uangku.” geramnya lagi.

“Seenak apa minuman ini?” Ibu Esma sama sekali tak tahu jika wine adalah minuman yang bisa memabukkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel