Bab 5
“...Bahkan bukan itu saja, ternyata selama ini ayahmu menyembunyikan sesuatu pada kita.”
“Menyembunyikan sesuatu? Menyembunyikan apa, Ibu?”
“Menyembunyikan jika selama ini Papany punya utang dengan tetangga.” jawab Ibu Esma sangat meyakinkan. Bahkan Shanum sulit untuk menolak percaya.
“Tidak mungkin Papa punya utang, Ibu. Papa tidak pernah berhutang pada siapapun termasuk keluarganya apalagi tetangga.” elak Shanum.
“Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Apa kamu selalu ada bersama ayahmu? Apa sepanjang hari kamu selalu di samping ayahmu? Apa kamu tahu kebutuhan keluarga selama ini? Apa kita punya sawah hingga kita bisa memanen dan tidak perlu membeli beras? Apa kita bisa memancing ikan agar tidak perlu membeli lauk pauk di pasar? Apa kita memiliki kebun sayuran, hingga kita bisa memetik sayur tanpa harus di beli? Kamu pikir gaji dari seorang pegawai kantor non ASN cukup untuk kebutuhan sehari-hari? Buka pikiranmu!” ketus Ibu Esma.
Shanum hanya bisa terdiam, semua apa yang di katakan ibunya, benar adanya.
“Tapi, Bu… apakah utang Papa sudah lunas?”
“Lunas? Maksudmu lunas? Apakah uang 10 juta gampang di cari dalam sehari saja? Ibu mohon kamu berpikir, Shanum. Kamu anak cerdas, kamu akan tahu dengan mudah.”
“10 juta?” roh Shanum terasa di cabut dengan kuat hingga dia merasa tak lagi berpijak. Bagaimana mungkin.
“Untung saja uang suka dari sekolahmu itu ada. Jika tidak, Ibu akan benar-benar malu pada tetangga. Ibu terpaksa membayar utang Papa dengan uangmu. Apa kamu keberatan?”
Shanum menggeleng pelan, hanya tidak percaya uang itu telah melayang. Lalu bagaimana cara dia mengisi kontrakannya?
“Tentu tidak masalah Ibu, Terima kasih karena Ibu sudah membayarnya.”
“Utang ayahmu tersisa 5 juta lagi. Saat kamu pergi di rumah gurumu, Ibu mohon pada tetangga agar memberi Ibu waktu. Alhamdulillah mereka bisa mengerti. Setiap bulan, kita harus menyetor 500 ribu pada mereka. Itulah yang Ibu janjikan pada mereka.” Ibu Esma tertunduk dan akhirnya terduduk lesu di lantai.
“Ibu ingin bertanya, berapa yang harus kita bayar untuk kontrakan ini setiap bulan?” suara Ibu Esma mulai merendah dan Shanum ikut duduk di depan Ibunya.
“Ibu kos mengatakan, kontrakan ini setiap tanggal 20 harus di bayar 2 juta. Tapi karena Ibu Lisa kasihan melihat Shanum, hingga Ibu Lisa menurunkan harganya setengah.” jawab Shanum.
“Jadi 1 juta?”
“Iya, Ibu.”
“Dalam sebulan kita harus mengumpulkan uang mati 1.5 juta. Uang mati adalah uang yang tidak bisa kita gunakan dalam keadaan apapun. Jadi berapa gajimu setelah kamu bekerja di tempat yang kamu bilang?”
“Shanum belum tahu, Ibu. Karena Shanum minta kerjaan pada malam hari, mungkin gajinya sedikit.”
“Kenapa tidak masuk dari pagi hingga malam?”
“Shanum harus sekolah, Ibu?”
Ibu Esma terdiam dan menyeringai dengan wajahnya yang tidak mengenakkan.
“Kamu masih berpikir tentang sekolah?”
“Shanum harus melanjutkan sekolah, Ibu. Sisa sedikit lagi perjalanan Shanum. Bahkan Papa juga sangat menentang jika Shanum putus sekolah.”
“Tidak masalah jika kamu ingin meneruskan pendidikanmu hingga S10. Tapi itu saat ayahmu ada. Saat ini, siapa yang harus menjadi tulang punggung keluarga? Kamu tahu, Ibu punya penyakit yang tidak mengharuskan Ibu untuk bekerja keras. Maafkan Ibu, Ibu mau membantumu tapi, Ibu tidak sanggup dengan kondisi Ibu seperti saat ini.”
“Shanum tahu, Ibu. Ibu di rumah saja, biarkan Shanum yang bekerja. Tapi, Shanum tidak bisa berhenti dari sekolah.” jawab Shanum, dia tidak ingin semuanya menjadi sia-sia termasuk usaha ayah dan ibu kandungnya yang telah membiayai sekolah nya selama ini.
“Jadi kamu ingin melanjutkan pendidikanmu kembali?”
Shanum mengangguk.
“Dia mana kamu akan mengambil seragam sekolah, sementara baju kita yang melekat di tubuh ini adalah pemberian. Dimana kamu akan mengambil buku, dan perlengkapan lain, sementara semua sudah hancur menjadi abu. Dan jika ada pembayaran, bagaimana kamu akan melunasinya?”
“Tidak ada yang akan di bayar karena semuanya sudah lunas, di sekolah ada seragam yang khusus di tinggalkan alumni untuk di sumbangkan, dan perlengkapan sekolah biarkan semuanya ada di tengah perjalanan Shanum sekolah.” kekeh gadis itu tak ingin merelakan pendidikannya yang sebentar lagi.
Ibu Esma menatap Shanum dan membuang nafas, “baiklah terserah kamu. Jadi besok kamu akan mulai sekolah?”
“Iya, Ibu. Mungkin setelah pulang sekolah, Shanum langsung mampir di tempat kerja. Shanum tidak bisa mengambil jadwal malam, agar bayaran Shanum lebih tinggi.”
“Baiklah, sekarang tidurlah dulu. Ini juga sudah sangat malam.”
“Tapi, Ibu… bagaimana dengan makanan Ibu Ibu bahkan tidak memegang uang sama sekali.”
“Ibu bisa puasa, sama seperti hari ini.” jawab Ibu Esma, kemudian berdiri dan beranjak dari duduknya.
Shanum berpikir tentang uang yang ada di sakunya. Uang hasil dari tabungan dan pemberian dari Ibu Jihan.
“Ibu, sebenarnya Shanum punya…” ucapan itu menggantung.
“Punya apa?”
“Shanum punya jatah makan siang dari tempat kerjaan Shanum, mungkin besok Shanum akan mengatakannya untuk Ibu.” jawab gadis itu, dia membatalkan untuk mengungkapkan jika dirinya memegang uang saat ini.
Sama dengan dirinya yang tak percaya ayahnya mempunyai utang, Shanum juga tak percaya jika uang duka itu telah di bayarkan. Antara percaya dan harus percaya, Shanum tak tahu harus berdiri dimana.
Karena malam semakin larut, keduanya memasuki kamar mereka masing-masing.
Shanum masuk ke dalam kamar yang lebih kecil, gadis itu meringkuk, duduk memeluk lututnya di samping jendela menatap malam yang kian gelap.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, terasa begitu lama bagi Shanum yang tak pernah terlelap, bahkan merebahkan tubuhnya.
Dalam keheningan malam, gadis bertubuh kecil itu duduk sendirian di kamar, mendengarkan bisikan-bisikan kebenaran yang terlontar dari bibir ibunya. Suara lembutnya menusuk hati Shanum, mengungkap rahasia kelam yang selama ini tersembunyi.
Ayahnya, sosok yang tak pernah dia kenal sebagai seorang yang berhutang, kini diseret oleh bayang-bayang hutang pada tetangga.
Shanum merasa terhempas oleh kenyataan yang tak terduga ini. Bagaimana mungkin ayah, yang selalu dia kagumi sebagai sosok tangguh, ternyata membawa beban hutang yang begitu besar?
Pikirannya melayang-layang antara percaya dan tidak percaya. Seperti berjalan di atas seutas tali tipis yang siap putus setiap saat.
Tetapi, dalam kebingungan itu, Shanum juga merasakan getaran empati. Ayahnya bukanlah sosok sempurna, dan seperti setiap manusia, dia juga mungkin memiliki kesalahan yang tersembunyi.
Gadis berambut sebahu itu terus merenungi bagaimana Ayahnya mungkin saja merahasiakan beban ini demi melindungi keluarga. Namun, itu tidak menghilangkan kebingungan dan kekecewaan yang Shanum rasakan.
Shanum berusaha mencerna perasaan campur aduk itu, berusaha memahami bahwa kejujuran seringkali tumbuh dari kegelapan. Dan dalam keheningan itu, dirinya merenung tentang bagaimana keluarga itu harus melangkah maju, menghadapi masa depan tanpa kehadiran ayah, sambil membawa beban hutang yang tidak pernah dia duga sebelumnya.
“Papa… apakah benar Pa? Maafkan Shanum tidak tahu beban yang selama ini Papa tanggung.”
Tangisnya pecah, bukan hanya karena kehilangan ayah, tapi juga karena harus menghadapi sisi gelap yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Hatinya terasa seperti terjepit, sesak oleh rindu yang tak terhingga. Terdengar getaran desah angin yang seolah membawa kenangan manis bersama sang ayah.
"Papa," bisiknya, suara serak karena kerinduan.
"Shanum kangen Pa. Shanum benar-benar kangen, Papa."
Setiap detik, setiap kenangan, seperti pisau yang menusuk-nusuk hatinya.
Shanum merindukan senyum hangatnya, pelukan kokohnya yang membuatnya merasa aman. Terbayang wajah ayahnya dalam bayangan, mengajaknya bermain di taman atau memberikan pelajaran hidup yang tak terlupakan. Setiap momen bersamanya kini menjadi harta karun yang tak tergantikan.
Rindu itu begitu menyakitkan, seakan-akan ada lubang besar di dadanya yang tak bisa terisi.
“Aku merindukan suara Papa. Bagaimana bisa Shanum menjalankan hidup Shanum, Pa. Hiks.. Hikss.. Shanum tak kuat menjalani semuanya. Ini terlalu berat untuk Shanum.” gadis itu kembali melanjutkan tangisannya, menutup wajahnya yang banjir air mata dengan kedua telapak tangannya.
Tangis anak itu pecah, tubuhnya bergetar hingga suaranya tak bisa dia tahan. Kamar kosong menjadi saksi ratapannya malam itu. Matanya berkaca-kaca, membiarkan air mata mengalir tanpa henti.
Namun, meski rindu ini menyesakkan, Shanum tahu bahwa kenangan bersama ayahnya akan tetap hidup dalam hatinya. Ayahnya mungkin tak ada di sina secara fisik, tapi kehadirannya masih terasa dalam setiap hembusan angin, setiap senyuman yang terukir di wajahnya. Dan di tengah desahan malam, dia berharap suara rindu itu bisa sampai ke langit, menyentuh hatinya di sana, bahwa dia benar-benar merindukannya dengan segenap jiwa dan raga.
Ditengah tangisannya, tiba-tiba Shanum teringat, bahwa tidak boleh meratapi orang yang telah meninggal secara berlebihan.
“Astaghfirullah, maafkan Shanum Papa. Shanum hanya berharap agar Allah memberi Shanum kekuatan untuk terus melanjutkan hidup ini meski tidak akan mudah.
Sementara Shanum sudah tertidur dengan bekas air matanya yang belum mengering, di kamar sebelah Ibu Esma mengunci pintunya dengan rapat.
“Aku bukan rakus, setidaknya ini adalah ucapan terima kasihmu untukku. Tak ada yang apapun yang kamu tinggalkan untukku.”
Ibu Esma mengangkat gamisnya setengah hingga di pinggangnya dan terlihatlah celana panjang hitamnya.
Ibu Esma merogoh sesuatu dalam sakunya dan terlihatlah beberapa uang seratus ribu beberapa lembar banyaknya.
Wanita itu duduk melantai, wajahnya dipenuhi senyum palsu. Dia menyembunyikan amplop dengan uang di dalam saku celananya. Kebohongan itu keluar dengan begitu lancar, seolah menjadi bagian tak terelakkan dari perannya sebagai ibu.
“Uang ini harus Aku ambil untuk bertahan hidup. Aku tidak punya tanggung jawab pada putri yang kamu tinggalkan, sementara tak ada sepeserpun harta yang Papa sisakan untuk kami. Bahkan tabungan pun tak ada. Untung saja uang ini ada. Aku harus bertahan hidup untuk sementara.”
Ternyata uang duka yang Ibu Esma katakan sebagai pembayar utang pada tetangga hanyalah sebuah kebohongan belaka.
Wanita itu kembali memerankan perannya, hingga membuat Shanum merasa terbebani dengan hidup yang akan di jalani, dan dengan utang yang harus dia bayar setiap bulan.
Uang itu akan menjadi uang jajan bagi Ibu Esma.
