Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Di tengah langit yang terus menggelap, dan keheningan sekitar membuat langkah seorang gadis melintasi jalan setapak terdengar sangat jelas. Wajahnya berbinar, menyiratkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.

Dia telah menemukan kontrakan gratis, Ibu Lisa tidak mengambil uang Shanum sama sekali dan mengizinkan Shanum serta Ibunya untuk tinggal di tempat di mana kisah baru akan dimulai.

Dalam hati gadis tersebut, gelombang sukacita terus bersemangat. Dia membayangkan ruang-ruang di kontrakannya yang akan diisi dengan tawa dan kenangan baru tanpa sang ayah.

Malam semakin beranjak dan akhirnya, Shanum telah memasuki perkampungan tempat tinggalnya dulu. Bau hangus menyeruak masuk dalam penciumannya. Kerangka-kerangka kayu yang dulu kokoh menjadi penyangga rumahnya kini luluh lantah. Namun, gadis itu tak ingin berlarut dalam kesedihan, Shanum merasa bersemangat untuk berbagi berita ini dengan ibunya, untuk melihat senyuman di wajah orang yang satu-satunya akan hidup bersamanya..

Langit mungkin terlihat gelap, tetapi dalam hati gadis itu, ada kecerahan yang tak tergantikan.

“Assalamu'alaikum…” Shanum tersenyum ketika melihat ibunya, ada beberapa tetangga juga di sana yang sedang menemani Ibu Esma.

“Wa'alaikumussalam, kemana saja sih? Ibu benar-benar khawatir sama kamu?” kata Ibu Esma ketika melihat putrinya memasuki rumah tetangga.

“Masuk Nak. Sini masuk. Kamu dari mana saja, Ibu kamu sejak tadi sangat mengkhawatirkan kamu.” sambutan hangat dari tetangga pemilik rumah.

“Shanum mencari kontrakan Bu.”

“Ya ampun anak ini, kenapa mencari kontrakan. Kalian bisa tinggal beberapa hari di rumah Ibu.”

Gadis itu tersenyum simpul, “Terima kasih banyak, Bu. Tapi Shanum sudah dapat kontrakan alhamdulillah.”

Mata Ibu Esma berbinar mendengar ucapan Shanum, artinya dia bisa pergi dari rumah tetangganya dan bisa bebas di rumah sendiri walaupun ngontrak.

“Benarkah?” tanya wanita itu, tampak wajahnya terlihat lelah dan sedikit sembab.

“Benar, Bu. Kita akan pindah disana. Ibu tidak masalah kan tinggal di rumah kontrakan? Maafkan Papa Shanum karena tidak meninggalkan apapun untuk Ibu.” Shanum tertunduk, beberapa ibu-ibu terenyuh mendengar permintaan maaf Shanum.

Gadis yang hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah yang tak terkira. Ibu sambungnya, wanita yang berusaha keras menjadi tempat perlindungan bagi Shanum, kini terpaksa merasakan beban hidup yang semakin berat.

Ayah telah pergi tanpa meninggalkan apa pun, bahkan sebuah warisan yang dapat meringankan perjuangan. Rumah, tempat yang seharusnya memberikan kenyamanan, kini menjadi saksi bisu kepergian ayah tanpa bekas.

“Alhamdulillah jika seperti itu, kita akan tinggal disana bersama.” jawab Ibu Esma.

“Apakah rumah kontrakan kali jauh dari sini?” tanya salah satu tetangga.

“Agak jauh Bu, jika berjalan kaki akan menempuh waktu tiga jam.” jawab gadis tersebut, dia tidak bisa memperkirakan jika menaiki kendaraan karena Shanum berjalan kaki tadi.

“Ha? Kok jalan kaki, memang tadi kamu cari kontrakan jalan kaki, Nak?” tanya Ibu Esma.

Gadis itu memaksakan tawanya, “Shanum tidak sadar, Ibu. Mungkin karena semangat mencari tempat tinggal. Alhamdulillah, tempat baru kita juga sangat nyaman walaupun tidak sebesar rumah sebelumnya Ibu. Maafkan Shanum.”

Gadis itu merasa bersalah, seakan-akan dia juga turut serta dalam keputusan ayah yang meninggalkan mereka begitu saja. Saat dia melihat wajah lelah ibunya, Shanum menyadari betapa besar tanggung jawab yang kini menjadi bebannya.

Gadis yang duduk melantai di samping Ibu sambungnya tersebut berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi kuat, menjadi pilar yang dapat menopang ibu dan mengembalikan kehangatan yang hilang dalam rumah mereka. Namun, di balik rasa bersalah itu, ada tekad untuk mengubah takdir. Shanum akan bekerja keras, belajar lebih giat, dan mencari cara untuk memberikan ibunya kehidupan yang lebih baik.

Meskipun ayahnya pergi tanpa harta, gadis berwajah ayu itu yakin, mereka dapat menciptakan kebahagiaan dan keberhasilan dari usaha dan tekad bersama, padahal Shanum belum tahu bagaimana Ibunya akan bersikap nanti. Masih kan ibunya yang dulu seperti yang Shanum lihat selama ini?

Terlepas dari beban yang kini Shanu. tanggung, dia bersumpah untuk tidak membiarkan rasa bersalah menghalangi langkahnya.

Ini adalah ujian bagi mereka, dan bersama-sama, mereka akan melaluinya. Mungkin takdir memang memberikan cobaan, namun keputusan akan menentukan bagaimana mereka menghadapinya.

“Kenapa meminta maaf Nak, memangnya ini salahmu? Memangnya kita yang memilih takdir hidup kita seperti ini?” Ibu Esma kembali menangis, bahkan Shanum dan beberapa orang tetangga ikut bersedih atas ucapan Ibu Esma.

“Jika kita bisa memilih takdir, tidak masalah rumah habis tidak tersisa sedikitpun. Tapi jangan ambil suamiku Tuhan. Bagaimana kami bisa hidup tanpa dirinya. Kami masih butuh dia. Bahkan saat ini Aku merindukan suamiku.” Shanum memeluk Ibunya dengan lelehan air matanya.

Suasana sunyi hanya dipenuhi oleh isakan tangis yang sulit diredam. Siang tadi, mereka telah mengantar ayah terakhir kalinya, menyaksikan pemakaman yang meninggalkan luka mendalam di hati keduanya.

Saat pelukan ibu menyentuh tubuh Shanum, gadis itu merasakan getaran kelemahan dan kehilangan yang sama. Mereka saling mendekap erat, seolah ingin menciptakan semacam perlindungan dari kenyataan pahit yang baru saja mereka alami.

Matahari sudah terbenam, tapi kepedihan di hati keduanya masih seolah-olah belum mau mereda.

“Maaf Bu, maafkan Shanum semua ini gara-gara Shanum. Andai saja, Papa tidak menyelamatkan Shanum. Papa tidak akan meninggal. Biarkan Shanum saja yang meninggal. Shanum ikhlas.” kata gadis itu dengan sesegukan.

Setiap isakan tangis adalah sebuah kenangan yang menghantamnya, membangkitkan detik-detik terakhir saat dia harus merelakan ayahnya pergi.

Mereka menangis bukan hanya untuk kehilangan, tapi juga untuk rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam pelukan itu, Shanum merasakan bahwa sekuat apapun mereka mencoba untuk tegar, tetaplah manusia yang rentan terhadap perasaan.

Pelukan ibu memberi penghiburan, tapi juga mengingatkan bahwa kehidupan kadang memberi ujian yang sulit untuk dihadapi.

Pada saat-saat seperti ini, pelukan dan tangis adalah ungkapan yang lebih kuat daripada kata-kata. Meskipun air mata membasahi pipi, namun di baliknya ada kekuatan untuk melangkah maju, bersama-sama, merangkul menjalani perjalanan ke depan yang tak pernah mudah, namun harus mereka hadapi bersama.

“Tidak kamu tidak salah sama sekali. Takdir yang memilih kita, bukan kita yang memilih takdir.” ucap Ibu Esma mengusap kepala Shanum yang bersandar di bahunya.

Kini keduanya terlihat lebih tenang.

Sebagai manusia memang tidak dapat mengontrol semua aspek takdir dalam hidup. Terkadang, cobaan dan tantangan datang tanpa pemberitahuan.

Namun, kekuatan sejati terletak pada bagaimana seseorang merespons dan menghadapi setiap rintangan yang datang, meskipun tak pernah diinginkan.

Hidup ini penuh dengan liku-liku, dan kekuatan untuk tetap tegar di tengah badai dari perjalanan manusia. Dengan menerima kenyataan bahwa manusia hanya lah yang dapat belajar dan berkembang melalui pengalaman hidup, baik yang menyenangkan maupun yang sulit.

*

*

Saat ini Shanum beserta Ibunya berangkat dengan kendaraan yang di pesan online untuk tetangga. Bahkan kendaraan itu di bayar oleh tetangga.

Shanum tidak ingin mengatakan jika dia masih memegang uang. Gadis itu ingin tahu, uang suka dari pihak sekolah, dikemanakan oleh ibunya.

Hampir satu jam, keduanya telah tiba di depan kontrakan yang sebelumnya sudah dilihat oleh Shanum.

Keduanya turun dari mobil, Ibu Esma memperhatikan bangunan kecil di depannya. Tidak besar namun terasa nyaman untuk tinggal.

Sekitar dua rumah dari kontrakan itu, terdapat sebuah rumah yang lebih besar dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya.

Ibu Esma memperhatikan rumah dua lantai itu.

“Itu rumah pemilik kontrakan ini?” tanyanya.

Shanum menoleh dan menjawab, “Iya Ibu, tapi bukan dia yang mengelola kontrakannya. Pemilik rumah besar itu, memberikan pada kakaknya kontrakan ini untuk di kelola. Namanya Ibu Lisa, besok kita akan bertemu dengan Ibu Lisa. Orangnya sangat baik, Bu. Bahkan Dia memberi kami izin menginap sebulan secara gratis di rumah ini.” Shanum kelepasan karena antusiasnya. Namun, gadis itu lega ketika Ibunya hanya diam memperhatikan rumah besar itu.

“Ayo Bu, kita masuk dulu.” ajak Shanum.

Gadis itu memimpin jalan, menyalakan lampu dan terlihatlah ruang kosong.

“Loh, kok nggak ada kursinya?” Ibu Esma berjalan menuju ruang tidur dan melihat kamar kosong.

“Kenapa tidak ada kasurnya? Lalu kita akan tidur dimana? Lantai? Meringkuk bagai bayi karena kedinginan, setelah pagi badan akan sakit, seperti itu?”

Shanum tersentak mendengar suara ibunya yang meninggi. Pikir gadis itu, ibu sambungnya sedang lelah, makanya ucapannya tidak bisa di kontrol.

“Yang penting kita kan bisa dapat kontrakan yang nyaman, Ibu. Apalagi saat ini kontrakan dengan harga murah sangat sulit di dapatkan. Alhamdulillah kita bisa tinggal di rumah ini.”

“Kamu bilang nyaman? Dari sisi mana kamu bilang nyaman? Sofa tak ada, kasur tidak ada, lemari tidak ada, bahkan dapur pun tidak memberikan fasilitas memasak. Nyaman dari mana? Seharusnya kamu cari yang lengkap, kenapa harus kosong melompong seperti ini. Bahkan yang ada hanya kipas angin. Apa dia pikir, untuk bisa membuat kita masuk angin?” dengus Ibu Esma tak hentinya. Shanum tak tahu harus berkata apa lagi.

“Tapi kan ini gratis, Ibu.”

“Gratis, gratis. Pemulung saja akan menolak tinggal di rumah seperti ini.”

‘Astaghfirullah.’ batin Shanum berteriak.

“Shanum mendapatkan rumah ini bukan karena gratis semata, Shanum akan bekerja di rumah makan Ibu Lisa. Di samping gajinya bisa membayar kontrakan, kita juga bisa membeli sedikit demi sedikit kebutuhan kita, Ibu. Shanum mohon bersabarlah.” kata gadis itu dengan lelah.

“Bersabar sampai kapan? Kamu kerja apa di sana? Sebagai kasir?”

“Bukan Bu, mungkin Shanum akan merangkap menjadi pelayan dan pembersih atau tukang cuci piring. Kata Ibu Lisa, beliau butuh tiga orang karyawan. Ibu masuk kerja juga ya, dengan begitu gaji kita akan cepat terkumpul dan kita bisa mengisi rumah ini.”

“Setelah ayahmu meninggal dan tidak meninggalkan apapun. Kini putrinya yang akan mengaturku? Ha… ha… kalian pikir, kalian ini siapa haaaa!” ucapnya dengan suara yang penuh ketegasan.

Ketika kata-kata ibu sambungnya terdengar, detak jantung Shanum seakan berhenti sejenak. Percikan kata-kata itu seolah menyadarkan anak itu akan beban yang kini harus dia tanggung. Ayah pergi, dan rumah yang harusnya penuh tawa kini terasa sunyi.

Shanum Zoya Naira, seorang gadis muda dengan mimpi dan harapan, tiba-tiba dihadapkan pada tanggung jawab besar yang melebihi usianya.

Shanum belum terbiasa menjadi orang yang harus mengatur segalanya seperti yang Ibunya pikirkan. Rasanya seperti menghadapi badai tanpa pelindung. Tapi, di dalam getaran teguran itu, ada panggilan untuk tumbuh dan menjadi kuat.

Shanum serba salah dan merasa bersalah, dia harus mengambil tanggung jawab yang sebelumnya dipegang ayah.

Mungkin dia belum siap, tapi hidup kadangkala tak memberi kesempatan untuk memilih waktu yang tepat.

Shanum ingin memberikan yang terbaik untuk ibu dan dirinya sendiri. Tugas ini mungkin berat, tapi akan dia ambil sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.

Tentu, ada kekhawatiran dan keraguan, tapi juga ada tekad untuk melangkah maju. Sambil merangkul nasib yang tidak terduga, dia akan mencoba menjalani peran ini dengan semangat, meski terkadang masih berpikir, 'Apakah aku benar-benar mampu mengatur semuanya?'

Hanya waktu yang akan memberi jawaban.

“Maaf Ibu, Shanum tidak mengatur Ibu. Bagaimana mungkin Shanum berani? Shanum hanya memberi Ibu pilihan, bagaimana Ibu bisa menjawab pilihan itu. Mengambilnya atau menolaknya!”

“Perlu kamu tahu ya, Shanum. Ibu dibesarkan dari keluarga Ibu dengan sangat baik hingga Ibu dewasa. Kemudian datang ayahmu yang menjanjikan segala hal yang manis mengalahkan madu. Ibu terjerumus dalam janji manis ayahmu, Ibu meninggalkan keluarga Ibu yang jauh di seberang. Hingga saat orang tuaku meninggal, bukannya ayahmu memberi uang agar Ibu melihat di mana makam orang tuaku saat ini. Nyatanya apa? Ayahmu tak punya sama sekali, dan sampai detik Ibu belum tahu dimana makam orang tuaku berada. Dan kini, setelah ayahmu meninggal, kamu ingin menjadikan Ibu sebagai seorang pelayan? Kenapa kalian sangat kompak menyiksaku hingga Ibu sulit untuk bernafas saat ini!”

Shanum semakin merasa bersalah mendengar kisah Ibunya.

“Maafkan ayahku, Ibu. Mohon maafkan dia. Tapi, tidak berarti Papa terus membawa Ibu dalam kesedihan. Ibu bahkan sangat senang bersama Papa, Papa sangat menyayangi Ibu. Apapun yang Ibu ingin makan, pasti Papa akan belikan. Jadi Shanum mohon jangan mengingat hal yang tidak baik tentang Papa.”

Ibu Esma hanya terdiam.

“Emm… Ibu, ada sesuatu yang ingin Shanum tanyakan.” gadis itu tampak ragu.

“Apa?”

“Tadi kan guru dan teman-teman Shanum datang melayat, apa mereka memberi sesuatu?”

“Ha? Sesuatu? Apa lagi yang pelayat bawa selain ucapan bela sungkawa?”

Shanum menelan ludah, dia tak tahu harus mulai dari mana untuk bertanya tentang uang duka agar tidak membuat Ibunya merasa disindir.

“Maksud Shanum, apakah Ibu Jihan tidak memberi Ibu uang duka?”

“Kamu menuduh Ibu mengambil uang itu?”

“Tidak, Ibu… Shanum hanya bertanya saja, apakah Ibu ada memegang uang duka? Jika ada, uang itu bisa dibelikan perabotan. Seadanya saja dulu.”

“Maksud kamu apa?”

Shanum membuang nafas jengah, “saat Shanum ke rumah Ibu Jihan. Ibu Jihan mengatakan, memberi Ibu uang duka.”

Ibu Esma terlihat kelabakan dan bingung, “uang itu sudah habis!”

“Apa? Kok bisa habis, Bu?”

“Kamu pikir Ibu memakannya? Sampai detik ini Ibu bahkan belum makan.”

“Shanum tidak bermaksud menuduh Ibu. Tapi uang itu kenapa bisa habis.”

“Untuk apa lagi jika tidak membayar pemakaman ayah kamu? Kamu pikir segalanya gratis? Bahkan bukan itu saja, ternyata selama ini ayahmu menyembunyikan sesuatu pada kita.”

“Menyembunyikan sesuatu? Menyembunyikan apa, Ibu?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel