

Bab 3
“Shanum… ini uang tabungan kamu Nak. 700 ribu.” kata Ibu Jihan seraya memberikan uang 100 ribu, 5 lembar dan uang 50 ribu, 4 lembar.
Shanum terkejut dengan isi tabungannya yang sangat kurang itu.
“Maaf Bu, 700 ribu?” tanyanya.
“Benar, sebenarnya 1 juta. Tapi kan sudah di potong 300 ribu untuk perpisahan sekolah nanti. Apa kamu tidak ingat? Kita sudah membahasnya dengan temanmu.”
Shanum tergugu, benar juga. Ingatan Shanum mengarah pada hari itu, dimana seluruh siswa kelas tiga diwajibkan untuk mengumpulkan uang 300 ribu.
“Maaf Bu, Shanum lupa.”
“Tapi Shanum, apa ada kontrakan dengan uang segitu? Bicarakan baik-baik pada Ibumu. Mungkin uang duka bisa di pakai sebagai hunianmu nanti.”
“Iya Bu. Shanum akan bicarakan ini pada Ibu. Terima kasih Bu, sebelumnya. Dan maaf karena Shanum mengganggu waktu istirahat Ibu Jihan.”
“Tidak, Nak. Kamu tidak mengganggu sama sekali. Liburlah sepekan, Ibu memberimu izin. Tapi kamu harus kembali ke sekolah lagi ya. Kamu anak cerdas, dan sayang jika kamu tidak berpikir tentang sekolah. Jangan sampai keadaan memaksamu untuk putus sekolah. Jangan ya!”
“Iya Bu, Shanum tahu betapa pentingnya sekolah. Shanum juga ingin kuliah nantinya Bu. Doakan Shanum.”
“Pasti akan Ibu doakan, banyak kampus yang menginginkan siswa cerdas seperti dirimu. Sedih boleh, tapi jangan meratap hingga membuat kamu lupa semua yang terjadi karena kehendak Allah.”
Shanum mengangguk lesu, kelopak matanya menghitam menandakan gadis itu tak pernah tidur.
“Oh iya, ini ada sedikit buat kamu. Pulang dengan menggunakan mobil online ya.” Ibu Jihan memberi Shanum uang 200 ribu rupiah.
“Ibu… Ibu baik sekali pada Shanum. Shanum janji akan membalas kebaikan Ibu suatu saat nanti.”
“Balas saat kamu sudah menjadi orang sukses! Ibu menunggumu!”
Shanum mengangguk tegas, tekadnya bulat untuk menjadi wanita yang bisa di andalkan.
“Tapi Shanum? Kamu ada ponsel yang bisa memesan kendaraan kan?”
Tak ada, semuanya sudah di lalap si jago merah termasuk ponsel Shanum.
“Tidak ada, Bu. Tapi Shanum lihat di luar gang ini ada pangkalan ojek. Nanti Shanum akan bertanya di sana. Shanum permisi dulu, Bu. Terima kasih kebaikan Ibu Jihan.”
“Baiklah… Hati-hati ya Nak. Jika ada yang sulit untukmu. Jangan segan mendatangi Ibu. Ibu adalah wali kelas kamu, orang tua kamu juga.” kata Ibu Jihan. Wanita itu merasa sangat miris melihat siswanya. Mendengar kabar jika Ibu Shanum tidak memberitahu Shanum tentang uang itu, firasat Ibu Jihan mengatakan jika Ibu Shanum sengaja melakukannya.
*
*
Shanum akhirnya meninggalkan kediaman gurunya, memegang erat uang 900 ribu rupiah dengan sangat erat pada genggamannya seakan uang itu adalah nyawa yang harus dia jaga dengan baik.
“Ojek, Ojek…”
“Neng… Ojek Neng!” tawar beberapa tukang ojek pada Shanum.
“Nggak Pak!” jawab gadis itu.
Shanum menolak, bukan karena dia tak ingin tapi karena gadis itu takut uangnya akan berkurang.
Langit terasa sepi dan mulai tak mengeluarkan cahayanya yang terik, hembusan angin sore seolah membawa beban perasaan. Seorang gadis memutuskan untuk memilih jalan kaki, meski perjalanan yang harus dihadapi sangat jauh.
Hatinya penuh dengan kekhawatiran akan setiap langkah yang diambil, karena setiap detik berjalan adalah detik yang membuat uang di saku berkurang.
Di dalam dirinya, terdapat keputusan berat yang diambil untuk menghindari pemborosan, namun langkahnya terasa berat seperti beban kesedihan yang tak terucap.
Shanum harus kuat menahan rasa lelah demi mendapatkan rumah kontrakan yang akan dia tinggali bersama Ibunya.
Shanum tak kuat meneruskan langkahnya, gadis itu memasuki sebuah masjid dan duduk di terasnya. Sejenak menghilangkan rasa lelahnya.
Tak lama, tarhim berbunyi dan di gantikan oleh adzan magrib.
Sebelum meneruskan untuk mencari kontrakan, Shanum harus melaksanakan kewajibannya terlebih dulu.
Tak lama, tiga rakaat telah gadis itu laksanakan secara berjamaah.
Selepas sholat, Shanum tak langsung beranjak dari duduknya. Gadis itu menengadahkan tangannya, memelas menatap ke atas.
“Ya Allah… Shanum tidak meminta bebanku untuk diringankan, karena Shanum tahu inilah yang harus Shanum jalani.
Shanum terima ya Allah, tapi Shanum mohon kekuatan dariMu. Jika Engkau menitipkan padaku ujian hidup yang harus Shanum pikul, karuniakanlah ketabahan pada diri ini untuk menghadapinya.
Jagalah hatiku agar berhusnudzon padaMu ya Allah. Berikanlah Shanum ketabahan dan keikhlasan dalam menjalaninya.
Kuatkan imanku agar tidak lebur dalam tangis kesedihan. Lembutkanlah hati ini agar memahami makna cintaMu ya Rabb.
Allahummaghfirli dzunubi waali waalidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shagiiraa.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim… ampunilah dosa kedua orang tuaku, indahkanlah tempat barunya, lapangkan kuburnya, ya Allah terangilah kubur mereka, permudahkan segala urusannya, jadikanlah kubur orang tuaku taman-taman surgaMu, jangan jadikan lubang kuburnya, lubang dari lubang api nerakaMu, jagalah jasad dan ruhnya seperti mereka menjagaku, janganlah Engkau biarkan setetes api neraka menyentuh kulit mereka, Shanum rindu Papa dan Mama ya Allah, Shanum sangat menyayangi mereka, bebaskanlah mereka dari nerakaMu, berikanlah mereka sebaik-baik tempat di SurgaMu ya Allah. Aamiin aamiin ya Rabbal aalamiin.”
Shanum menghapus air matanya yang membuat wajahnya kian sembab dan matanya yang terlihat bengkak. Gadis itu kemudian berdiri dan melepas mukenah kemudian menyimpannya kembali di lemari. Shanum akan meneruskan kembali langkahnya, mencari rumah yang akan menjadi huniannya malam ini.
“Mudahkan hamba ya Allah, dan cukupkanlah uangku. Bismillah.” batin Shanum ketika gadis itu keluar dari masjid.
Hari sudah berganti malam, namun Shanum masih berjalan tak tentu arah.
Gadis itu celingak celinguk dan sesekali bertanya pada beberapa orang tentang kontrakan murah.
“Ada yang murah, tapi airnya nggak lancar. Hanya 400 ribu sebulan.” Shanum tergiur, tapi air adalah segalanya.
“Ada yang lain nggak Bu?”
“Ada. Bersih dan cantik. Didalamnya juga terdapat 2 kamar. Sebulan harganya 2 juta. Mau? Kalau mau, saya akan hubungi pemiliknya.”
Uang Shanum tak cukup, bahkan sangat kurang.
“Ada yang di bawahnya lagi nggak Bu?”
“Kamu ini, maunya apa sih. Saya sudah kasih tahu yang murah kamu tolak, saya kasih tahu yang lumayan kamu tolak juga. Itu sudah termasuk sangat murah loh dek. Di kota sebesar ini, mana ada kontrakan 2 juta perbulan?”
Shanum merasa tidak hati, hatinya sakit karena ketidakmampuannya. “Apa bisa di bayar 2 kali sebulan, Bu?”
“Heh… Dek, mana ada yang bayar dua kali sebulan. Begitu masuk, ya harus di bayar kontan. Lagi pula tempat itu posisinya bagus dek, tidak masuk ke dalam banget. Masih bisa lewat kendaraan mobil dan motor. Kan ada juga kontrakan yang jalannya hanya bisa di lewati motor saja. Gimana, mau nggak? Kebetulan yang punya kontrakan itu adalah adik saya.”
“Sangat bagus, Bu. Tapi maaf, uang saya tidak cukup. Terima kasih sebelumnya. Permisi Assalamualaikum.” Shanum secepatnya pergi meninggalkan ketidakmampuannya.
Ingin sekali gadis itu menemukan kontrakan saat ini juga karena kakinya sudah benar-benar lelah saat ini.
Ibu yang tadi menawarkan kontrakan pada Shanum terus mengikuti Shanum dengan pandangannya.
“Tampaknya dia anak yang kurang mampu. Kenapa tidak bersedekah saja. Toh kontrakan itu juga di titipkan padamu.” kata seorang pria, dia adalah suami dari Ibu yang mewarnai kontrakan pada Shanum.
“Lihat kakinya. Anak itu terlihat sulit berjalan, entah dia tinggal dimana, dan berapa lama dia sudah berjalan.” kata pria itu kembali.
Tanpa berpikir panjang lagi, Ibu Lisa segera meneriaki Shanum.
“Dek… Dek… Dek!” namun Shanum sama sekali tidak menoleh, menganggap bukan dirinyalah yang di panggil.
“Adek… Dek…” teriak kembali Ibu Lisa hingga mengejar Shanum.
“Hei!” wanita itu menepuk pundak Shanum dan gadis tersebut terkejut.
“Iya Bu?”
“Kamu ini kok dipanggil-panggil nggak menoleh sih? Apa nggak dengar?”
“Maaf Bu, Saya kira, bukan Saya yang Ibu panggil.”
“Kamu. Kamu yang saya panggil.” meski terdengar ketus, namun Ibu Lisa masih menyimpan kebaikan dalam hatinya. Buktinya, dia tidak tega melihat Shanum pergi.
“Ada apa ya Bu?”
“Berapa uang yang kamu pegang saat ini, dan dengan siapa kamu tinggal di kontrakan nanti?”
Shanum heran dengan pertanyaan itu, namun dia segera menjawabnya.
“Uang saya hanya 900 ribu, Bu. Saya akan tinggal bersama Ibu saya.”
“900?” kaget Ibu Lisa. “Eh… lalu dimana Ibumu sekarang?”
“Ibuku ada di rumah tetangga.”
“Kenapa di rumah tetangga?”
“Semalam kami terkena musibah, Bu.” kata Shanum tak ingin berbagi beban pada orang yang baru. Gadis itu menganggap tidak berguna untuk menceritakan segalanya pada orang baru, Shanum takut Ibu itu hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya.
“Musibah apa? Ceritakan semuanya, dan Ibu akan memberimu izin mengontrak sebulan saja.”
Shanum tak tahu harus bagaimana, dia sangat senang mendengarnya walau dia harus menjual kisah pahit kehidupannya.
“Benarkah Bu, apakah semudah itu?”
“Sebenarnya bukan itu saja, Ibu ingin kamu kerja di warung Ibu. Mau?”
Shanum mengangguk kuat, “Mau Bu, Mau. Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak, Bu!” kata Shanum berulang kali dengan air matanya yang terus menerus jatuh tak tertahan.
“Sini, kita duduk dulu.” ajak Ibu Lisa pada Shanum dan gadis itu menurut.
Setelah duduk pada sebuah dipan, Ibu Lisa wanita tambun yang memiliki seorang putri berusia 20 tahun.
“Jelaskan bagaimana musibah menimpamu?”
Shanum menarik nafas dalam karena harus mengingat kejadian semalam yang begitu menyesakkan dadanya.
“Semalam rumah kami kebakaran Bu. Nama saya Shanum dan saya hidup bersama ayah dan ibu sambung saya. Ibu kandungku sudah meninggal dunia 7 tahun yang lalu, dan ayahku menikah dua tahun yang lalu.
Rumah kami kebakaran saat malam hari, dimana kami semua sudah tertidur lelap. Shanum tidak menyadari sama sekali. Hingga ayahku datang untuk menyelamatkanku, melewati api dan asap yang membuatnya sulit bernafas. Setelah menyelamatkanku, hanya berselang beberapa menit, ayahku meninggal karena sulit bernafas.”
Shanum menghentikan ucapannya untuk mengatur perasaan hati yang hancur, air matanya sudah tak terbendung lagi dan sesekali Shanum mengusap air mata itu.
Saat ini, ada beban berat yang terus menekan hati gadis itu. Shanum merasa seperti segalanya adalah kesalahan dirinya, seperti dirinya adalah penyebab dari kepergian ayahnya.
Setiap kali melihat wajah sedih ibunya atau menyaksikan mata kecewa ibunya, Shanum merasa kekhilafan itu hanyalah karena ulahnya sendiri.
“Semua ini karena Shanum, Bu. Karena diriku, ayah meninggal.” kata gadis itu pelan bahkan suaranya tercekat sulit terdengar.
Kenangan tentang ayah selalu menghantui pikirannya. Shanum teringat akan saat-saat ketika dirinya sibuk dengan kehidupannya sendiri dengan teman-teman sekolahnya, tanpa menyadari bahwa waktu yang dia sia-siakan itu seharusnya dihabiskan bersama ayahnya.
Shanum merasa seperti dirinya tidak memberikan cukup perhatian, cinta, atau waktu baginya.
Seakan-akan dirinya adalah penyebab dari kepergian yang begitu mendalam.
Mengapa dia tidak lebih peka? Mengapa dia tidak menghabiskan lebih banyak waktu bersama ayahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, dan rasanya seperti Shanum memegang tanggung jawab penuh atas kematian ayahnya.
Dia bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk mengubah segalanya? meskipun dirinya tahu bahwa waktu tidak bisa diputar kembali.
Rasa bersalah itu memenuhi setiap sudut hatinya, dan Shanum merasa terjebak dalam rasa penyesalan yang tak terucapkan. Mungkin jika dirinya lebih baik, lebih peduli, atau lebih memperhatikan keadaan saat itu, keadaan bisa berbeda. Tapi sekarang, Shanum hanya bisa merenung dan meratapi kehilangan itu dengan kesedihan yang mendalam.
“Ya Allah… kasihan sekali dirimu Nak. Lalu kamu keliling mencari tempat tinggal dengan kaki yang lecet, karena merasa bersalah pada Ibumu?”
Shanum menunduk dan melihat tumitnya yang luka, bahkan gadis itu tidak menyadari sejak kapan luka itu terlukis di kakinya.
“Iya… Shanum merasa bersalah pada Ibuku. Karena diriku, dia harus kehilangan ayahku. Dia harus menanggung beban tanpa harta yang ditinggalkan. Aku kasihan melihat Ibuku.”
Ibu Lisa merasa sakit mendengar kisah Shanum. Gadis yang penuh tanggung jawab.
“Bekerjalah padaku dengan jujur, Aku akan menggajimu.”
“Tapi Bu, Shanum masih sekolah. Bisakah Shanum bekerja malam, tidak masalah hingga subuh. Shanum lihat rumah makan Ibu juga sangat ramai bahkan di jam seperti ini. Bisakah Ibu mempekerjakan Shanum?”
Ibu Lisa terenyuh, gadis yang seharusnya masih menikmati masa mudanya namun harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya.
“Ajak juga Ibu, siapa tahu Ibumu ingin bekerja juga. Kebetulan Aku butuh 3 orang karyawan lagi.”
Shanum mengangguk kuat, dia sangat senang mendengarnya.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Shanum berharap, pekerjaannya tidak mengganggu sekolahnya, dan pekerjaannya bisa menghidupi kehidupannya bersama sang Ibu. Lembaran baru akan Shanum jalani, gadis itu kembali berharap agar lembaran baru itu tidak penuh dengan kerikil ataupun jurang yang bisa membuatnya jatuh tersungkur.
