Bab 2
Dengan hati yang terasa hancur, Shanum berdiri di samping kuburan ayahnya. Air mata itu seakan menjadi saksi bisu dari kehilangan yang begitu mendalam.
“Papa, kenapa Papa harus pergi begitu cepat? Pemakamanmu membuat Shanum menyadari betapa rapuhnya kehidupan ini. Aku merindukan suaramu yang hangat, pelukanmu yang menenangkan, dan senyummu yang tak pernah pudar. Sekarang, Shanum harus belajar melewati hari-hari tanpamu. Papa, apa yang harus Shanum lakukan saat ini, Kami sudah tak punya rumah lagi. Kemana Kami harus pergi, Pa?”
Deraian air mata Shanum menjadi bukti kehilangan. Gadis itu menjadi sebatang kara, bahkan untuk ikut bersama ibu tirinya membuat Shanum segan. Tapi, kemana dia harus pergi.
Tiap kenangan tentang ayahnya menusuk hati Shanum, dan gadis itu tak tahu bagaimana melangkah tanpa ayahnya.
Semua mimpi yang belum terwujud, semua cerita yang belum sempat di ceritakan padanya.
“Papa, tolong beri Shanum kekuatan untuk melanjutkan, meski seakan dunia ini berubah menjadi tempat yang lebih sepi tanpamu. Sampai jumpa, Papa, dalam hati Shanum, Papa akan selalu ada.” bathin gadis itu menatap kosong pada tanah gundukan.
Para pelayat telah pergi meninggalkan Shanum dan Ibunya.
“Kemana kita harus pergi? Tak ada harta yang ayahmu tinggalkan. Tak ada pula tabungan yang ayahmu tinggalkan. Lalu kemana kita harus tinggal?”
Bahkan Shanum tak tahu harus menjawab apa. Gadis itu hanya bisa terdiam menitikkan air mata.
“Pergilah! lanjutkan hidupmu, dan Ibu tak mampu merawatmu. Ibu juga tak memiliki apapun.” kata Ibu Esma dengan lemah.
“Tapi, Ibu! Shanum mohon, biarkan Shanum ikut dengan Ibu. Pada siapa Shanum akan pergi, Shanum juga tak tahu mau pergi kemana? Tolonglah Shanum, Ibu. Shanum berjanji akan membantu Ibu mencari uang, membiayai kehidupan kita.” mohon Shanum, gadis itu belum bisa menopang hidupnya sendiri.
“Dimana kita akan pergi? Kita tidak ada tabungan sama sekali, mengontrak rumah pun. Kita tidak akan sanggup.” ungkap wanita yang masih terlihat cantik tersebut. Kulit putih, tubuh ramping, kerutan di wajahnya pun terlihat samar.
“Ibu… Shanum ada tabungan di sekolah. Shanum akan minta pada guru, agar yang itu bisa pakai mengontrak rumah.”
Ibu Esma, menghapus air matanya. Tampak secercah harapan setelah mendengar ucapan Shanum.
“Tapi, berapa banyak tabunganmu?”
“Shanum kurang tahu, Ibu. Semoga saja genap satu juta.”
“1 juta? Yang benar saja, Shanum. Dimana kita akan mendapatkan kontrakan semurah itu? Bahkan di kolong jembatan, kita tidak bisa dapat rumah semurah itu.”
“Shanum akan cari kontrakan seharga itu, Ibu. Untuk hari ini, Ibu istirahat saja di rumah tetangga. Semalaman Ibu tak pernah tidur. Biarkan Shanum yang menemui guru Shanum dan mencari kontrakan.” kata gadis lembut itu.
Bukan Ibu Esma saja yang tidak tidur, bahkan sampai detik ini, Shanum pun belum tertidur. Pikiran gadis 18 tahun itu terus melayang tak tahu arah.
Pada akhirnya Ibu Esma dan Shanum berpisah. Gadis itu mulai berjalan dengan langkah pelan, perutnya belum terisi sama sekali, bahkan setetes air juga belum menyentuh tenggorokannya. Bibirnya mulai terlihat kering dan pecah.
Shanum terus berjalan menuju rumah gurunya yang berjarak sekitar 5 km. Sangat jauh untuk ditempuh.
Namun, Shanum sudah bertekad untuk mendapatkan tempat tinggal hari ini juga. Menginap di rumah tetangga membuatnya merasa berat.
Dalam usia 18 tahun, hidupnya terasa seperti labirin yang sulit dihadapi. Orang tuanya telah meninggalkannya, meninggalkan rasa hampa dan pertanyaan yang tak terjawab. Kini dia harus hidup bersama seorang wanita yang dianggapnya sebagai seorang Ibu.
Meski di usia yang seharusnya penuh keceriaan, dia terjebak dalam pelukan kesulitan hidup. Mimpi-mimpi masa kecilnya hancur seperti kaca yang pecah, dan dia harus mengumpulkan serpihan demi serpihan untuk mencoba merangkai kembali gambaran masa depannya.
Di tengah gemuruh angin dan suasana mendung, Shanum bertanya pada dirinya sendiri, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Namun, pada akhirnya, dia belajar bahwa kekuatan sejati ada di dalamnya. Meski orang tuanya mungkin pergi, dia menemukan kekuatan untuk tumbuh dan mengatasi cobaan hidupnya.
Dengan setiap langkah yang diambilnya, dia menuliskan kisah keberanian dan ketangguhannya sendiri. Dan di sana, di keheningan hatinya, muncul keberanian untuk menghadapi dunia yang begitu sulit.
Shanum harus menjadi wanita tangguh, dia berharap semua akan menjadi membaik pada akhirnya.
Beberapa kali gadis berhijab hitam itu tampak meneguk salivanya berkali-kali.
Shanum mulai kehausan. Dia melihat pedagang yang menjual minuman dingin, namun apa daya, sepeserpun tak ada yang yang Shanum pegang.
Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa meneruskan langkah lemahnya.
Seiring langkahnya yang terus dia kayuh, indra penciumannya menangkap bau masakan yang membuat perutnya meronta.
Shanum memegang perutnya yang mulai berbunyi, bahkan perut itu mulai terasa perih.
Keringat dingin menetes di dahinya, Shanum sedang berjuang melawan rasa lapar, haus dan lelahnya yang datang secara bersamaan.
Langkah gadis itu semakin terlihat lemah, waktu terus berlalu hingga dia sudah memasuki sebuah gang kecil menuju rumah gurunya.
“Assalamu'alaikum…” ucap Shanum berdiri di depan pagar besi yang tertutup rapat.
Hati gadis itu terus berdoa agar gurunya ada di rumah hingga perjalanan jauh yang dia tempuh tidak sia-sia.
“Assalamu'alaikum…” teriak gadis itu kembali.
‘Alhamdulillah.’ batin Shanum ketika melihat pintu terbuka dan yang membuka itu adalah gurunya sendiri.
“Shanum… ada apa Nak? Dengan siapa kamu datang kesini?” seorang wanita berjalan tergesa-gesa menyambut siswanya.
Wanita itu memeluk Shanum dengan erat karena tahu saat ini Shanum butuh kekuatan.
“Sabar ya Nak. Semua sudah Allah tentukan. Kamu anak hebat, Allah percaya kamu bisa hadapi semuanya.” ucap wanita itu terus memeluk tubuh Shanum.
Air mata gadis itu mulai terjatuh kembali, Kata-kata motivasi yang seperti menghantamnya dan memaksanya untuk menerima semua kenyataan pahit ini.
“Jangan menangis Nak, Shanum anak hebat. Kirimkan doa untuk Ayahmu ya. Agar beliau tenang di alamnya saat ini. Ayo masuk dulu!” guru Shanum menuntun gadis itu untuk memasuki rumahnya.
Sang guru yang baik hati itu juga membuatkan minuman untuk Shanum.
“Minumlah! Dengan siapa kamu kesini?”
Glek
Glek
Shanum tak menjawab, dia menghabiskan jus jeruk itu hingga gelas kosong hanya beberapa menit saja.
“Terima kasih, Bu. Shanum datang seorang diri.”
“Sendiri? Menggunakan apa?”
“Shanum jalan kaki, Bu.”
“Astaghfirullah…” Ibu Jihan tak bisa berkata-kata lagi. Jarak rumah Shanum dan rumahnya sangat jauh jika berjalan kaki.
“Kenapa tidak pesan kendaraan online Shanum?” tanya Bu Jihan miris.
Shanum tertunduk lesu, “Shanum tak ada uang, Bu. Karena itu Kedatangan Shanum kesini ingin meminta uang tabungan Shanum pada Ibu. Mohon maaf sebelumnya, Bu. Jika Shanum tidak sopan, tapi Shanum sangat terdesak. Shanum dan Ibu Shanum tak tahu harus tinggal dimana. Kami tak punya rumah dan Shanum harus mencari kontrakan.” jawab gadis itu.
Ibu Jihan kaget dengan penjelasan siswinya tersebut, pasalnya saat melayat, Ibu Jihan dan beberapa teman-temannya Shanum datang membawa uang duka yang dikumpulkan satu sekolah, sebagai bantuan untuk Shanum.
Namun, mendengar penjelasan Shanum tadi, Ibu Jihan kaget.
“Shanum… apakah Ibumu tidak memberitahu jika pihak sekolah memberi santunan. Santunan itu diberikan pada Ibumu tadi.”
“Apa? Santunan?”
“Iya, santunan. Kamu pasti tahu, sekolah kita selalu seperti itu jika ada orang tua siswa yang meninggal.”
“Shanum tidak terpikirkan kesana Bu.”
“Bahkan jumlahnya lumayan untuk sebuah kontrakan. Kenapa harus meminta tabunganmu? Bukannya Ibu tidak ingin memberikan. Yang itu adalah hakmu, dan kewajiban Ibu untuk memberikannya padamu. Tapi itu adalah tabunganmu. Tidak perlu memakai tabunganmu karena ada uang santunan dari pihak sekolah.”
“Mohon maaf Bu, bisa Shanum tahu berapa jumlahnya?”
“5 juta!”
“5 juta?” Shanum mengulang perkataan gurunya karena terkejut.
“Benar, 5 juta. Bukankah itu bisa kamu pakai untuk menyewa rumah?”
“Ibu Shanum, tidak mengatakan apapun tadi.” kata Shanum dengan pandangan menerawangnya.
Sebuah kejutan bak palu raksasa yang memukul kepalanya dengan kuat. Sebuah fakta menarik yang Shanum tahu tentang Ibunya. ‘Apakah dia lupa, atau ada sesuatu yang dia lakukan pada uang itu?’ batin siswa kelas tiga sekolah menengah atas tersebut.
“Coba beritahu Ibumu nanti. Itu uangmu juga, kamu bisa gunakan itu, Shanum.”
“Terima kasih, Bu. Tapi bisakah Shanum meminta tabungan Shanum, Bu? Shanum takut, uang itu telah habis dibayarkan pemakaman Papa.”
“Tentu bisa, Nak. Tapi yang harus kamu tahu. Tadi Ibu mengobrol dengan tetangga-tetanggamu. Bukan hanya satu atau dua orang saja, bahkan pemuka di kampungmu juga ada di sana. Biaya pemakaman Ayahmu, tidak ditanggung oleh Ibumu. Tapi ditanggung oleh semua tetanggamu. Karena mereka tahu, jika kalian baru saja tertimpa bencana, maka mereka mengusulkan untuk bersama membiayai pemakaman ayahmu.”
Dalam usia 18 tahun, ketika hidup seharusnya penuh dengan keceriaan dan harapan, Shanum terjebak dalam jaringan kebohongan yang menyakitkan.
Ibunya, yang seharusnya menjadi pelindung dan penuntun, memilih jalur kebohongan dan khianat. Setiap kata yang diucapkan ibunya seolah menjadi benang merah yang semakin membingungkan dunianya.
Gadis itu mempercayai dan mencintai ibu tirinya dengan sepenuh hati, tapi tanpa disadarinya, lapisan demi lapisan kebohongan mulai terbuka.
Di mata kecilnya yang dulu penuh kepolosan, kini menyiratkan kekecewaan dan kehilangan. Pertanyaan bergejolak di benaknya, "Mengapa dia melakukan ini padaku? Apa yang salah? Kenapa tidak berkata jujur saja. Jika ingin mengambil uang itu, kenapa tidak membicarakannya padaku? Aku tidak akan melarangnya."
Saat ditemui oleh kenyataan pahit, gadis itu merasa seperti dihancurkan. Kepercayaannya diremukkan seperti kaca yang pecah menjadi potongan-potongan kecil yang tajam.
Namun, di tengah kepedihan itu, dia menemukan kekuatan untuk membangun kembali dirinya sendiri. Meski dikecewakan oleh orang yang seharusnya melindunginya, dia memutuskan untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri. Dalam kejujuran dan keteguhan hati, gadis itu menemukan jalan keluar dari kebohongan yang meracuni kehidupannya.
“Ibu pasti punya alasan khusus, dan Ibu pasti lupa memberitahu Shanum.” pikir Shanum yang tak ingin menuduh Ibunya sebelum semuanya jelas. Meski sedikit kecewa, dia yakin Ibunya punya alasan. Lagi pula, selama Ayahnya masih hidup, Ibu Esma sangat baik pada Shanum.
