Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

“Apa yang terjadi? Kenapa ada bau asap?” wanita itu merasa penciumannya sedikit aneh tapi mata yang terpejam bahkan tak ingin dia buka karena rasa kantuknya.

Saat bau hangus kembali menyeruak dan memaksanya untuk membuka mata, wanita itu tersadar jika bau yang masuk dalam penciumannya adalah nyata adanya.

“Kebakaran? Oh Tuhan, apa yang harus kita lakukan?”

“Api…” gumam seorang wanita yang berumur 42 tahun. Saat menyadari di sekeliling kamarnya, monster tak terlihat yang merangsek masuk tanpa undangan, merayap dan melahap segala yang di hadapannya. Wanita yang bernama Esma itu terlonjak dan terbangun.

“API… API… PAPA BANGUN PA! API...” teriak Esma mengguncang tubuh suaminya yang terlelap. Pria itu segera bangun dan memaksa dirinya untuk sadar.

“Astagfirullah, apa yang terjadi. Mama cepat keluar!” hanya memakai celana selutut dan baju kaos pria itu segera membantu istrinya untuk keluar dari bangunan yang terlalap api. Ibu Esma bersama suaminya berjalan melewati reruntuhan kayu yang menyisakan kobaran api kecil.

Melihat rumah yang dia kenal begitu baik dihantam deru dan kepulan asap, Ibu Esma merasa tak berdaya di hadapan kekuatan alam itu. Tak ada yang bisa dia selamatkan bahkan uang, perhiasan dan pakaian, tak ada yang bisa mereka ambil karena si jago merah memperlihatkan kekuatannya yang tak bisa di lawan.

“KEBAKARAN. TOLONG… TOLONG…” teriak Ibu Esma meminta bantuan tetangga.

Sementara suaminya berlari mengetuk pintu tetangganya agar terbangun sebelum api berpindah. Namun, belum sampai pria itu di depan pintu tetangganya, ingatannya berada pada sesuatu yang sangat penting.

“Astagfirullah Shanum! Putriku. Ya Allah lindungi putriku!” gegas pria itu berbalik kembali dan berlari menuju rumahnya. Kobaran api yang semakin sulit di taklukkan tidak membuat pria yang berumur 42 tahun itu membatalkan niatnya, putri satu-satunya terjebak di dalam rumah, sendirian.

“MA! SHANUM MANA MA?” teriak ayah Shanum pada sang istri.

“Astagfirullah Ya Allah, Shanum masih di dalam Pa.” jawab wanita itu tak kalah panik, namun saat melihat suaminya ingin memasuki rumah. Ibu Esma segera berlari dan menghentikan suaminya.

“Papa mau kemana?”

“Mau nyelamatin Shanum. Putriku di dalam bertarung nyawa.”

“Papa lihat! Kobaran api tidak akan bisa Papa lewati, Papa akan terluka.”

“Walau nyawa taruhannya, Papa tidak akan segan menukarnya. Shanum adalah putriku, apakah jika dia anak kandungmu, kamu juga akan mengatakan hal itu juga?”

Ibu Esma melepas genggamannya pada sang suami dan mengikhlaskan pria yang menikahinya dua tahun yang lalu itu pergi menyelamatkan anak tirinya. Hati Esma sedikit kaku saat suaminya berkata seperti itu, terdengar sedikit kasar saat telinga Ibu Esma menangkapnya.

Ayah Shanum dengan cepat memasuki rumah itu, dia tak peduli lagi jika api menyambar kulitnya. Baginya, putrinya adalah hidupnya, tanpa Shanum, pria itu akan hidup tanpa semangat.

Para tetangga mulai berdatangan, menenteng ember yang berisi air seadanya untuk membantu menenangkan kobaran api yang mengamuk.

Di dalam, ayah Shanum terus saja berjuang melewati reruntuhan kayu yang mulai berjatuhan tak menentu.

“Shanum! Shanum!” entah sudah berapa kali pria itu berteriak namun belum juga ada jawaban.

“Shanum! Shanum… Nak… kamu dengar Papa?” panggilnya lagi mencoba menembus dentuman nyaring api.

Uhuk… Uhuk…

Suara batuk dan helaan nafas berat serta memburu terdengar jelas di telinga pria paruh baya, pria yang keringatnya sudah mengucur deras.

“Shanum, Shanum, Nak…” panggil ayah Shanum, segera dia berlari, betapa terkejutnya pria tersebut ketika melihat putrinya sudah setengah sadar di samping ranjangnya.

Tampak gadis itu terlihat ingin melarikan diri dari kobaran api namun, amukan si jago merah melarangnya untuk pergi dan menahan gadis itu untuk tetap tinggal. Shanum tengkurap tepat di samping ranjangnya.

“Shanum bangun, Nak! Kamu harus sadar! Kita akan keluar dari tempat ini!” suara ayah Shanum terdengar mulai berat juga, pria itu sudah menghirup asap dengan sangat lama.

Saat ingin mengangkat tubuh putrinya, pria tersebut malah terjatuh karena tubuhnya menjadi sangat lemah.

“Shanum… bangun Sayang. Papa sudah tidak bisa bertahan lama Nak… kamu bangunlah!” nafas ayah Shanum terasa semakin pendek, pria itu menepuk pipi putrinya namun Shanum sudah tidak sadarkan diri.

Sekuat tenaga pria itu kembali menguatkan tekadnya, dia harus menyelamatkan putri satu-satunya. Sisa tenaganya dia menggendong putrinya.

Api menyala memantulkan cahaya di matanya, memberikan gambaran kegigihan untuk melawan rintangan. "Kuatkan dirimu, Nak. Papa akan membawamu keluar dari sini," ujarnya, suaranya meresapi keputusasaan yang menggelayuti ruangan itu.

Setiap langkah diikuti oleh rintihan dinding yang runtuh, namun dia terus maju. Tangannya meraih seberkas kehidupan putrinya yang rapuh. "Kita harus bergerak cepat, Nak!” gumamnya.

Dengan langkah mantap dan putri yang berada dalam gendongannya, pria itu melalui lorong-lorong panas, menembus tembok api yang menyala. Keringat bercucuran di wajahnya, namun tekadnya tak goyah. Mereka akhirnya keluar dari tempat panas itu.

“Papa!” Ibu Esma berlarian menyambut suami dan putrinya, beberapa warga masih terlihat sibuk berusaha meredam si jago merah. Namun apa daya, kekuatan mereka tak sebanding dengan amukan api itu.

“Papa… Papa tidak apa-apa? PAPA KAMU TERLUKA!” pekik Ibu Esma ketika melihat sekujur tubuh suaminya terluka bahkan terbakar.

Dengan nafas terdengar, pria itu mengatakan “ja… jangan Hi… hiraukan Papa, selamatkan Shanum, putriku pingsan.” pria itu merasa sangat sulit menyelesaikan kalimatnya.

“Toloooong, seseorang!” teriak Ibu Esma karena tak bisa lagi berdiri, dia sudah di kejutkan beberapa kali.

Seorang wanita tua dan cucunya mendekat, “ada apa Nak?”

“Tolong berikan air minum untuk putriku. Dia pingsan.” kata Ibu Esma, dia mengangkat kepala putrinya yang tergeletak di atas tanah, meletakkannya di atas pangkuannya dan memelas meminta tolong pada tetangganya.

“Astaghfirullah, kasihan sekali Shanum. Cepat ambilkan air untuk Kakak Shanum!” pinta wanita itu pada cucunya. Gadis yang berusia belasan tahun tersebut secepatnya berlari ke rumahnya.

Tak ada warga yang tidak terbangun di malam itu, karena mereka semua khawatir api akan menjalar memasuki rumah mereka tanpa permisi.

Tak lama kemudian, gadis itu muncul dengan botol air minum. Nyonya Esma membantu Shanum untuk minum, dengan latar belakang api yang semakin memberontak melalap semua apa yang ada di dekatnya, Ibu Esma perlahan membangunkan putrinya.

“Shanum! Shanum!”

Tak berapa lama gadis berambut sebahu itu membuka matanya, sorot mata yang tampak sayu. Saat itu juga, Ibu Esma dan Ayah Shanum bernafas lega.

“Ibu… kenapa Ibu menangis?” tanya Shanum dengan suaranya yang pelan. Namun, Ibu Esma merasa sangat sulit menjawab, dia menoleh pada rumah yang sudah tak menyisakan mereka ruang sama sekali. Shanum mengikuti pandangan Ibu Tirinya. Gadis itu terlonjak dan terbangun.

“Ibu… apa yang terjadi? Papa ada apa dengan rumah kita?” tanya Shanum namun apa kedua orang tuanya hanya bisa menangis. Tempat tinggal yang terpencil tidak mengharapkan pemadam kebakaran untuk datang tepat waktu.

Shanum ikut menangis, ketiganya menangis melihat rumahnya yang hancur.

“Maafkan Shanum yang tidak bisa membantu.” gumam gadis itu disertai tangisannya.

Dinding-dinding yang menyaksikan sejarah keluarganya, kini menjadi saksi bisu dari api menyala yang memusnahkan segalanya. Shanum mencoba mencerna perubahan itu, tetapi terasa sulit saat kilatan api menyala mengingatkan betapa rapuhnya hidup ini.

Ada kepedihan dalam setiap percikan api, setiap kayu yang runtuh menyampaikan kisah sedih yang tak terucapkan. Sementara dia berdiri di depan pemandangan yang mengerikan itu, ada getaran yang merambat di dalam dirinya—sebuah rasa kehilangan yang sulit diungkapkan.

Shanum, kedua orang tuanya serta warga berdiri di sana, menyaksikan rumah yang dulu dianggap sebagai benteng keamanan, kini menjadi makam bagi kenangan. Api telah merampas segalanya.

Suara tangisan masih terdengar, keluarga Shanum bukan keluarga yang berada karena itu mereka sangat sulit melihat kejadian yang terjadi.

“Papa… Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan? Dimana kita akan tinggal? Rumah telah hancur, segala tabungan kita juga ada di dalam. Bagaimana kita akan meneruskan hidup kita?” Ibu Esma menangis dalam dekapan suaminya yang masih batuk parah karena asap yang masuk dalam pernapasannya.

“Maafkan Papa, Papa juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Uhuk… Uhukk…” batuk ayah Shanum terdengar semakin parah, pria itu memegang jantungnya yang tiba-tiba terasa sakit dan tak lama pria itu terjatuh.

“PAPA! PAPA!” pekik Ibu Esma dan Shanum serentak, kedua perempuan itu panik dan terus memanggil.

“Sepertinya bapak harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Bapak kehabisan nafas karena tadi masuk ke dalam rumah menyelamatkan Shanum.” kata seorang pria.

“Lalu bagaimana? Bagaimana kita harus membawa Pak Agus?” sahut seorang warga kembali.

“Tolong… tolong selamatkan Papa saya. Tolong!” kata Shanum dengan derai air matanya. Dia merasa semakin bersalah setelah mendengar alasan yang sebenarnya.

“Tunggu disini, Saya akan meminjam mobil tetangga sebelah, semoga saja dia mau.”

“Tunggu!” tahan seorang wanita tua yang memberikan air minum pada Shanum tadi.

“Sepertinya kalian tidak perlu meminjam mobil, Pak Agus sudah pergi.”

“APA? Apa yang Nenek katakan tentang Papaku?” teriak Shanum takut.

“Sabar Nak, ayahmu telah pergi. Dia tidak bernafas lagi.” kata wanita tua itu.

“Tidak! Bagaimana mungkin? Suamiku tidak akan pergi secepat itu! Bahkan kami belum bahagia. Tidak ada apapun yang dia tinggalkan bahkan rumah, dia tidak boleh pergi. Dia tidak boleh pergi!” jerit Ibu Esma.

“Papa! Papa bangun. Tolong bawa Papaku ke rumah sakit! Tolong selamatkan Papaku!”

Dalam hening yang teriris oleh keputusasaan, gadis itu menjerit dengan tangis yang menusuk hati saat melihat sang ayah merentangkan tubuhnya di depan matanya.

Kedua matanya terbelalak, mencerna pemandangan yang tak bisa dipercaya, seolah waktu berhenti sejenak."Tidak, Papa!" serunya, suaranya pecah dan terengah-engah. Rasa sakit menusuk-dalam terlukis jelas di wajahnya, sementara air mata mengalir tak terbendung.

“Tidak… Papa tidak boleh meninggalkan Shanum sendiri, maafkan Shanum Papa! Maafkan Shanum, tolong Papa jangan pergi meninggalkan Shanum.” Shanum memeluk ayahnya.

Tangannya mencoba meraih sosok yang tak lagi bisa dicapainya, seakan mencari kehidupan yang hilang.

Dalam kebingungan, ia mencoba memahami bahwa kepergian ayahnya bukanlah mimpi buruk yang bisa dihindari. “Papa, tolong... jangan tinggalkan Shanum, Pa," bisiknya dengan getar hati yang terlukis di wajahnya. Kehidupan yang seolah merayap keluar dari dadanya, mengikuti alunan tangisan yang merobek raga.

Jeritan putus asa itu melukiskan tragedi yang tak terungkap. Gadis itu merangkul rasa kehilangan, menggenggam erat kekosongan yang kini menghampirinya.

Detak jantungnya seolah-olah berdebar di tengah kehampaan, menggema dalam keheningan yang menyayat hati. "Tidak bisa... tidak bisa seperti ini," serunya lagi, mungkin berharap bahwa dengan berkata-kata, ia bisa mengembalikan waktu, mencegah kepergian sang ayah. Namun, kenyataan membisu, dan dirinya terdampar di pantai kehilangan yang dalam, hanya diiringi oleh tangis yang meratap, merayap dalam sendu yang tak terhingga.

Shanum harus ikhlas melihat ayahnya pergi dalam kondisi seperti ini. Apalah daya gadis yang berusia 18 tahun itu, dia sudah kehilangan kedua orang tuanya. Apakah wanita yang menangis bersamanya saat ini masih menganggap dirinya sebagai anak? Kemana Shanum akan pergi, sementara rumah yang dulu dia tinggalin kini hancur dan hampir rata seperti tanah.

Mata gadis itu terpaku pada sosok yang terkulai di tanah. Ayahnya, yang selalu menjadi benteng dan pilar dalam hidupnya, kini pergi untuk selamanya. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan, hanya jeritan keputusasaan dan tangisan yang mengalir deras.

"Apa yang harus aku lakukan tanpamu, Papa?" bisiknya, meratapi kekosongan yang tiba-tiba merajai hidupnya. Jeritan putus asa mencerminkan pertarungan antara kenyataan dan keinginan untuk melarikan diri dari kepedihan ini. Gadis itu merangkul sosok yang tak berdaya di hadapannya, berharap akan keajaiban yang tak kunjung datang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel