Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh

Tujuh

“Yang dikatakan ayah tadi maksudnya apa, Rim? Jangan bilang kamu bohongin aku.” Reno segera menyeret Rima ke kamarnya begitu acara makan malam selesai. Kedua orang tua mereka saat ini sedang berada di ruang keluarga, menonton televisi yang entah menayangkan program apa. Tentu saja mereka tidak sepenuhnya menonton televisi. Justru benda berlayar raksasa itulah yang menyaksikan tingkah mereka.

Di usia yang tak lagi muda, ayah dan ibu Rima tak segan menunjukkan kemesraan mereka. Saling mencium dan memeluk tak akan malu mereka lakukan. Jika Rima atau Reno menegur mereka, mereka bersikeras ingin benar-benar menikmati kebersamaan yang selalu serba terbatas itu. Dasar sama-sama menikmati puber kedua. Begitulah.

“Jawab, Rim,” ulang Reno tak sabar.

Rima seketika tergeragap. Apa dia harus jujur? “Sebenarnya ....” Gadis itu menjeda kalimatnya. Masih takut dengan reaksi Reno setelah ini. Namun, Rima segera memberanikan diri. “Kemarin malam saat Mas Reno jemput aku, aku bareng Mas Pras.”

“Tuh, kan, kamu tega banget bohongin aku.”

“Bukan, bukan begitu, Mas. Dengerin aku dulu.” Rima seketika menahan tangan Reno yang berniat keluar kamarnya. Reno kecewa, semua orang seperti berbohong di belakangnya.

“Aku beneran nggak tahu dengan maksud ucapan ayah tadi. Aku nggak tahu kalau Mas Pras selalu nungguin aku. Kemarin malam Mas tahu sendiri, kan, alasanku pulang lebih larut. Aku nggak bohong. Aku memang membahas jadwal kerjaku biar nggak berbenturan dengan jadwal kuliah. Pas aku menunggu angkot, hujan deras, dan tiba-tiba Mas Pras datang. Dia memaksa mengantarku pulang.” Rima berucap sambil terus menggenggam tangan kakaknya agar pria itu tak beranjak dari hadapannya.

“Kenapa bukan itu yang kamu bilang kemarin?” Suara Reno terdengar pelan.

“Aku takut Mas Reno salah paham. Aku juga nggak mau Mas khawatir. Aku janji nggak akan dekat-dekat dengan dia lagi, Mas.” Rima berusaha menenangkan kakaknya.

“Bukan masalah kalian berdekatan atau tidak. Mas cuma tahu kalian masih saling sayang. Kisah kalian harus ditutup, jangan pernah dibuka lagi sampai kapan pun. Buka hati kamu untuk orang yang lebih baik, Rim.”

“Dia yang terbaik, Mas Reno tahu itu,” sela Rima cepat.

“Iya, yang terbaik tapi terlarang. Ingat kata terakhirnya, ‘terlarang’.”

Anggukan pasrah Rima mengakhiri perdebatan kecil mereka. Ucapan itu kembali menikam hati Rima. Luka hati karena mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki. Tak akan pernah ada masa depan untuk hubungan seperti itu, Rima tahu. Mereka telah kalah, bahkan sebelum berjuang. Rima mendesah, kapan nama pria itu bisa terhapus dari hatinya?

Entahlah, ia pun tak tahu.

***

“Nduk, pagi ini biar Ayah yang mengantarkan kamu kuliah.”

Kalimat yang keluar dari mulut Agung Pranowo itu seketika menghancurkan mood yang sudah susah payah dibangun Rima sejak tadi pagi. Semalam ia tak mampu memejamkan mata hingga pagi menjelang. Baru sekitar pukul tiga dini hari, matanya akhirnya tertutup akibat terlalu lelah menangis sejak memasuki kamarnya.

“Nggak usah, Yah. Rima diantar Mas Reno, kok,” tolak Rima halus. Tumben pria itu berniat mengantarkan Rima kuliah. Apa dia tidak takut akan terlambat bekerja?

“Masmu lagi nggak enak badan. Tadi muntah-muntah. Itu lagi dibuatin bubur sama ibu.” Rima seketika membelalakkan matanya. Bagaimana bisa kakaknya sakit? Bukankah semalam dia masih baik-baik saja? Tanpa menunggu lama, Rima langsung meninggalkan Agung. Ia harus melihat keadaan Reno sekarang juga.

Diseberanginya ruang keluarga menuju kamar Reno. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Rima menerobos masuk.

“Mas Reno kenapa? Sakit, ya? Kok bisa, sih? Semalam, kan, masih baik-baik aja.” Rima memberondong pemuda yang masih bergelung dalam selimut itu dengan pertanyaan.

Namun, setelah menunggu beberapa saat, Rima tak mendapat jawaban. Gadis itu segera menyingkap selimut. Sepertinya Reno masih tertidur. Ia akhirnya mengulurkan tangan untuk menyentuh kening kakaknya itu. Panas.

Apa Reno sakit gara-gara menjemput dirinya kemarin lusa? Saat itu, kan, hujan deras. Apa mungkin pria itu kehujanan?

Bodoh! Kenapa Rima tak menanyakannya waktu itu saat ia baru tiba di rumah? Efek pulang bersama Pras benar-benar mengaburkan kepeduliannya kepada sang kakak.

“Biarkan Masmu beristirahat, Nduk. Dari tadi muntah terus. Kalau tidur seperti itu setidaknya ia gak akan muntah lagi. Ayah sudah menghubungi dokter, mungkin sebentar lagi datang. Ayo, berangkat. Nanti kamu terlambat.” Agung Pranowo tiba-tiba sudah ada di samping Rima. Memberikan tepukan pelan di bahu Rima dan kemudian keluar dari kamar Reno.

Rima akhirnya bangkit dari kasur empuk Reno setelah membentangkan kembali selimut yang tadi ia singkap.

“Cepat sembuh, Mas. Aku nggak ada temannya kalau Mas Reno sakit,” ucap Rima pelan kemudian berlalu dari kamar Reno.

“Rima bisa naik ojek, kok, Yah. Ayah tidak perlu ngantar Rima. Ayah, kan, juga harus kerja.” Rima masih teguh dengan keinginannya. Bukan bermaksud tak sopan. Ia hanya menghindari kemungkinan orang-orang menanyakan lebih banyak soal ayahnya. Kalau sampai itu terjadi, bagaimana ia akan menjawabnya?

“Ayah akan mengantar kamu. Sudah lama sekali Ayah tak melakukannya. Terakhir kali Ayah antar kamu sepertinya saat SMA dulu. Itu pun sesekali,” jawab pria itu hangat.

Mendengar kalimat penuh harapan dari ayahnya, mau tak mau akhirnya Rima menganggukkan kepala. Ia segera memasuki mobil melalui pintu yang telah dibukakan ayahnya. Rasa haru seketika memenuhi dadanya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa merasakan kembali bagaimana senangnya diantarkan sosok ayah ke tempat menimba ilmu. Dulu ia sering merasa iri saat teman-temannya selalu diantar jemput oleh ayah mereka. Ia juga ingin merasakan hal yang sama. Namun, kala itu harapan jelas tak sesuai kenyataan. Jangankan untuk diantar jemput, untuk bersua saja benar-benar langka.

Tiga puluh menit perjalanan mereka isi dengan saling berbincang akrab. Yah, lagi-lagi hal langka yang Rima dapatkan. Ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Saat mobil berbelok menuju gerbang kampus dan akhirnya berhenti di area parkir, Agung Pranowo kembali berucap, “Nanti pulangnya dijemput Masmu, ya.”

Rima mengernyit heran. Reno, kan, sedang sakit? Menyadari keheranan anaknya, pria itu kembali membuka mulut, “Mas Pras yang akan jemput. Ayah sudah bilang tadi pagi.”

“Ayah gak perlu menyuruh Mas Pras. Rima bisa pulang sendiri,” jawab Rima cepat. Ya, Pras dan Rima adalah dua nama yang tak boleh terus menerus bersama.

“Ayah khawatir kalau kamu naik taksi, ojek, atau angkutan umum. Bahaya. Sekarang kejahatan ada di mana-mana.”

Rima benar-benar tak bisa menahan mulutnya untuk tak berdecak mendengar ucapan yang seolah membuatnya menjadi anak manja. “Rima sudah sering pulang naik angkutan umum, Yah. Selama ini aman-aman saja, kok.”

“Harusnya Ayah dulu nggak ngasih pilihan ke kamu dan Masmu itu. Membawa mobil jelas pilihan yang tepat. Lebih aman.”

Rima kembali mengeluh dalam hati. Beberapa tahun yang lalu memang Agung Pranowo pernah menawari Reno dan dirinya mobil untuk kebutuhan transportasi mereka. Namun, keduanya menolak dengan alasan tidak membutuhkan benda itu. Mereka berdua sudah sepakat tidak akan menyentuh pemberian ayah mereka selagi mereka masih bisa mendapatkannya sendiri.

“Sudahlah, Yah. Jangan dibahas lagi.” Rima bergumam pelan.

Pria di samping Rima menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Setelah beberapa saat ia kembali membuka mulutnya, “Ayah tahu kalian membenci Ayah. Maafkan Ayah yang tidak bisa selalu ada di sisi kalian. Ayah janji setelah ini Ayah akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan kalian.”

Rima mendengarkan ucapan itu tanpa bereaksi sedikitpun.

“Banyak kesalahan yang telah Ayah lakukan. Ayah tahu. Tapi, tolong, jangan tambah Ayah bingung bersikap dengan perilaku kalian itu. Beberapa waktu terakhir, Mas Pras menghindari Ayah. Mungkin karena Ayah memaksanya untuk bertunangan waktu itu. Tapi, pertunangannya kan juga sudah berakhir. Kenapa amarahnya masih enggan sirna?”

Rima perlahan meremas ujung kemeja, membenci pembicaraan ini. Pembicaraan tentang pria itu selalu menguras pikirannya.

“Sepertinya Masmu itu mencintai seseorang. Ayah sudah pernah bertanya siapa gadis itu. Jika dia mau, Ayah akan meminta gadis itu kepada orang tuanya. Ayah berharap dengan hal itu, dia bisa memaafkan kesalahan Ayah.”

Mata Rima berkaca-kaca. Untungnya tangannya sudah menggenggam tisu karena sejak bangun tidur pagi tadi ia memang bersin-bersin. Sepertinya flu sedang menyerangnya. Perlahan Rima memalingkan wajah ke samping kiri dan menyeka tangisnya sebelum ketahuan.

Pria itu tak tahu apa yang diucapkannya. Jika ia mengetahui hubungan rumit di antara anak-anaknya, entah apa reaksinya nanti. Namun, semoga saja hal itu tak akan terjadi.

“Masmu itu sayang sama kamu. Mungkin karena dia tak punya adik perempuan. Ayah harap, kalau kamu bertemu dengannya nanti, tolong sampaikan kata-kata Ayah yang barusan, ya, Nduk. Ayah bahkan tak bisa berkomunikasi dengan baik kepadanya. Dia selalu menghindari ayah dan berkata seperlunya, Rim.”

Rima tak mampu berucap. Ia hanya menganggukkan kepalanya pelan.

Beberapa menit dalam keheningan, akhirnya pria baya itu menyuruh Rima segera masuk kelas. Ia tak mau anaknya terlambat. Ia juga berpesan sekali lagi agar Rima menunggu Pras. Pria itu meminta dengan nada memohon, yang paling tidak bisa Rima ingkari.

Setelah berpamitan dan mencium punggung tangan ayahnya, Rima pun keluar dari mobil itu dan bergegas menuju kelasnya yang akan dimulai sepuluh menit lagi.

Dari kejauhan tampak sahabatnya, Faira, melambai ceria sambil meneriakkan namanya. Ck, ada apa lagi? Kenapa gadis itu begitu berbinar? Pasti kebahagiaan kembali menghampirinya. Rima segera berlari kecil mendekati sahabatnya itu.

“Ada apa, nih, pagi-pagi sudah semangat banget? Jangan-jangan semalam kena cipok sama si om, ya? Mana, mana bukti fisiknya?” berondong Rima sambil melihat-lihat tubuh sahabatnya. Faira berdecak menanggapi pertanyaan tak masuk akal yang bertubi-tubi itu.

“Ih, dasar mulut sudah banyak virusnya. Scan dulu, gih, sana. Tapi, ingat, jangan pakai anti virus gratisan!”

Rima hanya mendengkus sebal. “Emang ngapain kamu happy banget gitu? Bagi dikit bisa nggak, sih?”

“Nah, justru itu. Aku bawa kabar baik untuk kita berdua.”

“Kabar apaan?” Rima tak sabar ingin mengetahui kabar bahagia apa yang akan sahabatnya sampaikan. Beberapa hari ini otaknya sudah kusut memikirkan masalah keluarga. Satu kabar menyenangkan saja akan memperbaiki harinya.

“Nih, nih, lihat,” kata Faira antusias sambil mengulurkan ponselnya ke tangan Rima.

“Apaan, sih?” tanya Rima kebingungan, tapi tetap menerima uluran ponsel ke tangannya.

“Tadi pas mampir ke kantor fakultas, aku dapat itu,” ucap Faira dengan nada bangga. “Ternyata pengumuman dosen pembimbing skripsi sudah keluar.” Gadis itu kemudian bersorak bahagia. Rima yang menekuri ponsel Faira pun mencari-cari namanya di sana. Matanya mengernyit heran—dan membulat besar tak lama kemudian.

“Apanya yang kabar bahagia kalau dosen pembimbingku Bu Rahma? Itu sama aja bunuh diri. Bisa-bisa aku jadi mahasiswa abadi. Kebahagiaan macam apa itu?” Rima mendengkus.

“Eh, lihat dosen pembimbingku dulu. Ada nama si bapak, Rim,” ucap Faira bersemangat sambil mengguncang tubuh Rima.

“Eh, beneran?” Faira mengangguk mengiyakan pertanyaan Rima.

“Yes! Akhirnya, bisa genit-genit manjah sama si bapak. Ntar kalau kamu bimbingan, harus ada aku yang dampingin kamu. Duh, muka sudah oke nggak, sih? Kayaknya ntar aku perlu tambahan sedikit maskara dan blush on, deh, biar terlihat menggigit di depan si bapak,” lanjut Rima yang dihadiahi suara tawa nan menggelegar oleh Faira.

Kembali, Rima memalsukan keluh kesah dan kesedihannya. Memang, hanya dua orang yang benar-benar mengerti dua hal itu. Pertama, Reno, sang kakak kesayangannya. Kedua, Pras, si sulung Agung Pranowo yang tak juga hilang dari hatinya.

Ya, hanya mereka.

“Omong-omong, emangnya kapan bisa mulai konsul? Semester depan?”

“Idealnya, iya, semester depan. Tapi, aku dikejar deadline lain juga sama si om, Rim. Jadi ….” Faira melirik Rima dalam senyum lebarnya, “rencananya aku mau ajuin percepatan konsultasi skripsi ke Pak Pram. Semoga dia setuju, jadi aku bisa mulai konsul secepatnya. Kalau kamu, kayaknya baru bisa semester depan, deh. Saklek gitu dosbingnya.”

Rima terkekeh. “Iya, sih. Aku nyantai aja, lah. Kan pengin lebih lama memandangi si bapak!”

Keduanya tertawa kembali. Untuk kedua kalinya, perbincangannya dengan Faira hari ini memperbaiki harinya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel