Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Enam

Enam

“Rim, cowok yang kemarin nungguin kamu datang lagi,tuh. Dia di luar,” ucap Dinda, teman sekelas Rima. Rima menautkan alisnya, bingung dengan kalimat temannya yang tiba-tiba saja memasuki kelas setelah baru saja berpamitan untuk pulang.

“Cowok yang mana, Din?” Rima tak ingin mati penasaran.

“Cowok yang ngajakin kamu kenalan seminggu yang lalu. Dia kayaknya nunggu kamu pulang, deh. Cepetan,yuk, kasihan dia nunggu kelamaan.” Dinda terlihat tidak sabar. Gadis itu segera mengambil sapu untuk membantu Rima membersihkan kelas mereka.

“Kamu ngapain pakai pegang sapu?”

“Ya, elah nih anak. Biar cepat selesai kali.” Dinda bersungut sebal.

“Kamu terlalu pede, deh. Belum tentu cowok itu nungguin aku,” kilah Rima.

“Eh, pake gak percaya? Dia tadi yang nanya ke aku waktu kami papasan. Makanya aku balik lagi ke sini panggil kamu.”

“Kamu yakin?”

“Seratus persen,” ucap Dinda sambil menggangkat jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.

Akhirnya, setelah Rima membersihkan kelas, ia dan Dinda bergegas meninggalkan sekolah. Sedikit rasa tidak percaya memenuhi dadanya. Tak mungkin pemuda yang berkenalan dengannya beberapa hari lalu itu mendatanginya kembali. Mereka tidak sengaja berkenalan saat Rima dan Dinda pergi ke salah satu sekolah menengah atas untuk mendapatkan informasi tentang pendaftaran murid baru. Pemuda itu kebetulan berada di sana. Katanya, dia alumni sekolah tersebut.

“Tuh, percaya, kan, sekarang?” Dinda menunjuk sosok yang berdiri di samping SUV hitam di seberang jalan yang tak jauh dari gerbang sekolah. Ganteng! Benak Rima berucap.

Hari itu kedekatan mereka dimulai. Beberapa bulan kemudian, Rima lulus dan melanjutkan ke SMA tempat pertemuan pertama mereka. Saat Rima kelas dua SMA, mereka pun mengikrarkan janji untuk selalu bersama.

Kisah mereka bisa dibilang cukup manis. Tak pernah ada pertengkaran atau berselisih paham. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan usia yang cukup jauh di antara mereka, sekitar enam tahun. Pemuda itu telah berpikiran dewasa, sedangkan Rima adalah sosok lembut yang ceria.

Kemudian, bencana itu datang. Di suatu sore, seorang wanita cantik mendatangi rumah Rima. Wanita itu datang dengan amarah dan caci maki yang menyakitkan untuk ibu Rima. Namun, ibunya memang pantas mendapatkan semua itu. Pada hari itu Rima dan Reno tahu bahwa ibunya adalah perebut suami orang sejak bertahun-tahun yang lalu—setidaknya, begitulah menurut mereka.

Bom atom meluncur setelahnya. Seorang pemuda yang begitu Rima kenal menyusul masuk, berdiri di sisi sang wanita baya itu. Dunianya seolah runtuh ketika pemuda itu mengucapkan kata ibu untuk memanggil wanita itu.

Sejak hari itu, tak ada yang tersisa di antara mereka. Semuanya lenyap. Musnah tak berbekas. Semua orang berteriak keras, menumpahkan sakit hati masing-masing, ibu Rima juga wanita itu. Namun, ada hal yang luput dari perhatian mereka. Kedua anak mereka juga sama-sama tersakiti.

***

“Ren, kamu ikut Masmu aja.” Agung Pranowo menatap Reno dengan serius, “Kerjaan kamu sekarang wes mirip romusha. Urip susah, diperintah terus-terusan. Gajine setitik. ” Pria itu—ayah mereka—lagi-lagi menyuruh hal yang sana kepada Reno. Mereka saat ini sedang menikmati makan malam setelah pagi dan siang tadi bisa meloloskan diri dari meja makan.

Untung saja hari ini Rima mendapat jatah liburnya. Jadi, pria itu tak perlu tahu anak bungsunya bekerja hingga larut malam.

“Terima kasih, Yah. Reno sudah nyaman di tempat kerja Reno sekarang. Sesuai dengan apa yang Reno sukai sejak kecil.” Reno adalah seorang mekanik di sebuah cabang perusahaan otomotif yang cukup terkenal di kota ini.

“Apane sing nyaman? Kuliah tinggi-tinggi cuma buat bungkuk-bungkuk betulin mobil orang. Rugi kamu. Eman sama masa depan kamu.” Pria itu bersikeras dengan pendapatnya.

Reno hanya membisu sambil menekuri isi piring di depannya yang hampir tandas. Ia enggan menjawab. Percuma, toh, argumennya akan kalah juga. Agung Pranowo seolah sudah cakap berdebat sejak dini. Ada saja argumennya yang membuat Reno mati kutu.

“Rima juga begitu.” Sekarang, giliran Rima yang diserang. “Kamu anak perempuan Ayah satu-satunya, Nduk. Kesayangan Ayah. Ayah tahu kamu masih kerja di pusat perbelanjaan itu. Kurang apa Ayah sama kamu, Nduk? Jatah bulanan kamu lebih dari cukup untuk kebutuhan kuliah kamu dan bersenang-senang. Jangan membuat hidup kamu susah sendiri. Tiap malam Ayah kepikiran sama kamu. Untungnya Mas kamu, Pras, dengan sukarela jaga kamu setiap malam. Setidaknya Ayah tidak terlalu was-was.”

“Apa?” Rima seketika meletakan sendok dan garpunya di atas piring, menimbulkan bunyi nyaring di ruang makan itu.

Rima menoleh ke sebelahnya. Reno menatapnya dengan pandangan menuduh. Rima menggeleng cepat sebelum membuka mulutnya.

“Apa maksudnya Mas Pras dengan sukarela menjaga saya? Rima tidak paham.” Dada Rima berdebar, takut ayahnya mengatakan hal yang tak ingin ia dengar.

“Masmu itu sayang sama kamu. Setiap malam dia selalu nunggu kamu pulang sampai rumah. Dia ingin memastikan kamu baik-baik saja makanya ibu kamu nggak pernah kepikiran meskipun kamu pulang malam. Ibu sudah Ayah kasih tahu. Iya, kan, Bu?” Pria itu menoleh pada wanita cantik di sebelahnya. Tak lupa ia meremas tangan wanita itu yang berada di atas meja dengan lembut. Pandangan mereka bertaut mesra. Di detik berikutnya, sebuah kecupan mendarat di pelipis sang pujaan hati. Rima dan Reno mual seketika.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel