Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Delapan

Delapan

“Mampir ke tempatku dulu, yuk? Kamu masuknya, kan, masih nanti siang.”

Faira berucap saat mereka baru saja keluar ruang kuliah. Pagi ini mereka hanya punya satu mata kuliah. Maklum, kan sudah semester atas.

“Sori banget, cyin, aku dijemput habis ini.”

“Loh, masih pagi gini masa Mas Reno bisa jemput? Dia emang nggak kerja?” Faira heran dengan jawaban Rima.

“Bukan Mas Reno. Dia ada di rumah, lagi sakit.”

“Kalau dia masih sakit, masa jemput kamu?” Faira belum paham dengan maksud Rima.

“Bukan Mas Reno yang jemput, tapi Mas Pras,” jawab Rima pelan, masih enggan membahas pria itu.

“Siapa lagi si Mas Pras ini? Jangan-jangan kamu merajut kasih di belakang aku?” Faira menatap Rima curiga.

“Ih, bahasanya dalam banget, Nyonya kecil. Merajut kasih.” Rima meledek Faira meskipun canggung dengan tebakan yang bisa dikatakan benar itu. “Emang udah tahu artinya apa?”

“Biasanya, sih, model kayak kamu gini suka bikin kejutan di belakang. Ngakunya jomlo, eh ternyata udah mau naik pelaminan aja.” Faira terkikik. “Eh, jadi siapa tuh si Pras-Pras itu? Cakep nggak? Mulai kapan deket sama dia? Terus si bapak gimana? Nggak jadi, nih, niat modusin dia? Tadi pagi aja semangat banget pengen ikut nganterin aku bimbingan.”

“Tetap jalan terus, dong, kalau modusin si bapak. Aku kan juga pengen panjat sosial kayak kamu. Bentar lagi jadi nyonyah kaya setelah sebelumnya jadi rakyat jelata. And then, kamu itu buy one get one—free lagi.”

Faira segera menarik rambut Rima, merasa ngeri dengan ucapan sahabatnya itu. “Kalo ngomong, ya. Sembarangan.”

“Tapi kan benar aku ngomong? Habis nikah, kamu gak cuma dapet si om aja, tapi Raffa juga,” ujar Rima membela diri. Raffa adalah putra Rangga, omong-omong.

“Iya, deh, terserah. Terus si Pras itu siapa? Sejak kapan kamu kenal dia?” Sepertinya Faira masih belum melupakan pertanyaannya meskipun Rima sudah berusaha mengalihkan topik.

Rima menarik napas berat, menatap Faira sejenak. Ah, sepertinya ia bisa membagi sedikit infomasi tentang keluarganya kepada sahabatnya ini. Jadilah, satu keterangan itu keluar juga. “Mas Pras itu kakakku yang pertama,” juga cinta pertamaku. Rima menambahkan dalam hati.

Hening sejenak. Faira tampak masih mencerna ucapan Rima. Mulutnya hendak berucap, tapi Rima segera mengetahui maksud dari diam yang lama itu. Ia menganggukkan kepala.

“Iya, dia anak ayah dari istri pertamanya.”

Faira tampak menganggukkan kepala. Kemudian, hening. Kembali tak ada yang bersuara untuk sesaat. Sepertinya Faira tak mampu berkata apa pun. Ia tahu, ayah Rima beristri lebih dari satu. Rima pernah mengatakan itu.

“Emm ... kamu nunggu di indekos aku aja, ya? Emang kamu sudah ngontak dia?” Faira akhirnya berucap, melepaskan topik tentang Pras.

Rima tampak berpikir sejenak. Akhirnya, ia mengiyakan. Mereka pun berjalan menuju indekos Faira yang berjarak sekitar seratus meter dari gerbang kampus.

Begitu sampai di indekos Faira, Rima segera mengeluarkan ponselnya. Sebuah pesan masuk ia baca. Dari Pras. Pria itu sudah berangkat untuk menjemputnya, tapi mungkin baru tiga puluh menit lagi tiba.

Rima segera menghubungi pria itu. Selang beberapa saat, panggilannya terjawab. Rima memberi tahu bahwa ia berada di indekos Faira. Ia juga memberi tahu di mana persisnya lokasi indekos itu.

Setelah beberapa menit berbicara, Rima meletakkan ponselnya di atas kasur empuk Faira. Direbahkan tubuh lelahnya di sana. Semalam ia kurang tidur. Matanya terasa begitu berat. Ia ingin memejamkannya meskipun sejenak.

“Kamu ngomong sama kakak kamu, kok, kayak gitu?”

Rima seketika membuka matanya. Alisnya berkerut heran.“Kayak gitu gimana maksud kamu, Ra?”

“Ngomongnya mesra banget. Suara kamu pelan, meneduhkan gitu. Nggak ada tuh nada barbar ala Rima yang biasa aku kenal.” Faira memandang Rima dengan tatapan curiga. “Jadi, siapa sebenarnya si Pras itu?” lanjutnya.

Rima mendecak sebal, sedikit menyesal, kenapa ia mempunyai sahabat yang begitu peka? Tapi, wajar saja sebenarnya. Manusia yang sedang bertanya itu satu tingkat dengannya dari tahun pertama. Faira sering melihat tingkah polahnya. Jika satu saja ada yang terasa berbeda, wajar ia curiga.

“Dia, kan, bukan Mas Reno. Masa aku ngomong kayak manusia zaman batu yang gak tahu sopan santun? Ya harus kalem, dong, lembut, biar dia sayang sama adiknya.” Rima terkekeh geli, berusaha menutupi kenyataan yang ada.

“Adik ketemu gede!” celetuk Faira kukuh, membuat wajah Rima pias seketika. Lagi-lagi, Faira betul. Itulah kenyataannya.

“Tentu aja ketemu gede. Kenal juga bukan dari kecil.” Kali ini ia tak berusaha berbohong.

“Hati-hati aja kalau kakak kamu itu cakepnya ngalahin si bapak. Bisa-bisa jadi dia yang kamu gebet .” Faira kembali terbahak. Rima menanggapi itu dengan senyum sendu. Semua yang Faira ucapkan tadi adalah benar. Sayang sekali, tak mungkin ia mengakuinya.

“Pokoknya ntar kalau dia datang, aku pengen dikenalin sama dia. Penasaran banget sama wajahnya. Secara, Mas Reno aja cakepnya udah kayak gitu. Kamu, meskipun bermulut pancuran, yah … tampangmu aku ngasih nilai sembilanlah. Pasti si Mas Pras ini juga gak kalah cakep sama Mas Reno,” cerocos Faira tanpa menyadari raut wajah Rima yang berubah mendung.

“Eh, jadi Mas Pras itu kakak kamu yang sulung?” tanya Faira mulai penasaran. Rima mengangguk menjawabnya.

“Kamu udah lama kenal sama dia?” Faira lanjut bertanya.

“Sejak mau lulus SMP.”

Faira mengangguk-anggukkan kepala.“Wah, lumayan lama juga, ya. Aku beneran penasaran, nih, sama kakak kamu itu.” Gadis itu berdecak. “Kok nggak datang-datang, sih, dia?”

“Ini maksudnya ngusir pelan-pelan, ya?” Rima melontarkan gurauannya.

“Ya ampun, dasar labil.” Faira mencebik. “Cuma pengen kakak kamu cepet datang aja sudah dibilang ngusir.”

“Kan betul, kalau Mas Pras cepat datang berarti aku cepat hengkang?”

“Ih, dasar labil.” Faira terkekeh, lalu bergegas ke ruang depan, menuju lemari es. Di ambilnya sebotol milkshake kesukaannya yang selalu tersedia di sana. Setelah itu ia kembali ke kamarnya.

Rima tampak kembali merebahkan diri sambil menutup mata dengan lengannya. Faira mengembuskan napas. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada sahabatnya ini. Gadis itu terlihat tak seperti biasanya.

“Rim, milkshake, nih. Enak banget. Aku biasa minum ini. Pasti nagih, deh.” Faira bersuara pelan.

“Ntar aja, deh, Ra. Aku capek banget. Boleh numpang bobok, kan? Ntar kalau Mas Pras datang, kasih tahu aku, ya.” Gadis itu berbicara tanpa membuka matanya.

Akhirnya, terpaksa Faira mengiyakan. Sepertinya sahabatnya itu memang benar-benar butuh istirahat. Ia pun meninggalkan Rima di kamarnya lalu duduk di sofa di depan televisi. Tentu saja ia akan lebih mudah mengetahui kedatangan kakak Rima kalau ada di dekat pintu.

***

“Mas, Rima kayaknya kecapekan banget. Dia tidur di kamar aku, tuh. Gimana? Mau dibangunin?”

Empat puluh menit berlalu, akhirnya kakak Rima pun tiba. Fairalah yang menemui pria itu. Mereka sempat berkenalan sebelum akhirnya Faira mengatakan bahwa Rima tertidur.

Pria itu terlihat cemas. “Dia baik-baik aja, kan?” tanya Pras dengan ekspresi khawatir yang tak bisa dikatakan biasa.

“Iya, dia nggak apa-apa, kok. Cuma, tadi sepulang dari kampus dia bilang capek. Terus ketiduran.”

“Tadi dia sudah makan belum?”

“Sarapan? Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak nanya.”

Pria itu kembali menunjukkan kekhawatiran yang menurut Faira terlalu berlebihan. Namun, ia menahan diri untuk bertanya lebih jauh dengan fokus akan urusannya saat ini. “Jadi, gimana, Mas? Aku panggil aja, ya?”

Hening cukup lama. Pria itu tampak menimbang sebelum akhirnya mengiyakan. Faira bergegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Butuh waktu sedikit lebih lama karena Rima tidur dengan begitu pulas.

Setelah meraih tas dan memakai kembali sepatunya, Rima akhirnya turun ke teras indekos tempat Pras menunggu. Pria itu segera berdiri menyambut Rima. Dengan posesif, Pras mengecek keadaan gadis itu. Ia menempelkan telapak tangannya ke kening dan leher Rima, memeriksa apakah tubuh adiknya itu panas atau tidak.

Rima hanya menggeleng lemah menjawab tiap pertanyaan bernada khawatir dari sang kakak. Tak lama kemudian pria itu bergegas menuju mobilnya di luar indekos Faira. Lalu, ia kembali dengan sepasang sandal yang terlihat nyaman.

Setelah menyuruh Rima duduk di kursi teras, dengan luwes Pras mengganti sepatu hak tinggi Rima dengan sandal. Gadis itu hanya menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Tak lama setelahnya, pria itu berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Faira. Tas kuliah Rima ada di pundak, sepatu hak tinggi itu di genggaman tangan kanannya. Lengan kiri Pras meraih pundak Rima yang ia ajak berjalan di sisinya. Bahkan, pria itu sampai membukakan pintu mobil untuk Rima dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.

Kemudian, mobil hitam itu akhirnya berlalu dari hadapan Faira.

Aneh. Itulah kesimpulan Faira setelah menyaksikan langsung sikap kakak Rima. Pria itu terlihat terlalu protektif—terlihat seperti terlalu menyayangi Rima. Jika Rima sedang sakit, sikap itu mungkin wajar-wajar saja. Tapi, kan, beberapa saat lalu Rima hanya mengantuk dan tertidur.

Faira sering melihat interaksi Rima dan Reno. Namun, apa yang ia tangkap barusan jelas berbeda.

Faira adalah anak tunggal. Jadi, ia tak pernah merasakan bagaimana mempunyai kakak, dan tak tahu bagaimana interaksi antara adik dan kakak yang seharusnya. Akan tetapi, ia tidak buta. Faira menangkap satu kejanggalan dari interaksi Rima dan Pras barusan. Ekspresi yang ditunjukkan kakak Rima itu lebih mirip ekspresi Rangga saat pria itu mencemaskannya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel