Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sembilan

Sembilan

“Kita mau ke mana ini, Mas?” Rima bertanya saat menyadari mobil yang dikemudikan Pras tidak menuju rumahnya.

“Ke rumah,” jawab pria itu pendek.

Jantung Rima seketika berdetak keras. “Rumah? Rumah siapa?” tanya gadis itu tergagap. Ia takut Pras akan mewujudkan keinginannya tempo hari.

“Rumah kita.”

Hanya dengan mendengar jawaban itu, Rima gemetar. Wajahnya berubah pias seketika. Mereka tak boleh mendatangi tempat itu. Tempat yang dulunya mereka harapkan akan menjadi istana kecil masa depan mereka. Tempat itu terlarang bagi mereka. Mendatangi tempat itu sama saja dengan menghanguskan hati keduanya.

“Aku nggak mau, Mas. Anterin aku pulang, atau kalau Mas nggak mau, aku bisa pulang sendiri. Turunin aku sekarang. Turunin aku di sini,” pinta Rima memelas. Namun, sepertinya semuanya sia-sia. Pria itu tak mendengarnya. Ia malah menambah kecepatannya menyusuri jalanan yang kebetulan sepi.

“Kamu harus lihat rumah itu sekarang, Rim. Kamu pasti suka. Semuanya sesuai keinginan kamu. Aku sudah membangun gazebo di belakang. Ayunan yang kamu inginkan untuk membaca buku juga sudah terpasang, lengkap dengan bantalan-bantalan empuk seperti yang kamu mau. Dapurnya sudah aku renovasi menjadi lebih terbuka, jadi saat kamu memasak kamu bisa melihat halaman belakang sambil mengawasi anak-anak yang sedang berenang.”

“Oh, ya tapi aku minta maaf, saat ini kamu nggak bisa lihat bunga matahari seperti yang kamu inginkan. Baru tadi aku sempat membeli bibitnya. Itu ada di belakang. Nanti kamu bisa menanamnya,” lanjut pria itu sambil menunjuk jok belakang tempat sebuah kantong plastik berukuran sedang teronggok.

“Mas, jangan lakukan ini. Semua ini sudah berakhir. Tolong, jangan buat semuanya semakin rumit.” Rima menyentuh lengan pria yang menatap jalanan di depannya, berusaha menghentikan kegilaan pria itu.

“Tadi pagi ayah mengantarkan aku kuliah,” Rima mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat.

“Oh, akhirnya kamu punya ayah yang sesungguhnya,” sela pria itu mencibir.

“Ayah bilang, Mas Pras semakin menjauh.”

“Bagus kalau dia sadar.” Lagi, pria itu tak dapat menutupi kekesalannya.

“Ayah minta maaf. Beliau ingin Mas Pras seperti dulu lagi. Beliau mau kalian saling menyayangi dan menjaga.”

“Dia bahkan tak mampu mengatakan itu langsung kepadaku,”

“Mas, jangan seperti ini terus. Ayah sepertinya tahu Mas memendam masalah. Dia tahu kalau kamu menyukai wanita lain,” tambah Rima pelan.

“Bukan hanya sekedar menyukai—aku mencintainya, Rim. Di sini, jauh di dalam sini,” Pras menekan tangan Rima berulang-ulang ke dadanya, “nama gadis itu masih ada.” Ucapan itu penuh penekanan, seakan Pras ingin menunjukkan betapa dalam perasaannya pada gadis yang sedang ada dalam genggamannya itu.

“Rasanya sakit, Rim. Sakit.”

“Aku tahu.” Akhirnya, hanya kalimat itu yang terlontar dari mulut Rima. Keheningan menyergap mereka setelahnya, hingga akhirnya mobil berbelok menuju kompleks perumahan. Mobil itu berhenti di halaman sebuah rumah yang tak ingin Rima lihat lagi.

“Ayah memintaku menanyakan siapa gadis yang kamu cintai itu.” Rima melanjutkan pembicaraan.

“Lalu?”

“Dia akan melamarkan gadis itu buat Mas. Siapa tahu dengan melakukan hal itu, Mas bisa memaafkannya.”

Suara tawa keras Pras memenuhi pendengaran Rima. Tawa getir. “Sepertinya dia butuh meminjam mesin waktu Doraemon kalau ingin melakukan itu,” cibirnya.

“Mas, jangan menjadikan masalah ini lelucon!” Rima memberontak, hendak melepaskan tangan mereka. Namun, Pras bersikap enggan. Ia malah menatap Rima dengan tajam dan bersungguh-sungguh.

“Aku akan merelakan kamu kalau aku sudah melihat kamu bahagia, Rim—kalau kamu sudah menemukan laki-laki yang bisa menjagamu dan mencintaimu seperti yang aku lakukan selama ini. Sampai saat itu tiba, aku akan tetap ada di dekat kamu. Menjaga kamu.”

“Justru dengan melakukan itu kita nggak akan bergerak ke mana-mana, Mas. Kita hanya akan jadi dua orang yang sakit, benar-benar sakit. Mana ada manusia waras yang mencintai saudaranya sendiri?” bisik Rima pelan sembari menatap wajah tampan di hadapannya lekat-lekat. Pria sempurna. Tidak hanya wajahnya, tapi juga hatinya.

Beberapa detik berlalu, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja Rima merasakan embusan napas hangat Pras. Saat ia tersadar, wajah kokoh pria itu sudah begitu dekat. Aroma after shave yang menyegarkan seketika merasuki rongga hidungnya. Mengikuti instingnya. Rima memejamkan mata, menyambut ciuman hangat yang sudah tiga tahun ini tak pernah ia rasakan lagi. Namun, yang ia rasakan beberapa saat kemudian adalah kecupan di keningnya.

“Maaf.” Hanya kata itu yang muncul setelahnya.

Rima tergugu. Bagaimana mungkin ia lalai? Seharusnya harapan itu tak boleh tumbuh. Namun, apa yang baru saja terjadi? Ia bahkan memejamkan matanya, berharap Pras akan memberikan hal terlarang yang sudah lama ia rindukan.

“Aku nggak bisa melakukannya, Rim, meskipun aku ingin.” Pria itu menatap Rima dengan sorot terluka dan mata yang berkaca.

Pras segera turun dan membukakan pintu untuk Rima. Rima yang masih belum sadar sepenuhnya tersentak saat pintu di sebelahnya terbuka.

Sigap, pria itu kembali menyampirkan tas Rima, dan membawa serta beberapa paper bag berisi makanan yang telah ia beli tadi, sesaat sebelum menjemput Rima. Gadis itu selalu lalai memperhatikan isi perutnya.

***

Rima menatap takjub pada bangunan di hadapannya. Bangunan yang tiga tahun lalu masih dalam tahap pengerjaan. Bahkan, saat itu tembok rumah pun masih belum selesai dicat. Saat itu hanya ada bangunan kasar yang baru selesai tujuh puluh lima persen.

“Aku menyelesaikannya selama tiga tahun ini,” bisik Pras di sebelah Rima. Ia kemudian berlalu menuju pintu utama. Pras membuka pintu besar itu. Mau tak mau, Rima mengikuti langkahnya.

“Aku tak menyentuh uang ayah sedikitpun untuk menyelesaikan rumah ini,” lanjut Pras saat mereka sudah di ruang tamu rumah itu.

Rima mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk. Ada bahagia yang terselip di sana. Namun, rasa sakit yang timbul turut semakin dalam menggerogoti hatinya. Ini salah, semua ini salah. Ia harus menghentikan kegilaan ini. Harus, sekarang juga.

“Jangan diteruskan, Mas. Sudahi di sini semuanya. Kita nggak boleh bertemu lagi.”

Sepertinya Pras tak menggubris permintaan Rima. Pria itu berjalan semakin dalam. “Sofa ruang tamu kamu pilih sendiri aja, ya. Kalau aku yang milih, aku khawatir kamu nggak suka. Kan kamu selalu mengeluhkan seleraku yang kaku,” ucap pria itu.

“Ini ruang makannya,” Pras meneruskan, “aku sengaja pilih meja makan ini sendiri. Aku rasa selera kita pasti sama untuk ini.” Kemudian, pria itu meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja makan, lalu berjalan menuju dapur.

“Dapurnya kamu harus lihat. Pemandangannya bagus banget. Seperti yang aku bilang tadi, kamu bisa memasak sambil mengawasi anak-anak berenang.” Pras terus berbicara tanpa memedulikan respons Rima. Sejenak mereka terdiam, menerawang memandang kolam renang di halaman belakang.

Benar yang Pras bilang. Pemandangan halaman belakang rumah benar-benar menyejukkan mata dan hati. Hijau rumput berkelok yang berpadu dengan kolam renang kecil benar-benar membuat mata enggan berpindah dari sana. Sebuah gazebo terlihat nyaman dinaungi pohon yang entah apa namanya, Rima tak tahu. Gazebo itu terlihat begitu menggoda untuk diduduki dengan ayunan yang digantung di sisinya. Jangan lupakan tanaman berbunga beraneka jenis yang tertata rapi di beberapa ruas taman.

Indah, itu singkatnya.

“Anak siapa yang aku awasi saat berenang?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Rima. Ya, anak siapa? Yang pasti bukan anak mereka berdua, kan?

“Tentu anak kamu,” ucap Pras pelan. Pria itu berjalan menuju sebuah laci yang tak jauh dari tempat mereka berdiri, kemudian membuka laci itu menggunakan salah satu kunci dalam genggamannya.

Pria itu mengeluarkan sebuah map. Ia kembali mendekati Rima yang masih termangu karena ucapannya tadi.

“Ini.” Pria itu meletakan map di atas tangan Rima.

“Apa ini, Mas?” tanya Rima keheranan sambil melihat benda di tangannya.

“Rumah ini milik kamu.”

Rima terbelalak. “A-apa? Mas bicara apa?”

“Aku sudah mewujudkan mimpi kita, Rim. Rumah ini milik kamu. Tolong terima agar hatiku lebih tenang. Kalau suatu saat kamu sudah menemukan orang yang tepat untuk menjadi persinggahan terakhirmu, terserah mau kamu apakan rumah ini, gak masalah. Rumah ini milik kamu, semuanya atas nama kamu.”

Rima tak mampu berucap. Ia masih begitu syok dengan perkataan Pras. “Jangan begini, Mas. Jangan kasih apa-apa ke Rima. Aku takut nanti kita akan semakin sulit menjalani masa depan.”

“Terimalah, Rim. Setelah ini Mas akan menjauh. Aku janji gak akan mendekati kamu lagi. Ini permintaan terakhirku. Permintaan seorang kakak kepada adik yang begitu dicintainya. Jalani hidupmu dengan baik, aku juga akan melakukan hal yang sama. Cari laki-laki yang mencintai kamu dan rela melakukan apa pun demi kebahagiaan kamu. Aku akan memulai hidupku kalau sudah melihatmu bahagia.”

Ucapan pria itu terhenti seketika akibat tubuh Rima yang sudah menubruknya. Rima memeluk pria itu erat, menumpahkan tangisnya yang tak mampu lagi ia bendung. Punggungnya berguncang seiring isakan yang semakin keras, mengundang isakan dari sosok yang juga memeluknya erat.

Kisah mereka sudah berakhir. Tiga tahun lalu mereka berpisah tanpa satu pun kata terucap. Tiga tahun mereka lalui, berharap waktu akan mengikis habis rasa di hati mereka, tapi ternyata semuanya sia-sia. Semoga seiring bergantinya detik menjadi menit, menit menuju jam, jam menjadi hari, hari menjadi minggu, hingga minggu pun berganti bulan dan berlari menuju tahun, akan membuat mereka menemukan sandaran hati masing-masing.

Ya, semoga.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel