Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5 : PERTEMUAN

"Kadang, yang kita cari… justru tidak tahu sedang dicari.

Dan yang kita lindungi… belum tentu ingin diselamatkan."

Kota Velmoor tetap dingin. Kabut masih menggantung rendah, menggulung bangunan-bangunan tua dalam pelukan kelabu. Tapi tidak semua yang ada di kota ini kelam. Terkadang, di sudut-sudut tersembunyi yang seolah diabaikan oleh waktu, cahaya kecil tetap bersinar.

Aku menemukannya secara kebetulan—atau mungkin ini bukan kebetulan. Sebuah bar tua di ujung jalan yang nyaris tak terlihat. Di atas pintunya, papan kayu tergantung miring, dengan tulisan bercahaya lemah:

“Ashveil – Tempat Lupa dan Tertawa.”

Nama yang aneh untuk kota yang tak pernah tertawa.

Aku masuk, bukan karena ingin minum. Tapi karena lelah. Lelah secara fisik, dan jauh lebih lelah secara batin. Tapi bar itu memberiku lebih dari sekadar tempat istirahat. Takdir menyelipkan dirinya di antara meja-meja kayu dan musik pelan yang mengisi ruangan.

1. Mata Itu

Suasana di dalam bar seperti potongan waktu yang membeku. Lampu kuning temaram menggantung di atas kepala, asap rokok menari pelan di udara, dan tawa-tawa lelah terdengar seperti gema dari dunia lain.

Orang-orang di sini tidak bicara banyak. Mereka datang untuk lupa. Tenggelam dalam botol, dalam lagu yang terus diulang, dan dalam kebisingan palsu yang membuat kenyataan terdengar lebih jauh.

Aku hampir tak menyadari keberadaannya. Tapi saat aku melihat ke arah bar, tubuhku langsung menegang.

Dia di sana.

Gadis itu sedang menyeka gelas, mengenakan kemeja longgar dan rambut panjangnya diikat asal, seolah tak sempat peduli pada gaya. Tapi matanya… mata itu tajam. Hidup. Tapi kosong. Persis seperti milik Liora.

Tapi ekspresinya berbeda. Dia tersenyum. Ada kehangatan dalam geraknya, santai, alami. Tak ada firasat bahaya. Tak ada aura gelap. Seperti gadis biasa yang hidup di kota biasa.

Aku duduk di depan bar. Jantungku berdebar kencang. Dia menyapaku lebih dulu, nada suaranya ringan.

“Kau bukan orang sini, ya?” katanya sambil menyeka gelas.

“Pakaiannya terlalu... nyata.”

Aku nyaris tak bisa bicara. Tenggorokanku kering. Kukumpulkan keberanian dan bertanya:

“Namamu?”

Dia tertawa kecil, geli, seolah pertanyaanku terlalu serius.

“Lyana,” jawabnya. “Kenapa? Wajahku familiar?”

Aku menggigit bibirku. Lyana. Nama itu terasa seperti hantaman. Tapi dia tidak tahu. Tidak ada kesadaran dalam ucapannya. Tidak ada tanda bahwa dia ingat siapa dirinya sebenarnya.

Kami mengobrol sebentar. Aku berpura-pura jadi pelanggan biasa yang tersesat di kota aneh ini. Tapi tiap kata yang ia ucapkan menancap seperti jarum dingin ke dadaku.

“Aku dibesarkan sama Kakek,” katanya, sambil mengelap meja.

“Katanya, ibuku meninggal waktu aku bayi. Ayah? Nggak jelas siapa. Nggak pernah ada cerita.”

Aku hanya mengangguk. Tak sanggup bicara. Dia melanjutkan, matanya menerawang.

“Kakek selalu bilang aku ‘spesial’... tapi nggak pernah bilang kenapa.

Aneh, ya?”

Aku nyaris tak bisa menahan air mata. Dia tidak tahu apa pun. Tentang Liora. Tentang bayangan. Tentang dirinya sendiri.

Dan itu berarti... waktu kami hampir habis.

2. Lonceng yang Retak

Saat dia berbalik untuk mengambil botol di rak, aku melihatnya.

Sebuah tanda kecil di belakang lehernya. Nyaris tersembunyi di balik rambut. Tapi aku tahu betul bentuknya: simbol lingkaran dengan garis retak di tengah. Simbol yang sama seperti di tanah hutan kabut, tempat aku menemukan gelang Liora.

Darahku terasa membeku.

Aku berdiri mendadak, dan dia menatapku bingung.

“Kau dapat simbol itu dari mana?” tanyaku cepat.

Dia mengerutkan dahi, menyentuh bagian belakang lehernya.

“Apa? Ini? Udah ada sejak kecil. Katanya sih lahir udah ada... bukan tato.”

Bukan tato.

Tanda kelahiran.

Tanda dari mereka yang membawa warisan kegelapan.

Aku menatapnya dalam-dalam. Jantungku berdegup seperti genderang perang. Gadis ini belum tahu siapa dirinya. Belum tahu dunia seperti apa yang menginginkannya.

“Bayangan sudah dekat,” bisikku pada diriku sendiri.

“Dan dia bahkan belum sadar dia adalah kunci.”

3. Kau Sudah Gila, Jack

Aku menunggu sampai bar mulai sepi. Orang-orang satu per satu pergi, meninggalkan bangku kosong dan gelas setengah isi. Musik dihentikan. Lampu diredupkan.

Lyana sedang membersihkan meja terakhir, tangannya cekatan, gerakannya biasa. Tapi aku tahu, ini bukan waktu biasa. Ini waktu yang harus kupakai untuk mengatakan semuanya.

Aku mendekatinya perlahan, berdiri di seberangnya.

“Lyana,” ucapku pelan. “Kau harus dengar aku baik-baik.”

Dia menoleh, alisnya terangkat.

“Oke... tenang. Kau mabuk?”

Aku menggeleng cepat.

“Namamu bukan cuma Lyana. Kau punya saudara kembar. Liora. Dia sudah mati. Tapi kalian terikat.

Kau... kau bisa membuka gerbang kegelapan. Ada sesuatu dalam dirimu. Kota ini—bayangan—semua mencarimu.”

Lyana terdiam. Beberapa detik. Lalu tertawa pendek, pahit.

“Oke… cukup minumnya, ya?

Kalau ini caramu ngajak ngobrol cewek, parah banget.”

Aku menahan napas. Tetap berdiri. Mataku menatap matanya dalam-dalam.

“Aku serius. Kau punya tanda. Di lehermu. Simbol itu. Dan gelang perak—punya saudaramu—aku menemukannya di hutan kabut, di belakang gereja.”

Wajahnya berubah. Bukan karena percaya. Tapi marah.

“Berhenti!” bentaknya.

“Kau siapa sih sebenarnya? Ngikutin aku? Nge-stalk masa kecilku?!”

Aku mencoba mendekat, tapi dia mundur. Matanya berubah menjadi waspada.

“Jangan dekati aku! Kau... gila.”

Sakit. Tapi aku mengerti. Siapa pun akan bereaksi seperti itu. Siapa yang akan percaya hidupnya bukan miliknya sendiri? Bahwa masa kecilnya hanyalah tirai yang menyembunyikan kebenaran mengerikan?

“Aku tahu ini berat. Tapi kau harus tahu sebelum mereka datang. Mereka sudah menciummu.”

Dia menggeleng cepat.

“Keluar dari barku. Sekarang.”

Aku masih berdiri. Tak bergerak.

“Kalau kau nggak keluar, aku bakal panggil orang. Jangan paksa aku,” ancamnya dengan suara gemetar.

Aku menunduk. Perlahan mundur ke arah pintu. Sebelum menutupnya, aku menatapnya sekali lagi.

“Saat kau mulai bermimpi... dan bayangan itu bicara... ingat namaku. Jackfrost.”

4. Di Ujung Malam

Aku berdiri di luar. Udara malam semakin menusuk, meski seharusnya tubuhku sudah terbiasa. Tapi bukan angin yang membuatku menggigil.

Aku gagal.

Tapi di balik penolakan Lyana, ada sesuatu dalam matanya ketika aku menyebut nama "Liora." Bukan sekadar kebingungan. Ada getar kecil. Seperti nada sumbang dalam lagu lama. Rasa asing yang tidak bisa dijelaskan.

Dia merasa sesuatu.

Mungkin takut.

Mungkin nyeri.

Tapi itu berarti benihnya sudah tertanam.

Entah kapan ia akan mulai bermimpi—mimpi yang akan membawanya melihat siapa dirinya sebenarnya. Tapi aku tahu, mimpi itu akan datang. Dan saat itu tiba, dia harus memilih:

Menjadi gerbang... atau menjadi penjaga.

Aku memejamkan mata.

"Aku telah menanam kebenaran.

Sekarang... aku hanya harus pastikan bayangan tak lebih cepat menyiraminya."

Dan perang pun benar-benar dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel