Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6 RAHASIA DARI SEBUAH RAHASIA

“Tak semua orang tua menyembunyikan kebenaran karena ego.

Kadang… mereka hanya terlalu takut kehilangan lagi.”

Langkah Lyana cepat, emosi meledak di dadanya.

Pintu rumah dibuka dengan kasar. Kakeknya, pria tua renta yang selalu terlihat tenang, menoleh dari kursi goyang di ruang tamu.

“Kamu pulang cepat, Lyana?”

Lyana langsung menjatuhkan tasnya ke lantai.

“Ada orang gila di bar hari ini. Dia bilang hal-hal aneh.”

“Namanya Jack. Katanya aku punya saudara kembar… dan… dan aku bisa membuka gerbang kegelapan. Apa itu masuk akal?!”

Kakek menatapnya sejenak, alisnya mengernyit. Tapi tak ada keterkejutan besar. Hanya... perubahan kecil di matanya—seperti luka lama disentuh kembali.

“Jack?” gumamnya pelan.

“Aku tidak kenal nama itu. Tapi jelas dia salah orang, Lyana.”

“Tapi dia tahu tentang tanda di leherku! Tentang gelang ini!”

Lyana menunjuk gelang peraknya dan menyibakkan rambutnya untuk menunjukkan tanda lahir.

Kakek berdiri perlahan.

“Itu hanya tanda lahir. Dan gelang itu… peninggalan dari ibumu. Itu saja.”

“Dan soal saudara kembar?”

Kakek terdiam beberapa detik. Lalu menghela napas.

“Ibumu meninggal saat kau lahir. Ayahmu tak pernah muncul. Kau satu-satunya yang kubesarkan, Lyana. Tidak ada yang lain.”

Lyana memandangi kakeknya, mencoba membaca ekspresi itu. Tapi ia terlalu pandai menyembunyikan sesuatu—atau mungkin, terlalu takut untuk mengungkapkan.

“Kau yakin?” bisik Lyana.

“Karena tatapanmu bilang lain.”

Kakek berjalan ke dapur.

“Kau lelah. Kadang... otak orang bisa memainkan halusinasi kalau stres. Jangan biarkan omongan orang asing mengacaukan hidupmu, Nak.”

1. Diam yang Menyakiti

Lyana kembali ke kamarnya, melemparkan diri ke tempat tidur.

Tapi pikirannya jauh dari tenang.

Kenapa Kakek tidak terkejut?

Kenapa ia menghindar?

Dan kenapa... ada perasaan aneh di dalam dadanya, seolah dirinya memang belum utuh?

Matanya mulai berat. Tapi sebelum tertidur, bisikan kecil menggema di telinganya...

“Kau bukan sendirian, Lyana…”

2. Suara Dalam Tidurku

“Terkadang, suara pertama yang memanggil namamu… bukan berasal dari dunia ini.”

Malam menelan kota.

Di balik jendela rumah tua itu, Lyana tidur dengan gelisah.

Tubuhnya diam, tapi pikirannya terombang-ambing dalam kegelapan.

Ia berada di hutan berkabut.

Dedaunan basah meneteskan embun seperti bisikan rahasia.

Langkah kakinya menyusuri tanah dingin tanpa arah.

Kemudian… terdengar suara.

Lembut. Seperti bisikan angin.

“Lyana…”

Dia menoleh ke kanan—tak ada siapa pun.

Lalu suara kedua, dari arah lain.

“Lyana… dengarkan kami…”

Suaranya berbeda. Satu halus dan menenangkan, satu lagi berat dan dingin, seperti bergaung dari dasar gua.

Tiba-tiba, kabut di hadapannya membelah. Dua sosok perempuan muncul samar-samar.

Mereka berdiri berdampingan, wajah mereka tak sepenuhnya terlihat.

Salah satunya memakai gaun putih kusam. Satunya lagi… berpakaian hitam pekat dengan mata tertutup kain.

“Kau harus memilih,” kata salah satu dari mereka.

“Gerbang itu akan terbuka. Entah oleh tanganmu… atau darahmu.”

Lyana ingin bertanya—siapa mereka? Apa maksud semua ini?

Tapi suara mereka bergema bersamaan, menusuk telinganya:

“Bangunlah, Lyana…”

Lyana terlonjak.

Napasnya memburu.

Kamar gelap, hanya cahaya pagi merayap perlahan dari celah jendela.

Jantungnya berdegup kencang, seolah mimpi itu nyata.

Tangannya gemetar saat menyentuh gelang perak di pergelangan. Rasanya… dingin sekali. Lebih dingin dari biasanya.

“Apa yang terjadi padaku…” bisiknya.

Ia duduk lama, memandangi bayangannya sendiri di cermin tua di sudut kamar.

Dan untuk pertama kalinya—bayangan itu terasa seperti orang lain.

3. Apa ini kek?

“Kadang benda terkecil yang kau bawa... adalah perlindungan terakhir antara hidup dan mati.”

Pagi menyelinap pelan ke dalam rumah tua itu.

Lyana berdiri di depan cermin, mengenakan jaket cokelat lusuh dan menyelipkan gelang peraknya ke dalam lengan baju.

Matanya masih menyimpan bayang-bayang mimpi tadi malam. Tapi hari ini, dia tidak bisa diam. Dia harus mencari jawaban.

Dia memandangi pintu depan.

Menarik napas. Menyiapkan langkah pertamanya.

Tangannya sudah menyentuh gagang pintu, saat suara itu terdengar.

“Lyana.”

Kakeknya berdiri di ujung lorong, menggenggam sesuatu kecil di tangannya.

Langkahnya lambat saat mendekat.

“Bawa ini,” katanya pelan, meletakkan benda itu di telapak tangan Lyana.

Benda kecil berbentuk bulat seperti batu obsidian, dengan ukiran samar berbentuk mata di tengahnya. Dingin, dan terasa agak berat meski ukurannya kecil.

“Apa ini?”

Kakek tak menjawab langsung. Hanya menatap Lyana dengan mata yang berat.

“Jangan lepaskan, terutama saat kau berada jauh dari rumah.”

“Kenapa?” tanya Lyana lagi.

“Kadang, kita tak perlu tahu alasan untuk sesuatu… sampai waktunya datang.”

Lyana menatap benda itu sebentar, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket.

“Aku cuma ingin cari udara… dan mungkin jawaban,” katanya perlahan.

Kakeknya tak berkata apa-apa lagi. Hanya mengangguk pelan.

Ketika Lyana membuka pintu, angin pagi menyambut dengan dingin yang tak biasa.

4.Di Tempat Lain – Jack

Di sebuah warung kopi tua, Jack duduk dengan hoodie menutupi wajah, menyodorkan uang lusuh kepada seorang pria kurus berambut gondrong.

“Aku cuma butuh tahu… gadis yang kerja di bar itu. Dia tinggal di mana.”

Pria itu menatap Jack ragu.

“Nggak biasa orang nyari alamat orang lain kayak begini.”

Jack menatapnya dingin.

“Ini soal nyawa. Bukan cuma soal gadis.”

Setelah beberapa detik, pria itu menghela napas, lalu merogoh saku belakang dan mengeluarkan kertas kecil.

“Aku cuma tahu dia tinggal sama kakeknya. Di pinggir kota, rumah tua deket rel mati. Nggak jauh dari taman tua.”

Jack menerima catatan itu.

“Terima kasih. Dan… kalau kau melihat kabut muncul sebelum matahari terbenam, lari sejauh mungkin.”

Pria itu mengernyit, tapi Jack sudah bangkit dan berjalan keluar.

5. Pertemuan Biasa, Hari yang Tidak Biasa

“Kadang kita mencari hal sederhana, di hari yang terasa tak sederhana.”

Lyana berjalan menyusuri trotoar tua menuju taman kecil di tengah kota. Jaketnya rapat, saku tangannya menggenggam jimat pemberian Kakek yang dinginnya belum hilang sejak pagi.

Di bangku kayu dekat gerobak kopi, sudah duduk seorang gadis berambut pendek dengan headphones tergantung di leher—Aren, sahabat Lyana sejak sekolah.

“Hey! Muka lo kayak habis lihat hantu,” sapa Aren sambil menyeruput kopi.

Lyana memaksa senyum.

“Hampir. Tapi bukan hantu… lebih kayak dua cewek misterius dalam mimpi.”

Lyana duduk dan mulai menceritakan semuanya—mimpinya, dua sosok yang memanggil namanya, suara yang menggema, bahkan reaksi dingin Kakeknya tadi pagi.

Aren mendengarkan dengan kening mengerut.

“Lo yakin nggak lagi stres atau—”

“Ini beda, Ren. Rasanya… kayak lebih dari mimpi. Seolah mereka tahu aku.”

Aren diam sebentar, lalu berkata:

“Kalo ini film, biasanya bakal ada semacam… pertanda. Lo bawa sesuatu dari mimpi itu?”

Lyana ragu sejenak, lalu mengeluarkan jimat dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di samping kopi.

Aren memandangi benda itu lama.

“Lo yakin kakek lo nggak ikut sekte?”

Lyana tertawa pelan. Tapi tawanya cepat meredup.

Di kejauhan, dari balik pohon besar di taman, sepasang mata memperhatikan Lyana.

Bukan Jack. Bukan siapa-siapa yang dia kenal.

Seorang pria berjas gelap, berdiri terlalu lama di bawah bayangan pohon, tak bergerak.

Tangannya mencatat sesuatu di buku kulit tua.

6. Sementara itu – Jack

Jack berdiri di depan rumah tua di pinggir kota.

Dia melihat jendela tertutup, pagar berderit, dan jejak kaki kecil di tanah basah—menuju jalan keluar kota.

“Kau nggak di rumah, ya?” gumamnya.

Ia menarik napas. Dunia ini mulai terasa asing lagi. Tapi kali ini dia tak akan berhenti.

Bukan setelah apa yang dia lihat dalam mimpinya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel