Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4 : KOTA TANPA PAGI

"Di kota ini, kau tak perlu bicara untuk diketahui.

Cukup dengan napasmu… dan mereka akan tahu kau bukan dari sini."

Langit kota Velmoor tak pernah berubah—kelabu, bisu, dan terlalu sepi. Udara mengandung aroma tanah lembap, seperti habis diguyur hujan yang tak pernah turun. Kabut pekat menggantung rendah, menyelimuti setiap sudut bangunan tua seperti selimut hantu yang enggan pergi.

Sudah pukul sembilan pagi, atau setidaknya begitulah yang dikatakan jam tanganku. Tapi matahari tak kunjung muncul. Cahaya yang ada hanyalah pantulan samar dari langit abu-abu, seolah dunia berhenti di antara malam dan pagi, di batas yang tak bisa dilewati.

Aku berjalan perlahan melewati jalan berbatu, menyamar sebagai pelancong kelelahan. Kaki-kaki lelahku menginjak bebatuan tua yang terasa dingin seperti nisan. Rasa waspada membungkus setiap langkahku.

Tujuanku jelas: menemukan Lyana. Saudari kembar Liora yang ternyata menjadi kunci bagi segalanya. Tapi tak boleh seorang pun tahu. Semua catatan Liora memperingatkan:

“Jika kota tahu maksudmu... maka bukan hanya bayangan yang akan memburumu.”

1. Tatapan dari Kegelapan

Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban ransel, tapi karena tatapan-tatapan tajam yang menancap dari segala arah. Orang-orang berhenti saat aku lewat. Mereka menatap. Tak satu pun bicara. Tak satu pun tersenyum.

Mereka tahu.

Entah bagaimana… mereka tahu.

Wajah mereka pucat seperti lilin. Matanya kosong. Seolah sedang bermimpi tapi tetap sadar. Mereka seperti tubuh tanpa jiwa—hidup hanya untuk melihat, dan menunggu.

Aku menunduk, berusaha tak menarik perhatian, tapi rasanya sudah terlambat. Suara bisik-bisik tak terdengar, namun terasa menggema di benakku. Velmoor menolak yang berbeda. Dan aku sangat berbeda.

Di ujung lorong berkelok, aku menemukan sebuah penginapan tua. Papan kayunya nyaris roboh, dengan tulisan yang nyaris tak terbaca: "The Border – Tempat Tidur & Mimpi.”

Pemiliknya seorang pria tua dengan rambut putih kusut dan mata keruh seperti air mati. Ia memandangku lama saat aku mengajukan permintaan.

“Sedang berkelana. Butuh tempat untuk semalam,” kataku datar.

Ia mendekat pelan. Suaranya serak seperti batu digesek.

“Velmoor bukan kota untuk berlama-lama. Apalagi bagi mereka yang... mencari sesuatu.”

Jantungku mencelos. Tapi aku tetap tersenyum, memalsukan ketenangan.

“Aku hanya lewat,” jawabku pendek.

Dia mengangguk, perlahan, tapi matanya tetap menembusku.

Seolah dia tahu, di balik kulitku, ada dendam dan rahasia yang kubawa.

Di kamar kecil yang pengap, dengan ranjang besi berkarat dan jendela tertutup tirai debu, aku membuka kembali catatan terakhir dari Liora. Kalimat terakhirnya terus terngiang:

“Jika kabut di Velmoor tak hilang, maka Lyana sudah jatuh dalam gelap.”

Dari balik jendela retak, aku menatap jalanan kota. Dan di kejauhan, berdiri satu sosok diam. Hitam. Kabur. Tapi aku tahu ia menatapku. Bahkan dari balik kabut.

Aku menggigil, bukan karena dingin. Tapi karena firasat buruk mulai menguat.

Entah bagaimana... kota ini terasa seperti sudah tahu semuanya.

2. Jejak dalam Kabut

Kota ini diam, tapi tidak tuli. Kadang, yang kau katakan dalam pikiranmu… bisa terdengar oleh mereka yang tak lagi bernyawa.

Langit tidak berganti. Entah ini malam atau senja. Atau Velmoor memang tak mengenal waktu. Aku tak bisa tidur. Di luar jendela, kabut bergulung seperti ombak pelan. Dan entah dari mana, suara langkah menyeret terdengar mendekat.

Aku merapatkan tubuh ke balik pintu, mengintip dari celah kayu tua.

Seorang wanita tua muncul, tubuhnya membungkuk, kerudung sobek menutupi wajahnya, hanya menampakkan satu mata gelap yang menyala seperti bara kecil. Di tangannya, lentera kecil berayun perlahan.

Ia berhenti di depan pintuku.

Diam.

Lalu berkata lirih, suaranya seolah berasal dari dua tempat sekaligus.

“Kau mencarinya, bukan?”

Aku tak menjawab.

Separuh wajahnya penuh bekas luka—kulit melepuh seperti terbakar ritual. Tatapannya tajam tapi kosong.

“Lyana... bukan untuk ditemukan.”

“Tapi jika kau bersikeras… jejaknya ada di belakang Gereja Tua, di hutan kabut.”

“Tapi hati-hati… kadang, yang kau temui bukan hanya bayangan.”

Lalu ia pergi. Langkahnya menyeret. Tapi suaranya terus berputar di kepalaku.

3. Jejak Terakhir

Saat fajar palsu menyentuh kota—cahaya kelabu yang tak membawa harapan—aku melangkah keluar. Jalan menuju Gereja Tua tak ramai. Tak juga sepi. Hanya… terabaikan.

Bangunan itu tinggi, kusam, salibnya miring seperti akan jatuh. Pintu kayunya terayun pelan oleh angin yang tak terdengar. Di belakangnya, hutan kabut menyambut seperti mulut gua raksasa yang lapar.

Jalan setapak tertutup akar-akar hitam dan rerumputan mati. Setiap langkahku mematahkan ranting-ranting kering yang terdengar seperti bisikan patah hati.

Di tengah hutan, aku menemukannya.

Simbol lingkaran bercahaya samar di tanah, warnanya merah tua. Titik-titik di sekitar lingkaran seperti tetesan darah segar. Dan di sampingnya...

Gelang perak.

Aku memungutnya. Berat. Dingin.

Dan di bagian dalamnya, terukir satu nama: Lyana.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara bergema dari balik kabut.

“Kau terlambat, Jack…”

4. Pantulan yang Hilang

Suara itu seperti berasal dari dalam kepalaku dan dari seluruh hutan sekaligus. Kabut menggulung cepat, seperti dinding hidup. Jalan kembali lenyap.

Sosok pria muncul perlahan. Tapi aku langsung tahu siapa dia.

Diriku sendiri.

Jaket robek. Luka lama di pelipis kiri. Mata penuh rasa putus asa. Ia berjalan pelan, seperti cermin masa lalu yang kutinggalkan.

“Aku adalah kau… yang menyerah,” katanya.

“Kau pikir bisa melawan semuanya sendiri? Mereka menunggumu gagal. Dan aku… adalah kegagalanmu.”

Aku menahan napas. Suaranya seperti pantulan bayangan di dasar sumur. Dalam dan menusuk.

“Di mana Lyana?” tanyaku.

Sosok itu tersenyum, miring dan getir.

“Dia sedang... disiapkan. Dibersihkan dari keraguan. Dibentuk ulang agar jadi sempurna.”

“Kau pikir Liora kuat? Lyana akan lebih dari itu. Dia akan jadi gerbang.”

Bayangan itu menunjuk gelang di tanganku.

“Itu bukan petunjuk. Itu umpan.

Kau adalah saksi, bukan penyelamat.

Dan ketika dia membuka gerbang itu sendiri… kau akan berdiri di sisinya. Sebagai alasan dia jatuh.”

“Aku tak akan biarkan itu terjadi,” kataku tajam.

Bayangan-ku melangkah maju, senyum berubah menjadi kemarahan.

“Kau yakin dia ingin diselamatkan, Jack?

Atau... dia memilih kegelapan karena di sanalah dia merasa bebas dari semuanya—dari Liora, dari dirimu, dari dunia?”

Tiba-tiba, ia menyerang.

Kami bergulat di antara kabut. Setiap pukulan terasa seperti menghantam bagian terdalam dari pikiranku sendiri. Aku hampir menyerah… sampai kutatap gelang Lyana lagi.

“Aku kehilangan Liora. Tapi aku tak akan kehilangan Lyana.”

“Dan aku pasti bukan bagian yang menyerah.”

Dengan sekuat tenaga, aku dorong bayangan itu ke tengah simbol lingkaran.

Teriakan bergema. Tubuhnya retak seperti kaca. Lalu meledak menjadi debu hitam yang menghilang di udara.

Aku terduduk. Napasku berat. Dunia terasa senyap sesaat. Tapi aku tahu satu hal:

Lyana belum sepenuhnya jatuh… tapi waktu kami hampir habis.

Dan Velmoor… mulai membuka rahangnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel