Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 : ANTARA DENDAM, PENGAMPUNAN DAN WARISAN TERKUTUK

“Seseorang yang kehilangan segalanya, punya dua pilihan:

Mengakhiri semuanya…

Atau menjadi sesuatu yang bahkan kematian pun tak bisa sentuh.”

Malam itu aku tak tidur.

Suara api yang membakar kotak warisan Liora masih terngiang di telinga. Asapnya telah menghilang, tapi bekasnya terasa menempel di kulit. Rumah tempatku tinggal seakan berubah menjadi penjara yang bernafas. Dinding-dindingnya berdesir. Bayangan di pojok ruangan tidak sekadar diam, melainkan bergetar pelan, seperti bersiap menyerang saat lengah.

Aku duduk menatap jendela. Langit masih hitam, tapi tidak seperti malam biasanya. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya kabut kelabu yang menekan kota seperti selimut tebal yang basah dan berat. Noctaria tidak tidur, dan malam ini, aku juga tidak bisa.

1. Dua Suara di Kepala

Suara-suara itu semakin nyata. Aku pikir itu bisikan angin, tapi bukan. Mereka berbicara langsung ke dalam kepalaku. Suara yang pertama kasar, penuh dendam, dan menggoda.

"Lawan. Mereka bohong padamu. Dunia ini busuk. Ambil kekuatan itu. Biar mereka semua tahu rasa."

Suara satunya lebih pelan, nyaris seperti suara Liora dulu. Tapi terdengar lelah, rapuh, dan bergetar.

"Ampuni. Liora mencintaimu. Dia salah. Tapi kau masih bisa lepas dari semua ini."

Keduanya menarikku ke arah yang berbeda. Tapi tubuhku juga berubah. Kuku-kuku tumbuh panjang setiap malam. Mataku menyala samar dalam gelap. Aku bisa mendengar detak jantung tetanggaku dari dua rumah sebelah. Aku bukan lagi manusia biasa. Tapi belum jadi monster sepenuhnya.

2. Kamar di Bawah Tanah

Aku kembali ke rumah tua Liora. Entah kenapa kakiku membawaku ke sana, seolah ada yang menunggu. Lantai kayu tua di ruang tamunya berderit aneh. Aku mencoba mengangkat satu papan, dan di bawahnya… ada pintu.

Pintu ke bawah tanah.

Di sana, ruangan gelap menyambutku dengan bau busuk darah kering. Dinding-dindingnya dilapisi simbol ritual. Tapi yang membuatku terhenti bukan itu.

Di tengah ruangan, terbaring mayat Liora.

Tubuhnya membeku, dikelilingi lilin hitam. Wajahnya hancur tapi masih menyisakan ekspresi damai—atau mungkin pasrah. Dia tidak dikubur. Dia dikorbankan ulang, menjadi bagian dari lingkaran pemanggilan raksasa di lantai.

Aku jatuh berlutut.

"Kenapa kau tidak bilang... kenapa semuanya harus begini, Liora…"

Di dekat tubuhnya, berdiri cermin tua yang retak. Tertulis di bingkainya dengan darah kering:

"Pilih jalanmu, Jackfrost."

3. Dua Bayangan Diri

Cermin itu menunjukkan dua versi diriku.

Yang pertama mengenakan jubah hitam, matanya menyala merah, dan senyumnya menyeringai penuh kebencian. Tubuhnya kuat, tegap, dan ada bayangan pekat mengelilinginya seperti kabut.

Yang kedua tampak seperti diriku sekarang—mata sayu, kulit pucat, tubuh mulai memudar seolah perlahan dilahap dari dalam.

"Aku bisa memilih," kataku pelan.

Di altar kecil di pojok ruangan, tergeletak pisau ritual. Jika aku menikam diriku sendiri di tengah lingkaran, aku bisa memutus kontrak dan mungkin mati. Tapi jika aku menyempurnakan ritual… aku bisa menjadi sesuatu yang bahkan bayangan pun takut.

4. Tanda dari Liora

Tanganku gemetar memegang pisau itu. Tapi sebelum aku bertindak, sesuatu terjadi.

Cahaya redup muncul dari tubuh Liora. Ia perlahan bangkit, tidak sepenuhnya nyata—lebih seperti pantulan roh. Wajahnya kini tidak hancur. Damai. Cantik seperti dulu.

Dia mendekat, menyentuh dadaku, dan berbisik:

“Maafkan aku, Jack… Tapi jangan jadi seperti aku…”

Air mataku jatuh. Pisau itu terlepas dari tangan, jatuh ke lantai dengan bunyi keras. Lingkaran di sekeliling kami mulai bergetar, simbol-simbolnya menyala merah. Teriakan menggema dari bawah tanah, seperti suara ribuan makhluk tersiksa yang marah kehilangan mangsa.

Dari dalam lingkaran muncul bayangan hitam raksasa. Matanya merah, mulutnya seperti lubang tak berdasar.

"KAU MENOLAKNYA SEKARANG, JACKFROST…

TAPI AKU AKAN KEMBALI.

SETIAP LUKA, SETIAP RASA KEHILANGAN YANG KAU SIMPAN…

AKU AKAN HIDUP DI SITU.

DAN SAAT WAKTUNYA TIBA—KAU AKAN MENCARIKU SENDIRI."

Ledakan cahaya merah terjadi. Cermin pecah. Lingkaran hancur. Suara itu lenyap.

Saat aku sadar, semua hilang—mayat Liora, lingkaran pemanggilan, dan bahkan suara-suara itu. Tapi hatiku tahu… ini belum berakhir.

5. Meninggalkan Noctaria

Pagi menjelang. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, langit Noctaria terlihat biru pucat. Aku berjalan keluar kota dengan langkah berat. Koper kecil di tangan, dan luka besar di dada.

Sebelum melewati gerbang kota, aku menoleh sekali lagi. Di jendela toko kosong, aku melihat pantulan… mata merah itu.

Mereka belum pergi.

6. Surat Tanpa Nama

Tiga minggu berlalu. Aku tinggal di kota kecil bernama Silvandale, menyamar dengan nama baru. Rumah kecil di pinggiran kota, pekerjaan seadanya, dan usaha untuk hidup normal. Tapi malam-malamku tetap tidak tenang.

Mimpi buruk terus datang. Suara Liora memanggil. Kadang, di kaca… aku melihat sosoknya. Tapi bukan dia. Mata itu lebih gelap.

Suatu pagi, amplop hitam tergelincir di bawah pintu.

Tak ada pengirim. Hanya satu foto dan secarik kertas.

Foto itu menunjukkan seorang perempuan muda—sangat mirip dengan Liora, tapi bukan Liora.

Di balik foto tertulis satu nama:

"Lyana."

7. Warisan Terkutuk

Dengan tangan gemetar, aku mencocokkan foto itu dengan catatan lama Liora. Di salah satu halaman kitab ritual, tertulis:

"Jika aku gagal… mungkin Lyana akan meneruskannya.

Tapi aku takut dia jauh lebih gelap dariku. Bahkan tanpa bayangan…"

Liora… punya saudara kembar.

Darah yang sama. Wajah yang sama. Tapi jiwa yang berbeda.

Bayangan tahu ini. Mereka tahu tubuh Lyana bisa menjadi ‘cadangan’ untuk manifestasi mereka. Dan Lyana… mungkin tak butuh banyak dorongan untuk jatuh ke sisi gelap.

8. Velmoor, Kota Tanpa Pagi

Dari catatan-catatan Liora, aku melacak keberadaan Lyana. Petunjuk mengarah ke kota kecil bernama Velmoor. Tidak ada banyak info tentangnya. Hanya desas-desus bahwa kota itu... tidak pernah pagi. Langitnya gelap terus, bahkan saat matahari seharusnya bersinar.

Orang-orang yang pernah ke sana tak pernah mau bicara.

Aku berkemas, membawa kitab ritual, simbol pelindung yang dulu diberikan lelaki tua di Noctaria, dan satu tekad:

Aku harus menemukan Lyana duluan.

Sebab jika bayangan menemukannya lebih dulu, dan berhasil membuat hatinya hancur, patah, dan penuh dendam—pintu antara dunia ini dan dunia mereka akan terbuka… selamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel